Korupsi, Virus Corona, dan Agama

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
28 Januari 2020 13:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas kesehatan menggunakan 'thermal scanner' mendeteksi suhu tubuh penumpang yang tiba di Bandara Internasional Almaty, Kazakhstan. Foto: REUTERS / Pavel Mikheyev
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kesehatan menggunakan 'thermal scanner' mendeteksi suhu tubuh penumpang yang tiba di Bandara Internasional Almaty, Kazakhstan. Foto: REUTERS / Pavel Mikheyev
ADVERTISEMENT
Memahami berbagai isu belakangan ini, tentu saja tak semudah bagaimana kita menyimpulkan bahwa mendung adalah pertanda hujan akan segera turun. Informasi yang sampai kepada kita, baik secara verbal maupun tekstual, butuh pemahaman mendalam (verstehen) sehingga kita tak begitu saja membuat kesimpulan-kesimpulan yang mungkin saja salah.
ADVERTISEMENT
Namun kebanyakannya, respons atas isu-isu tertentu—entah sosial, politik, atau agama—sering kali tampak berwarna “ideologis” dan hampir-hampir selalu ditafsirkan berdasarkan pemahaman “dogmatis”, tidak pada upaya memahami respons atas sebuah “realitas” secara objektif dengan tanpa didahului oleh prasangka-prasangka berdasarkan mentalitas subjektif yang telah terbentuk sedemikian rupa, sehingga realitas tampak kabur, bercampur dengan justifikasi tertentu yang hampir-hampir tak memiliki makna.
Korupsi lebih dipahami sebagai bentuk “balas dendam” politik atau “disparitas kepentingan”, tak jauh berbeda dengan isu virus corona yang kurang lebih sama, bahkan ditambah dengan bumbu-bumbu agama.
Ketika isu korupsi yang menjerat para pemangku kepentingan, terlebih erat kaitannya dengan fenomena politik hegemoni, maka praktik korupsi sebagai “misuse of power” seolah bergeser menjadi realitas politik yang sempit: prasangka-prasangka liar rivalitas bergulir sebagai arena perebutan kepentingan antara penolakan dan dukungan terhadap satu kekuatan politik, bahkan lebih jauh sampai pada tahap persepsi di mana negara telah ikut campur dan terlibat terlalu dalam ketika berbagai kasus korupsi melibatkan pihak penyokong kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kasus OTT yang melibatkan salah satu oknum pimpinan KPU jelas dapat dipahami sebagai bagian dari “fakta politik” yang memungkinkan adanya unsur keberpihakan KPU terhadap pihak-pihak tertentu dalam kontestasi politik. Sekalipun di sisi lain, realitas ini benar-benar bentuk “keserakahan” kekuasaan dan penyimpangan nyata dalam konteks politik terutama pada mereka yang berkuasa dan memiliki akses yang terlampau luas kepada sumber-sumber kekuasaan.
Dalam konteks ini, kita justru tidak sedang melawan praktik penyimpangan kekuasaan, namun lebih kepada ketidakpuasan atas hegemoni politik yang dijalankan pihak-pihak menang. Jika persepsi ini yang terus dimunculkan, maka di setiap terjadi penyimpangan politik seperti korupsi, ketidakpuasan hegemonik akan mendominasi sehingga praktik korupsi sebagai bentuk “penyimpangan” dalam kekuasaan justru dianggap wajar sebagai konsekuensi dari aktivitas politik itu sendiri.
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Itulah sebabnya, kenyataan OTT lebih bermakna “politis” dibandingkan upaya-upaya preventif dan edukatif memberikan kesadaran kepada para penguasa yang menyimpang. Saya sendiri beranggapan, OTT yang tidak diatur dalam UU korupsi—kecuali kewenangan penyadapan—sekalipun tidak lagi diatur dalam revisi UU KPK, tidak terlalu berdampak signifikan terhadap penyelesaian, pengurangan, atau memberikan jera terhadap para koruptor.
ADVERTISEMENT
Praktik korupsi, tetap saja menyisakan persepsi politis, tanpa mengurangi sedikitpun praktik “penyimpangan kekuasaan” yang telah mengakar dalam suatu sistem politik dimana pun sebab “kekuasaan cenderung menyimpang” (power tends to corrupt).
Memberikan kesadaran akan suatu “penyimpangan” dalam kekuasaan terhadap mereka yang “berkuasa” tentu saja teramat sulit, sebab lingkaran kekuasaan tak ubahnya “circulus vitiosus” (lingkaran setan) karena begitu sangat tertutupnya dan hampir-hampir tak bermakna apa pun, kecuali bagaimana kepentingan-kepentingan pribadi terpenuhi dan bagaimana gerak pemahaman bolak-balik antara penguasa dan sumber-sumber kekuasaan dapat memberikan sama-sama keuntungan dan menjauh dari segala hal yang merugikan dan mengganggu kedudukan status quo-nya dalam suatu lingkaran politik kekuasaan.
Sebuah pertanyaan penting, selalu muncul dalam benak kita, “mungkinkah agama sebagai wujud penguatan moral dan etika mendorong kesadaran bagi para penguasa untuk berhenti korupsi?”
ADVERTISEMENT
Memang, tidak semua orang dalam sistem kekuasaan ikut menikmati mudahnya berbagai akses terhadap kekuasaan yang disimpangkan, namun, paling tidak persepsi masyarakat terhadap penguasa korup dan praktik penyimpangan kekuasaan yang begitu terbuka, menunjukkan betapa korupsi sebagai “penyimpangan” kekuasaan dan bentuk “lingkaran setan” seolah membenarkan realitasnya.
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
Agama sebagai “sumber moral” juga tampak tak begitu berpengaruh dalam memberikan kesadaran etik kepada para pemegang kekuasaan untuk lebih memihak kepada “kebenaran” bukan kepada “kepentingan”. Saya kira, Islam sebagai suatu ajaran moral—di mana nilai dan ajarannya dipegang teguh orang mayoritas muslim di Indonesia—telah menunjukkan pesan yang sangat kuat terhadap anti-korupsi.
Lauren Cockroft, menulis dalam salah satu risalahnya bahwa syariat Islam yang terbentuk melalui jalinan nilai dan tradisi sosial sangat memperhatikan aspek kepemimpinan sosial (governance society) di mana nilai-nilai moral filosofisnya sangat tampak jelas menyuarakan pesan-pesan anti-korupsi. Nabi Muhammad jelas-jelas memberikan perlawanan terbuka terhadap “riba”, sebuah praktik lazim masyarakat Mekah yang memperoleh harta dengan jalan batil dan menyimpang.
ADVERTISEMENT
Pesan kuat anti-korupsi dalam agama ini, seolah hanya menjadi realitas semu, tidak menjadi pemahaman dogmatis yang semestinya tertanam dalam benak para koruptor yang beragama.
Merebaknya isu korupsi yang begitu fenomenal, tak kalah fenomenalnya dengan isu virus corona yang belakangan hampir menggeser isu-isu lokal lainnya. Berbagai persepsi masyarakat ikut menyumbang semakin panasnya isu global ini, di tengah hujan deras dan banjir yang melanda sebagian wilayah Nusantara akhir-akhir ini. Virus mematikan yang disinyalir berasal dari Negeri Tirai Bambu dengan cepat menyebar, bahkan lebih cepat melebihi persepsi yang diterima masyarakat di media sosial. Uniknya, ada yang membaca dari pemahaman agama, di mana virus yang berasal dari “sate kalong” ini adalah murka Tuhan atas kekuasaan politik di China yang secara nyata melakukan praktik intoleransi “menyakitkan” terhadap etnis Muslim Uighur dengan berbagai tekanan politik.
ADVERTISEMENT
Persepsi ini kurang lebih diberikan oleh mereka yang belum mampu keluar dari mitologi kisah-kisah azab masa lalu yang dipahami dari ajaran yang berasal dari dogmatisme agamanya. Padahal, demitologisasi penting untuk menjelaskan, bahwa Tuhan memiliki sifat Maha Kasih dan Sayang terhadap umat manusia seluruhnya, sedangkan kisah-kisah kehancuran umat masa lalu yang disebut dalam Kitab Suci, tentu saja merupakan pelajaran (ibrah) yang sangat penting untuk mendorong kesadaran setiap manusia untuk tidak melakukan “penyimpangan” dalam berbagai hal.
Saya kira, berbagai isu global dan lokal, terasa bercampur aduk tanpa dipahami secara baik dan menyeluruh, kecuali sedikit informasi yang kita peroleh dari “running text” atau ungkapan-ungkapan non-verbal di media sosial yang secara masif membanjiri perspektif kita sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Agama, belum dapat menjadi jawaban atas kesadaran moral-etik, karena kebanyakan tentu saja memanfaatkan agama sebagai “justifikasi” moral dan etika, bahkan sering kali membenarkan aspek-aspek politik tertentu atas dasar “kedekatan dogmatis”, bukan atas dasar rasa persamaan kemanusiaan.
Lebih jauh lagi, persepsi sering kali dibangun berdasarkan pemahaman dogmatis-teologis, sehingga memahami tidak melalui interpretasi atas wacana secara objektif, tetapi atas dasar pertimbangan kebenaran ilmiah dan realitas “agama” yang mengangkat nilai-nilai kebaikan manusia bukan sebaliknya. Namun, itulah realitas kita, di mana isu korupsi, corona, dan agama, terkadang tidak menempati posisinya, tetapi bercampur baur dalam perspektif berbau politis dan dogmatis.