Kala NU 'Minoritas' Dukung Prabowo-Sandi

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
30 November 2018 15:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah kiai keturunan pendiri NU Jawa Timur melakukan pertemuan dan dukungan ke Prabowo-Sandi (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah kiai keturunan pendiri NU Jawa Timur melakukan pertemuan dan dukungan ke Prabowo-Sandi (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Soal kalimat NU “minoritas” ini terlontar dari pernyataan salah satu politisi pendukung Jokowi, setelah beberapa tokoh NU yang memiliki garis keturunan dengan pendiri NU: KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri, secara terbuka memberikan dukungan kepada capres Prabowo Subianto. Istilah “minoritas” tentu saja sangat “bias” bahkan seakan mendikotomi bahwa NU itu ada yang mayoritas dan minoritas.
ADVERTISEMENT
Tambah bingung kan? Beginilah diksi kata yang ketika diungkapkan ke publik sekadar terbawa halusinasi politik yang pada akhirnya menjadi kontraproduktif. Tak perlu harus mendikotomisasi antara NU mayoritas dan minoritas, karena NU tetaplah ormas terbesar dengan keterikatan setiap anggotanya secara kuktural-keagamaan.
Politik tentu saja memberi warna tersendiri bagi NU, sehingga ketika ada bermacam-macam cara pandang warganya terhadap pilihan politik, tak bisa kemudian disederhanakan. NU tentu saja mayoritas secara kultural, karena ke-NU-an justru menjadi ciri khas yang paling “indigenous” dalam praktik keberagamaan Islam di Indonesia.
Tak semua orang mempunyai kartu anggota NU walaupun praktik keagamaannya secara kultur sangat dekat dengan NU. Itulah kenapa kemudian muncul dikotomisasi yang menyebut ada “NU kultural” dan “NU struktural”. Dalam kacamata politik, dikotomisasi ini mungkin saja dapat memetakan secara kasar, mana warga NU yang cenderung mendekati politik praktis dan mana yang tidak.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu iklim politik demokratis, wajar saja ketika ada kalangan yang secara terbuka mendukung salah satu kandidat. Jika perlu, tak perlu dihubung-hubungkan dengan latar belakang keorganisasiannya.
Sejumlah kiai keturunan pendiri NU Jawa Timur melakukan pertemuan dan dukungan ke Prabowo-Sandi (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah kiai keturunan pendiri NU Jawa Timur melakukan pertemuan dan dukungan ke Prabowo-Sandi (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
Saya kira, dukungan beberapa tokoh yang memiliki kaitan langsung secara nasab dengan para pendiri utama NU kepada pasangan Prabowo-Sandiaga adalah hal yang biasa. Walaupun hal ini dapat berdampak pada peningkatan elektabilitas kandidat yang mereka dukung, tentu ini sangat wajar dan memang sudah seharusnya iklim kompetitif ini terus dihidupkan.
Dengan menyebut bahwa dukungan itu hanyalah “minoritas” di kalangan NU, seakan memperlihatkan kekhawatiran di mana ini sebenarnya justru dukungan mayoritas, lalu dipersepsikan seolah-olah mereka itu bagian minoritas saja dari NU.
Pasang-surut NU dalam dunia politik praktis telah menjadikan ormas ini lebih cenderung nyaman dengan tidak menjaga jarak dengan kekuasaan. NU pernah jadi parpol, lalu bergabung dalam wadah besar parpol Islam bernama Masyumi, kemudian pecah, dan dipaksa fusi dan masuk dalam PPP, membuat serentetan sejarah kepolitikan NU cukup dinamis.
ADVERTISEMENT
Itulah kenapa, NU sangat sulit dipisahkan dengan dunia politik, pun setelah NU mendeklarasikan dirinya kembali ke khittah 1926. Para aktivis NU yang tersebar dalam banyak parpol, kemudian “di-recall” ketika bergulirnya era reformasi agar NU mempunyai wadah politiknya sendiri. Itu artinya ketika ditanyakan apakah NU itu entitasnya berhaluan ormas keagamaan atau politik, jawabannya cukup beragam.
Bagi saya, NU bukanlah milik salah satu kubu tertentu yang saat ini sedang sibuk berkontestasi. NU bukan milik salah satu parpol yang kebetulan lambangnya mirip atau bukan juga milik salah seorang kandidat yang berkompetisi dan diakui sebagai kiai besar NU.
ADVERTISEMENT
Ormas ini justru seperti terus ditarik ke dalam ranah politik, terlebih di masa-masa kontestasi, sekadar dimanfaatkan suaranya demi kepentingan politik sesaat. Suara NU sering kali menjadi rebutan banyak pihak dan lucunya masing-masing mengeklaim mendapat dukungan “mayoritas” dari NU.
Itulah risiko “vote getter” yang ada dalam tubuh ormas NU, karena setiap tokoh dan petingginya dapat dimanfaatkan untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat dalam suatu ajang kontestasi.
Diakui maupun tidak, NU memang seperti berada di persimpangan jalan, antara memberikan dukungan kepada salah satu kandidat atau tetap bersikap netral dalam hal politik praktis. Mendukung salah satu kandidat secara resmi, berarti garis perjuangan khittah NU dikhianati. Di sisi lain, jika tak memberikan dukungan, maka NU jelas terpinggirkan secara politik padahal ormas ini memiliki jutaan pengikut yang menjadi lahan rebutan para pendulang suara di saat pemilu.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, dukungan tokoh-tokoh yang merepresentasikan kalangan “darah biru” NU, lebih mewakili sisi kuturalnya dengan tidak membawa NU secara formal dalam konteks dukungan politik tersebut.
Tak perlu harus menunjukkan kekhawatiran dengan menyebut dukungan tokoh NU kepada pasangan Prabowo-Sandiaga adalah “minoritas”. Karena soal mayoritas dan minoritas tak dapat diukur dari kepopuleran atau ketokohan seseorang dalam ormas NU itu sendiri.
Popularitas tak menjamin elektabilitas dan hal ini sudah banyak terbukti dalam banyak cerita soal kemenangan kandidat yang tidak populer tetapi justru memenangkan ajang kontestasi politik. Mayoritas yang ditunjukkan melalui kepoleran tokoh-tokohnya yang mendukung salah satu kandidat politik, tak juga sebagai jaminan bahwa suara para pemilih berlatar belakang NU, mengikuti mayoritas tokoh-tokohnya yang menasional dan populer.
Prabowo ziarah ke makam pendiri NU KH Hasyim Asy'ari di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Senin (22/10). (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo ziarah ke makam pendiri NU KH Hasyim Asy'ari di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Senin (22/10). (Foto: Dok. Istimewa)
Di sinilah keunikan ormas seperti NU, seperti tak ada habis-habisnya terus “dipolitisasi” oleh berbagai kenyataan sosial-politik, terutama di saat-saat jelang pemilu. Bahkan tak jarang, opini media yang mengangkat atau menjatuhkan citra NU, tak membuat ormas ini bergeming.
ADVERTISEMENT
Citra NU sebagai pengawal tradisi keagamaan mayoritas muslim tanah air tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat luas, bahkan keberadaan “kultur”-nya selalu dibela oleh siapapun, tak perlu harus secara formal terafiliasi dengan NU. Secara kultural, NU tetap menjaga, merawat, dan memperteguh solidaritas keumatan melalui prinsip “jalan tengah”-nya yang selalu moderat sehingga mampu diterima oleh banyak pihak.
Walaupun NU lebih kental dinamika politiknya, namun pandangan yang menyederhanakan NU secara “mayoritas” atau “minoritas” yang dikaitkan dengan soal dukungan kepada salah satu kandidat, justru seakan mengaburkan posisi NU sebagai ormas sosial keagamaan.
NU bukan organisasi politik yang ditunjukkan melalui mayoritas atau minoritas pilihan politiknya kepada salah satu pasangan kandidat. Terminologi ini saya kira sangat “bias” karena justru seolah membelah NU menjadi dua kriteria organisasi secara berbeda. Kenyataan politik belakangan, tak seharusnya juga membelah NU menjadi kelompok pendukung atau rivalitas secara internalnya.
ADVERTISEMENT
Biarlah NU menjalani sesuai “kultur politik”-nya, dengan beragam cara pandang warganya terhadap entitas politik, sehingga mendukung kandidat manapun adalah bagian dari keragaman kultural NU.