Hanan Attaki dan Soal Anggapan Wanita Salehah

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
23 Juli 2018 14:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ustaz Hanan Hattaki (Foto: Instagram @hanan_attaki)
zoom-in-whitePerbesar
Ustaz Hanan Hattaki (Foto: Instagram @hanan_attaki)
ADVERTISEMENT
Era media sosial seperti saat ini, konten atau pernyataan siapapun dapat dengan mudah menjadi buah bibir, lalu tersebar luas begitu saja. Dunia medsos memang borderless, tak ada batasan umur apalagi pendidikan, karena semua tumplek blek jadi satu. Siapapun dapat membuat pernyataan, berkomentar, atau membuat informasi, sekalipun sekadar bercanda atau bahkan hoax.
ADVERTISEMENT
Tersebarnya video ceramah seorang ustadz gaul, Hanan Attaki, meskipun sudah basi—konon videonya ini diunggah 3 bulan yang lalu—tiba-tiba menjadi perbincangan hangat netizen. Ia menyatakan ukuran wanita salehah dilihat dari bobot tubuhnya, jika melebihi 55 kg, maka itu bukan tipe wanita salehah.
Lalu, apakah ini sebuah ungkapan satire? Atau mungkin candaan yang disengaja? Atau memang ada pesan yang hendak disampaikan kepada wanita muslimah? Berbagai ungkapan netizen serasa mengguyur ranah media, menyikapi ungkapan pria lulusan S1 Universitas al-Azhar, Mesir ini.
Bagi yang menganggap satire, ini merupakan kritik agar wanita muslimah menjaga ideal berat badannya karena itulah ukuran wanita solehah sebagaimana sosok Aisyah, istri Nabi Muhammad yang memang relatif ideal dibanding istri-istri Nabi lainnya.
ADVERTISEMENT
Walaupun ungkapan ini tentu saja seakan menafikan keberadaan istri Nabi lainnya yang secara keseluruhan adalah “ummahatul mu’minin” (ibu bagi para wanita mu'min).
Di sisi lain, ungkapan Hanan tak lebih sekadar candaan yang umumnya diselipkan dalam berbagai ceramah keagamaan, di mana para penikmat ceramahnya bisa diajak tertawa sejenak. Namun demikian, tidakkah menyadari bahwa candaan yang menyangkut fisik ini pasti akan menuai protes dari masyarakat?
Bukan apa-apa, jika ukuran gemuk dan kurus dikaitkan dengan kesalehan seseorang, ini jelas tidak adil. Barangkali, ungkapan Nabi yang terkenal menyatakan bahwa, “Innallaha laa yandzuru ilaa suwarikum wa ajsaamikum, walakin yandzuru ila quluubikum wa a’malikum” (Allah tidak melihat seseorang dari bentuk tubuh atau fisik lainnya, tetapi kepada hati dan amaliyah seseorang).
ADVERTISEMENT
Ini artinya, seluruh manusia sama di hadapan sang Pencipta, tak ada perbedaan fisik: warna kulit, bentuk rambut, muka, tinggi-pendek, kurus-gemuk, dari suku manapun, kelompok manapun, atau bangsa manapun.
Bahkan, sejak awal, Nabi sering mengungkapkan tak ada perbedaan antara Arab dan bukan Arab, karena Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme dan fitrah kemanusiaan yang melekat sejak kelahirannya.
Saya kira, jikapun ada pesan yang hendak disampaikan dengan menganggap wanita solehah itu idealnya seperti Aisyah dengan bobot kurang lebih 55 kg—walaupun tentu saja zaman itu mungkin belum ada timbangan secara presisi—jelas tidak menunjukkan rasa simpatik terhadap seluruh wanita muslimah, kecuali hanya kepada para artis atau pesohor yang memang senantiasa menjaga bentuk tubuh idealnya demi kepentingan pribadinya sebagai publik figur.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, ia telah mengenyampingkan hal lain yang justru lebih penting dibanding sekadar melihat dari sisi fisik berat badan ideal seorang wanita. Lagi pula, tak masuk akal jika berat badan ideal menjadi ukuran kesalehan seseorang—apalagi dengan menyatakan ukuran tertentu—karena kesalehan adalah hal yang sulit diungkap, kecuali menjadi wilayah prerogratif Tuhan yang menilainya.
Saya malah berpikir, betapa Tuhan saja sangat mengutamakan dan menghormati manusia, bahkan mengangkat derajat mereka di atas derajat mahluk-mahluk-Nya yang lain.
Dalam salah satu ayat al-Quran disebutkan, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS 17: 70).
ADVERTISEMENT
Seluruh anak Adam tentu saja dimuliakan semuanya, tak ada yang dibeda-bedakan kecuali mereka memiliki kelebihan di antara mahluk Allah yang lainnya dalam hal kesempurnaan bentuk fisik dan rezeki yang diberikan.
Saya kira, ungkapan Hanan justru berbahaya jika tak diklarifikasi, karena akan sangat mengaburkan makna kesalehan seseorang terlebih jika diukur dari kesempurnaan fisik.
Bahkan, bisa jadi penilaiannya soal wanita solehah justru melampaui takdir Tuhan sendiri karena secara tidak langsung membantah “klaim” Tuhan soal kemuliaan manusia yang diukur dari ketakwaannya, bukan dinilai dari segi fisik.
Tak pantas rasanya membuat klaim-klaim “kebenaran” terlebih menilai kesalehan seseorang padahal seluruh penilaian takwa hanyalah hak prerogratif Tuhan. Biarlah ini menjadi wilayah Ketuhanan yang dengan Kemahakuasaan-Nya berhak mengklaim, seseorang itu sesat atau diberi hidayah sehingga kemudian menjadi sosok kafir, beriman, atau saleh, dan salehah.
ADVERTISEMENT
Belum lagi habis soal protes netizen, beberapa waktu yang lalu, Hanan justru mengunggah salah satu ceramahnya yang juga dinilai kontroversial. Bukan apa-apa, ia dengan tanpa tedeng aling-aling menyebut Nabi Musa AS dengan sebutan “premannya para Nabi”.
Ungkapan ini jelas dalam banyak hal menyakiti perasaan umat Islam. Bagaimana seorang nabi yang dimulyakan bahkan menjadi teladan lalu dianggap sebagai “preman”? Walaupun barangkali, Musa memiliki perawakan tubuh yang besar dan berotot—lagi-lagi soal fisik—sangat tidak etis jika disebut sebagai preman.
Musa, meskipun disebut seringkali “protes” kepada Tuhannya, namun tetap harus mampu memerankan sikap lemah lembut di saat menghadapi kekuasaan Firaun yang zalim sekalipun.
Cerita Nabi Musa sangat kontras ketika digambarkan al-Quran dengan kelemahlembutan dirinya dalam menghadapi situasi kezaliman. “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS. 20: 42-43).
ADVERTISEMENT
Alangkah tak masuk akal seorang nabi yang lemah lembut lalu dipersepsikan sebagai preman seperti yang diungkap Hanan Attaki. Saya kira, seorang penceramah terlebih telah menjadi publik figur dan mempunyai banyak pengikut di masyarakat, penting untuk selalu menjaga lisannya karena lisan sangat mudah tergelincir.
Itulah kenapa seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Dinar menangis ketika dirinya takut selama ini ucapannya kepada para muridnya menyakiti mereka, karena ia pasti akan mempertanggungjawabkannya kelak di Hari Kiamat.