news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Hantu Komunis dan Candu Agamis

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2018 16:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, istilah “komunis” seringkali disandingkan secara berlawanan dengan “agamis”. Mereka yang berideologi komunis, sudah pasti dianggap bermusuhan atau minimal melawan orang-orang yang memiliki keyakinan agama. Mungkin saja ini fakta sejarah yang begitu melekat dalam benak masyarakat Indonesia, terlebih diperkuat oleh kenyataan rezim yang terus menerus mengungkit tragedi kemanusiaan yang mengerikan ini. Komunisme itu “jahat” dan “dilaknat”, bahkan “keparat”. Jadi, jangan pernah lagi ada hal apapun yang menyerupai komunisme, karena ia merupakan hantu blau yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat agamis. Belakangan, isu bangkitnya komunisme merebak ditengah arus perlawanan sekelompok orang kepada rezim, bahkan laku menjadi isu politik membangkitkan kembali ingatan tragedi berdarah puluhan tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Ketika peristiwa pembangkangan komunisme di Indonesia, saya sendiri belum lahir, tetapi cerita-cerita tentang jahatnya komunis—dalam hal ini didalangi PKI—disampaikan banyak pihak, termasuk orang tua saya sendiri. Cerita soal pembantaian manusia dan pembangkangan PKI jelas merinding mendengarnya, karena dengan penuh semangat bapak saya menceritakannya secara langsung. Bapak adalah salah satu anggota Ansor, salah satu organisasi banom NU yang gigih melawan komunisme karena memang dianggap bertanggungjawab atas kematian para kiai dan ulama NU. Peristiwa pembunuhan dan pembantaian kiai kampung itu bukan isapan jempol, akibat konflik komunal waktu itu dimana orang-orang PKI menganggap para kiai itu “borjuis”, memiliki banyak tanah dan sawah, pesantren, dan dihormati banyak orang, sehingga patut disingkirkan.
Sampai detik ini, tragedi ingatan 1965 itu terus dihidupkan, bahkan dipermak dan dimodivikasi sesuai kebutuhan. Ingatan tragedi 1965 muncul terkadang dalam bentuknya yang lebih modern: t-shirt, duit, atau bendera bergambar palu arit, atau narasi-narasi politik menggelikan, termasuk meme-meme lucu atau menakutkan dan video-video dari para vlogger yang entah memang sekadar lucu-lucuan atau disengaja dibuat oleh pusat hoax terpadu. Isu soal bangkitnya komunisme sangat dirasakan beberapa tahun belakangan ini, bahkan tak jarang isu ini dihembuskan sebagai bagian komoditas politik yang “dijual” dengan tujuan “menjegal”.
ADVERTISEMENT
Saya justru membayangkan, betapa berdosanya Karl Marx jika demikian, karena dirinyalah sesungguhnya yang mempopulerkan istilah “komunisme” secara teoritis sebagai bentuk perlawanan dari kepongahan kapitalisme yang memberangus para petani dan orang-orang lemah tak bermodal. Masih lekat dalam ingatan saya, ketika saya belajar soal komunisme yang masuk dalam mata kuliah Sosiologi beberapa puluh tahun yang lalu. Hampir tak ditemukan bahwa komunisme itu ideologi jahat, paham berbahaya, atau memberikan efek ideologis pemberontak bagi siapa saja yang mempelajarinya. Ketika Marx menulis buku “Das Kapital” 200 tahun yang lalu, jelas baru dirasakan saat ini, dimana kapitalisme justru menguasai dunia dan menjerat orang-orang “lemah” didalamnya. Sistem yang serba kapitalistik, justru dilawan habis-habisan oleh Marx melalui magnum opus-nya ini dengan menawarkan berbagai macam solusi teoritik yang kemudian mengilhami berbagai disiplin ilmu individual, seperti sosiologi politik, pedagodi, psikologi, studi agama, hukum, bahkan sastra.
ADVERTISEMENT
Saya tentu saja berpikir, mungkin ada orang-orang yang salah ketika mengadopsi dan memodifikasi teori-teori Marx soal komunisme, hingga komunisme justru menjadi “hantu ideologis” yang menakutkan. Yang lebih parah, komunisme selalu saja dipertentangkan dengan konteks agama seperti suatu adagium Marx yang terkenal, “agama adalah candu bagi masyarakat”. Padahal, ribuan tahun yang lalu, Nabi Muhammad pernah mengkritik sekelompok orang yang terlampau “berlebihan” dalam agama. Nabi pernah menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu itu hancur dan binasa karena mereka terlampau berlebihan (ghuluw) dalam beragama”.
Ungkapan Nabi Muhammad diatas jelas merupakan peringatan sekaligus kritik agar agama tidak menjadi “candu” bagi setiap pemeluknya. Orang yang “kecanduan” sama halnya bersikap secara “berlebihan” (ekstrim) dalam beragama. Itulah kenapa, banyak ungkapan-ungkapan Nabi yang justru menyuruh agar kita berhati-hati dalam bersikap secara agamis. Sikap agamis bukan berarti tak sanggup dihinggapi setan, justru setan yang menggodanya jelas lebih hebat dan kuat. Jika kita sering membaca sejarah dan kisah-kisah masa lampau, tentu kita akan mendapatkan betapa fenomena agamis tak menjamin linier dengan sikap kesalehan individual maupun sosialnya.
ADVERTISEMENT
Saya teringat sebuah ungkapan yang dinukil oleh Syekh Zarnuji dalam karya monumentalnya, Ta’lim al-Muta’allim. Ia menulis: “Orang yang tekun beribadah tapi bodoh, bahayanya lebih besar, daripada orang ‘alim tapi durhaka. Keduanya adalah penyebab fitnah dikalangan umat, yaitu bagi orang yang menjadikan mereka sebagai panutan dalam urusan agama”. Pengetahuan dan bekal informasi yang cukup justru menjadi kunci utama yang akan menyelamatkan setiap orang dari berbagai sikap “berlebihan”, ekstrimisme, atau kebodohan yang pada akhirnya merusak dan membahayakan umat. Jadi, bagi saya, sikap berlebihan dalam hal apapun—termasuk komunis dan agamis—jelas merusak dan membahayakan.
Setiap orang dituntut untuk lebih cerdas dan jujur, bahkan mau secara lapang dada menerima apapun yang dianggap baik oleh akal dan membuang jauh-jauh apapun yang bertentangan dengan akal sehatnya. Beragama bisa berbahaya jika disikapi secara berlebihan, ekstrim, atau melampaui batas (ghuluw), sehingga agama sekadar “candu” yang akhirnya membutakan akal dan nurani manusia, menyimpang jauh dari kebenaran Tuhan yang sesungguhnya. Sama halnya sikap yang buta terhadap bentuk ideologi apapun—termasuk komunisme—jika diaktualisasikan secara berlebihan dan melampaui batas, ideologi ini jelas merusak sendi-sendi sosial, termasuk memusuhi agama. Berpikirlah jernih dan berimbang, maksimalkan potensi akalmu untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah.
ADVERTISEMENT