Islam dan Politik (tanpa) Identitas dalam Pilpres 2019

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
27 September 2018 16:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin tak ada salahnya jika soal dukungan Yenny Wahid dan Gusdurian kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf merupakan simbol perlawanan atas politik identitas yang selalu disuarakan rivalnya, Prabowo-Sandi. Politik identitas yang dimaksud kental dengan nuansa fanatisme golongan atau kelompok berdasarkan segmentasi agama tertentu, bahkan menolak seluruh realitas sosial yang tidak sesuai segmentasinya. Politik identitas seringkali mengidentifikasikan diri dan kelompoknya sebagai “yang terbaik” seraya mempropagandakan segala kelebihannya dengan memanfaatkan artikulasi keagamaan demi tujuan-tujuan kepentingan kelompoknya sendiri. Wujud politik identitas dengan mengatasnamakan kelompok dan agama tertentu, seringkali menciptakan ikatan-ikatan ekslusivistik yang jauh dari nilai-nilai pluralisme-kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Sangat wajar kiranya, jika nilai-nilai pluralisme yang ditanamkan mendiang KH Abdurrahman Wahid cukup kuat menjadi pedoman berpolitik keluarga dan para pengikutnya dalam barisan “Gusdurian”. Nilai-nilai pluralisme yang ditanamkannya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam yang “rahmatan lil alamin”, melalui penerimaan seluruh perbedaan berdasarkan realitas sosial, baik agama, keyakinan, suku, bangsa, tradisi, dan budaya. Islam dalam pandangan Gus Dur bermakna subtantif-inklusif: secara politik “menjauhkan” dari simbolisasi atau identitas kekelompokkan dan secara sosial membangun ruang-ruang kebersamaan dalam hubungan-hubungan sosial berdasarkan cara pandang “keimanan” bukan “keislaman”. Nilai-nilai ajaran Islam dibumikan secara sosio-kultural sehingga mampu menciptakan wajah Islam yang lebih ramah, berkeadilan, dan moderat.
Menguatnya arus politik identitas yang disuarakan berbagai kalangan dalam upaya mendukung pasangan Prabowo-Sandi, justru menjadi alasan terpenting Yenny dan Gusdurian untuk menolaknya dan memilih mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf yang lebih egaliter. Jika figur Jokowi dianggap sebagai sosok sederhana namun kaya akan karya dan Ma’ruf dinilai sebagai perwujudan nilai-nilai Islam pluralis sebagaimana dinarasikan Gus Dur, maka dipastikan pasangan ini “cocok” dalam persepsi politik mereka. Namun yang pasti, kultur pluralisme yang sejauh ini “hidup” dalam beragam aktivitas Gusdurian, tentu sangat bertolak belakang dengan berbagai narasi politik identitas.
ADVERTISEMENT
Dukungan resmi Yenny Wahid akan berdampak sebagai tambahan amunisi politik secara signifikan terhadap kekuatan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Yenny, tentu saja tidak sendirian karena dibelakangnya ada banyak kiai dan ulama, termasuk anak-anak muda NU pengagum Gus Dur. Bukan hanya itu, keputusan memberikan dukungan tentu saja berdasarkan “kesepakatan” para ulama yang memahami benar bagaimana Islam diartikulasikan dalam ranah politik. Para ulama “pembisik” Yenny tentu saja yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana dipegang teguh oleh Gus Dur, yaitu prinsip “rahmatan lil ‘alamin” yang mengejawantah dalam ranah pluralisme dan inklusivisme.
Sebagai suatu tambahan kekuatan politik bagi Jokowi-Ma’ruf, dukungan Yenny dan Gusdurian tentu saja tidak serta merta menjadi tambahan suara dalam kemenangan ajang kontestasi. Memilih, pada akhirnya tetap saja bersifat privat yang sulit diprediksi kecuali setelah selesai dilakukan di bilik-bilik suara saat pemilu berlangsung nanti. Namun paling tidak, dukungan resmi ini akan memperkuat posisi para pemilih yang sebelumnya gamang, terutama mereka yang masih meyakini mendiang Gus Dur sebagai tokoh kharismatis, cucu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang begitu dihormati. Ikatan kultural diantara mereka cukup kuat dan solid, sehingga hampir tak mengenal politik identitas, kecuali ikatan kultur yang terbangun secara tradisional.
ADVERTISEMENT
Menarik sesungguhnya ketika menghadapkan realitas politik kekinian dengan pemahaman religiusitas masyarakat pemilih yang berdampak langsung pada cara pandang mereka terhadap situasi politik, ekonomi, maupun sosial. Realitasnya, seringkali kita dihadapkan pada dua sisi yang benar-benar dikotomis: kebebasan dan pengekangan, liberalisme dan konservatisme, agama dan sekularisme, kesalehan dan kejahatan, dan lain sebagainya. Dualisme dalam kenyataan sosial seringkali memaksa kita untuk memilih salah satu diantaranya, suka atau tidak suka. Politik identitas dalam hal ini muncul sebagai efek dari dualisme dikotomis, mengidentifikasi mereka sebagai kelompok tertentu secara “ekstrim”, menganggap kelompok lainnya secara hitam-putih sehingga wajar jika kemudian lahir sikap intoleransi yang berlebihan.
Wujud narasi politik identitas yang memiliki kesan ekstrem—karena menolak segala upaya yang berbeda dengan kelompok atau afiliasinya—terlebih dengan menidentifikasi mereka dengan berbagai gerakan Islam tertentu dan menghantam kelompok muslim lainnya yang sejauh ini moderat, jelas akan mendapatkan perlawanan yang sangat kuat. Saya tidak melihat hal ini sebagai upaya memperlebar konflik antarumat, tetapi sebagai bagian dari dinamika politik muslim ditengah arus “hibridasi kultural” yang kian mengglobal. Konsep “hibridasi kultural” ini dimaknai sebagai sebuah bentuk percampuran budaya, tradisi, nilai, dan prinsip yang dipegang oleh masyarakat akibat proses interaksi intensif antara seseorang dan sekelompok orang dengan konteks dan tradisi yang ada di sekitarnya. Seseoarng dapat bersikap akomodatif terhadap nilai-nilai baru dan tidak menjadi “kagetan”, atau bisa menolaknya dan menganggap sebagai suatu bahaya “laten”.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, Islam yang diangkat oleh Gus Dur dengan mengedepankan nilai-nilai substansinya yang humanistik dan pluralistik, justru akomodatif terhadap berbagai dinamika perubahan sosial yang ada. Pluralisme yang diperkenalkan Gus Dur melalui nilai-nilai ajaran Islam tampak universal dan mampu diterima secara baik oleh berbagai pihak. Islam dalam hal ini, memiliki muatan-muatan politik namun tanpa “identitas”, karena nilai-nilai ajaran Islam yang dikandungnya secara universal mampu “membumi” dan mempengaruhi beragam kehidupan sosial. Islam tak dimunculkan dalam narasi politik kekuasaan secara gamblang, namun bersifat menginspirasi dan mengisi setiap sisi kehidupan masyarakat.
Itulah sebabnya, Yenny Wahid sebagai penerima tongkat estafet ajaran dan nilai pluralisme yang sebelumnya ditangan ayahandanya, Gus Dur, berkewajiban melanjutkannya dan terus menularkannya kepada generasi-generasi muda muslim setelahnya. Pokok nilai-nilai ajaran pluralisme jelas menafikan keunggulan politik identitas, seraya menyuarakan nilai-nilai politik kebersamaan, persatuan, keragaman dalam bingkai kebangsaan yang universal. Itulah barangkali, dukungan Yenny dilabuhkan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam Pilpres 2019 mendatang, karena pasangan ini benar-benar cermin dari figur yang dapat diterima semua pihak, lintas agama, profesi, tradisi, bahkan budaya. Kesemuanya justru ada dalam nilai-nilai pluralisme yang sejauh ini melekat dalam ajaran Islam, tanpa “politik identitas” apapun didalamnya, kecuali “rahmatan lil ‘alamin”.
ADVERTISEMENT