Kengerian Tergambar Jelang Putusan MK

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
27 Juni 2019 11:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam suatu negara hukum yang menghormati dan menjunjung tinggi suatu keputusan hukum, setiap orang tentu saja dapat menebak mana keputusan yang benar-benar cermin suatu keadilan bagi masyarakat. Itulah sebabnya, para hakim adalah 'mandataris Tuhan' yang memutuskan suatu perkara berdasarkan rasa keadilan, bukan atas dasar desakan politik atau kekuatan tertentu.
ADVERTISEMENT
Keputusan hakim adalah kepanjangan dari 'tangan Tuhan' itu sendiri. Maka, tugas hakim dalam memutus suatu perkara jelas berimplikasi luas. Tidak saja membawa suara keadilan masyarakat, tetapi memiliki tanggung jawab personal kepada Tuhan, disadari maupun tidak oleh dirinya.
Maka, dalam ajaran Islam, seorang hakim yang didaulat dan diserahi kepercayaan untuk memutus suatu perkara dalam konteks kebenaran memiliki konsekuensi teologis dan sosiologis sekaligus. Tugas berat hakim tidak saja memutus perkara seadil-adilnya dan memberikan rasa keadilan sebenar-benarnya kepada publik, namun bertanggung jawab secara teologis, karena seluruh keputusan Tuhan sepenuhnya berada di tangan para hakim yang adil.
Konsekuensi tersebut jelas akan membangun kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap entitas lembaga hukum, sebab setiap keputusan hakim dianggap sebagai 'takdir Tuhan' yang mau tidak mau harus diterimanya sebagai wujud keadilan-Nya di muka bumi.
ADVERTISEMENT
Memang, tidak ada keputusan pengadilan di dunia yang akan melegakan semua pihak, sekalipun telah sesuai dengan segala bukti dan fakta hukum, yang disesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun jika suatu keputusan yang baru akan dibacakan sudah mengundang banyak hal menakutkan, dan membuat situasi dan kondisi yang diciptakan sedemikian 'mengerikan', ini jelas menandakan ada tingkat kepercayaan masyarakat yang telah hilang, bahkan lumpuh dalam memandang wajah peradilan di negerinya sendiri.
Kengerian bukan diciptakan oleh indikasi kemungkinan adanya penolakan sebagian masyarakat terhadap suatu keputusan hukum, tetapi dipicu oleh persepsi pemerintah sendiri, di mana seolah-olah proses pengadilan akan diwarnai aksi kekerasan karena 30 teroris akan melancarkan aksinya.
Kengerian jelas tergambar pada hari ini, jelang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan membacakan amar putusan perselisihan hasil pemilu presiden 2019. Kengerian yang tidak saja dihembuskan oleh warga sipil yang memang daya kepercayaannya kepada seluruh lembaga pemerintahan merosot tajam, tetapi diciptakan sendiri oleh penguasa. Hal ini jelas membuat masyarakat semakin takut, sekalipun mereka adalah warga yang sangat menjunjung tinggi dan percaya terhadap segala konsekuensi hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Inilah yang sekaligus membuat salah satu tokoh masyarakat, Din Syamsuddin, bereaksi keras atas pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, yang menyebutkan sudah ada 30 teroris yang masuk wilayah Jakarta dan akan melancarkan aksinya di saat MK memutuskan perkara perselisihan hasil Pilpres 2019.
Alih-alih menciptakan suasana kondusif dan membangun tingkat keamanan dan kenyamanan masyarakat, pernyataan Moeldoko jelas mengkhawatirkan atau bahkan menambah kengerian di tengah animo masyarakat, yang sedemikian hebat tersihir oleh drama-drama faktual yang dipertontonkan melalui serangkaian sidang di MK.
Bangsa ini semakin dihantui oleh dramaturgi politik remeh-temeh dalam perebutan kekuasaan. Hampir tak ada pihak yang rela melepaskan diri dari hiruk-pikuk ini, kecuali saling berebut pengaruh sebagai pihak yang pro maupun kontra. Terlalu banyak energi positif masyarakat yang digadaikan sia-sia dalam rangka perebutan kekuasaan. Padahal aspek-aspek sosial lainnya, banyak yang hampir tak pernah disentuh sedikitpun.
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
Jelang keputusan MK tergambar melalui kesibukan yang luar biasa dari para aparat, yang memberlakukan rekayasa lalulintas, dan berdampak pada sulitnya akses masyarakat untuk melakukan aktivitasnya secara normal. Bahkan, asumsi soal adanya teroris semakin membuat kehidupan masyarakat di Jakarta semakin tidak nyaman, dihantui rasa ketakutan, dan kengerian.
ADVERTISEMENT
Padahal ini terkait oleh suatu pembacaan keputusan hukum yang benar-benar cermin dari keadilan. Ironi memang, bahwa suasana keadilan justru terganggu sedemikian rupa, oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap realitas hukum dan pro-kontra kekuasaan politik. Bahkan ditambah juga dengan persepsi negatif mereka terhadap munculnya aksi teror di sela-sela putusan ketetapan hukum.
Aroma perebutan kekuasaan seolah tak pernah melemah, sekalipun masa-masa genting kontestasi telah jauh meninggalkan arenanya. Disadari maupun tidak, kekuasaan ibarat tulang belulang yang diperebutkan, padahal daging lezatnya telah habis tak bersisa. Seolah, kekuasaan politik itu menjadi penentu maju-mundurnya suatu negara dan bangsa Padahal, kekuasaan tentu saja siklus lima tahunan yang siapapun berhak mendapatkannya, tanpa harus berjibaku mengorbankan apa saja.
Indonesia tentu saja dibangun oleh peradaban yang saling bersinergi di antara nilai-nilai moral, tradisi, adat, dan agama, yang hidup saling mendukung. Tidak semata-mata hasil perebutan kekuasaan, yang seringkali mengorbankan banyak pihak. Kita tentu saja tidak berada dalam siklus zaman Majapahit yang direbut kekuasaan politiknya oleh Demak. Bukan pula di zaman kehebatan Demak yang pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan Mataram.
ADVERTISEMENT
Sebagai bangsa yang melek dan taat hukum, kita tentu saja belajar dari kearifan dan kebijaksanaan para mbah-mbah kita terdahulu, yang senantiasa menekankan aspek keluhuran moral, menerima segala konsekuensi hukum yang telah disepakati dan ditetapkan, melegakan atau menyempitkan sebagian atau beberapa pihak sekalipun, namun itulah keputusan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Tak perlu juga para penguasa menakut-nakuti bahwa ketika keputusan hukum itu ditolak, akan terjadi kekacauan dan kekisruhan yang dimotori oleh para teroris, yang akhirnya menciptakan 'kambing hitam' terhadap suatu kelompok keagamaan tertentu dalam masyarakat. Pemanfaatan kambing hitam ini justru yang menambah suasana keadilan semakin terkikis, padahal membangun kepercayaan bersama dengan memberikan rasa nyaman kepada semua pihak, jelas lebih penting daripada sekadar membuat asumsi-asumsi negatif.
ADVERTISEMENT
Jadi, mari kita terima apapun keputusan mahkamah, tanpa harus diikuti rasa takut berlebihan. Sebab mahkamah yang diambil dari istilah bahasa Arab 'hakama', yang berarti memimpin, memerintah atau mengadili, berarti ia merupakan tempat paling otoritatif dalam memerintah dan memutuskan suatu perkara hukum (mahkamah).
Istilah 'mahkamah' ini seolah melepaskan diri dari keterkaitan sejarah pra-Islam di Nusantara. Dulu para hakim dalam sebuah mahkamah kerajaan diberi gelar 'dharmadhyaksa' atau 'kertopatti', tetapi dalam hal ini mereka tetap diberi gelar hakim konstitusi. Itu artinya, mahkamah erat kaitannya dengan nuansa teologis yang bahkan memiliki keterikatan dengan sejarah peradaban Islam yang kuat. Jika tidak mempercayai mahkamah, berarti sama halnya dengan tidak meyakini 'keputusan Tuhan' itu sendiri.
ADVERTISEMENT