news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Lailatul Qadar: Malam Agung Umat Muslim

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
24 Mei 2019 13:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi malam lailatul qadr. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi malam lailatul qadr. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu malam hari yang biasanya dipergunakan oleh manusia untuk beristirahat, tidak demikian bagi beberapa orang. Malam, sebagai keadaan gelap yang menutupi sebagian bumi, hasil ciptaan Tuhan, seringkali justru menjadi “siang” bagi sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Mereka memanfaatkan malamnya untuk merenung, berfikir, menulis, bahkan beribadah dengan penuh ketenangan yang tak dapat dirasakan di siang harinya. Bahkan, pada malam-malam tertentu, bisa menjadi hal paling istimewa bagi mereka, seperti dalam tradisi Islam dimana “Lailatul Qadar” (malam keputusan) benar-benar “dihidupkan” sehingga hampir tak ada batas sama sekali antara siang dan malam di dalamnya.
Dalam banyak tradisi agama, malam seringkali menjadi suatu kondisi paling sakral bahkan sangat diistimewakan, seperti dalam tradisi Nasrani ada “Malam Kudus” sekalipun diekspresikan melalui kidung tradisional, namun suasana sakral malam benar-benar melegenda dalam sejarah masyarakat Kristen.
Atau, dalam tradisi Jawa ada “Malam Satu Suro” dimana diekspresikan melalui ritual-ritual tertentu, seperti kirab, penyalaan obor, dan sebagainya sebagai penghormatan atas datangnya bulan Suro—bulan Muharam dalam tradisi Islam—sama seperti ramainya malam Tahun Baru Masehi sebagaimana dilakukan sebagian besar masyarakat perkotaan. Ternyata, malam memiliki arti penting dalam memenuhi suasana batin masyarakat, bahkan banyak malam-malam tertentu yang diistimewakan Tuhan bagi segenap umat manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi Islam, malam “Lailatul Qadar” tentu memiliki nilai sakral tersendiri dalam masyarakat muslim, bahkan untuk memenuhi suasana batin masyarakat, Tuhan sengaja tidak menentukan di malam ke berapa momen sakral itu terjadi, hanya disebutkan dalam beberapa riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad, bahwa malam sakral dan agung itu ada di antara sepuluh terakhir di bulan Ramadan.
Malam yang disebut itu seringkali diterjemahkan menjadi “Malam Kemuliaan”—sekalipun saya rasa kurang tepat—mengingat bahwa “Lailatul Qadar” adalah malam di mana diturunkannya kitab suci Alquran dari sisi malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.
Keagungan malam ini sangat bersejarah dalam tradisi Islam, sekalipun terkadang pemaknaannya yang dapat diterima oleh semua kalangan umat Islam relatif berbeda-beda. Sebagian besar kemungkinan memahami bahwa “Lailatul Qadar” adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, di mana secara sederhana dipahami, hanya melalui satu malam, kebajikannya bernilai sekitar 83 tahun dan tidak setiap orang mendapatkan malam kemuliaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Konon, dalam salah satu riwayat disebutkan, bahwa Nabi Muhammad pernah menceritakan ada salah seorang dari kalangan Bani Israil yang berjihad tanpa menggunakan senjata, tetapi nilai jihadnya setara dengan beribadah tanpa henti selama seribu bulan. Segera setelah cerita itu, Tuhan kemudian menurunkan salah satu ayat dalam Alquran, dimana disebutkan:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alquran) pada Malam Kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Suatu malam dimana (nilainya) sama dengan seribu bulan” (QS. Al-Qadr: 1-3).
Tidak banyak yang dijelaskan Alquran mengenai malam kemuliaan itu, kecuali beberapa riwayat hadis dan pengalaman-pengalaman orang saleh secara pribadi yang tersebar dalam berbagai kitab yang secara khusus membahas soal Lailatul Qadar ini.
Keagungan dan kemuliaan malam itu adalah lebih dikarenakan pada malam itu Alquran turun kepada manusia melalui lisan Nabi Muhammad. Imam Az-Zamakhsyari dalam karyanya, “Al-Kasyaf” menyebut, bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadikan bahwa Alquran memiliki nilai yang luhur dan keagungan.
ADVERTISEMENT
Pertama, satu-satunya kitab suci yang disandarkan kepada Allah secara langsung adalah Alquran dan hal ini tidak didapatkan pada kitab-kitab suci sebelumnya. Kedua, Alquran turun dalam suasana batin masyarakat, sehingga hampir seluruh ayat-ayatnya yang diturunkan, terkait erat dengan suatu peristiwa historis, bukan turun dalam ruang kosong kemanusiaan. Ketiga, Allah sengaja tidak menyebutkan secara pasti di malam ke berapa kitab suci ini diturunkan dan menjadi satu rahasia paling agung yang selalu dicari manusia yang mereka ketahui bahwa malam kemuliaan ada di antara sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.
Eratnya kaitan antara manusia dan Alquran, seakan semakin menegaskan bahwa Alquran memang menjadi petunjuk bagi manusia (hudan linnaas). Petunjuk tentu saja memberikan sedemikian luas penanda-penanda yang membangkitkan kesadaran etik manusia untuk selalu menggapai kebenaran, mengikuti penanda-penanda yang telah diisyaratkan Tuhan. Ibarat hidup di suatu padang tandus yang teramat luas, setiap manusia berjalan terseok-seok mencari arah yang benar dalam bimbingan Tuhan melalui berbagai tanda-tandanya yang harus diketahui manusia. Maka, jika manusia mau mencari petunjuk, Tuhan pasti akan menunjukkannya ke jalan yang benar dan lurus, sedangkan jika mereka sombong atau enggan mencari petunjuk, maka Tuhan akan membiarkannya tersesat.
ADVERTISEMENT
Alquran hanya diturunkan untuk segenap umat manusia, sebab pernah kitab suci ini diturunkan kepada gunung, maka gunung-gunung bergetar ketakutan dan tak sanggup jika harus menerima wahyu dari Tuhan.
Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir” (QS. Al-Hasyr: 21).
Bukan suatu kebetulan, bahwa dalam tradisi Jawa, ada kidung yang diberi nama “kacer”, didendangkan Mbah Marijan sang Juru Kunci Merapi ketika menjinakkan agar gunung tidak meletus. Kidung Kacer adalah terjemahan dari surat Al-Hasyr—mengingat sulitnya lidah Jawa—yang terinspirasi dari ayat Alquran.
Harus diakui, bahwa malam seringkali dijadikan suasana terbaik bagi manusia dalam melakukan segala aktivitas yang bersifat sakral dan mengandung nilai-nilai ajaran moral. Bukan tidak mungkin, bahwa penyebutan istilah “Israel” adalah penggabungan dari dua kata, yaitu “isra” (berjalan) dan “lail” (malam), sehingga bangsa Israel dulunya adalah para pencari jalan (salik) di malam hari, mencari nilai-nilai kebenaran dan keagungan Tuhan yang banyak terhampar di belantara alam raya ini.
ADVERTISEMENT
Malam sering kali dianggap sebagai kegelapan yang dihubungkan dengan segala kekuatan jahat yang diadaptasi oleh masyarakat primitif. Padahal, seluruh agama menempatkan malam sebagai bagian dari suasana hening yang indah dan sangat istimewa yang hampir-hampir merugi jika melewatinya. Jadikanlah malam yang gulita menjadi cahaya yang menerangi akal dan hati, memancar dalam kerendahan diri dalam menggapai rida ilahi.