Lebaran dan Tradisi Kebajikan

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
7 Juni 2019 23:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sulit rasanya menghadirkan suatu kebajikan bersama secara masif dan terstruktur, kecuali ada dalam momentum lebaran. Ramainya ungkapan saling memaafkan yang begitu indah dan menggembirakan seolah menyemai benih kehidupan dalam ladang-ladang humanis yang menyejukkan. Disinilah makna kebajikan (al-birr) itu mewujud dalam bingkai tradisi Islam di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Kebajikan memang tidak identik dengan "kebaktian" sebagaimana sindiran Alquran, dimana kebajikan bukanlah menghadapkan wajah ke Timur maupun ke Barat. Anda boleh berkiblat ke Timur dengan segala anggapan fanatisme-teologis, atau ke Barat dengan kejumudan-rasionalis, namun itu semua tak dianggap sebagai kebajikan sedikitpun.
Dalam narasi lebih sederhana, Nabi Muhammad menyimpulkan bahwa "kebajikan adalah budi pekerti yang luhur (husnul khuluq)", seolah menegaskan bahwa kebajikan lebih bernuansa kultural dan sosial, tidak dalam konteks teologis yang melangit. Itulah sebabnya, Alquran menyebut kebajikan adalah iman yang aktualisasinya adalah membagikan harta yang dicintai (wa ata al-maala 'ala hubbihi) kepada kerabat, orang-orang lemah yang secara ekonomi membutuhkan bantuan.
Jika Lebaran atau Idul Fitri dimaknai secara sosiologis sebagai momentum "husnul khuluq" dimana kebersamaan, persatuan, dan tradisi baik seperti membagikan THR kepada sanak kerabat, fakir miskin, dan mereka yang 'lemah', maka hampir tak ada momentum kebajikan lain, kecuali kita temukan di Hari Lebaran.
ADVERTISEMENT
Hanya di Nusantara, dimana setiap muslimnya mampu meneladani dan mengaktualisasikan kalimat tersurat dalam Alquran, "laisa al-birra an tuwalluu wujuuhakum qibala al-masriqi wa al-maghribi..", disadari maupun tidak. Nilai-nilai kebajikan yang tidak melulu "kebaktian" tetap hidup dalam suasana batin masyarakatnya. Jikapun ada momentum yang sama dalam hal kebajikan dalam masyarakat muslim lainnya, namun rasa-rasanya tidak terkalibrasi secara kosmopolit sebagaimana dalam tradisi masyarakat Indonesia.
Iman dalam arti sebenar-benarnya (ulaaika al-ladziina shadaquu) jelas memiliki titik tekan sosiologis bukan teologis. Iman bukan sebatas 'membenarkan' tetapi bagaimana ia teraktualisasikan dalam kehidupan sosial secara nyata. Kebajikan adalah ahklak, bagaimana kekuatan iman dalam hati membumi, bukan malah melangit yang pada akhirnya bumi sebagai pijakannya dilupakan bahkan diabaikan.
Lebaran bermakna kebajikan secara sosial dalam dimensi paling luas dan dapat ditemukan akarnya dalam tradisi masyarakat Nusantara. Mereka berbagi dalam ruang-ruang ikatan sosial antara sesamanya, bertoleransi dalam realitas sebenarnya, aktualisasi nilai-nilai teologis dalam ranah sosial yang paling aktual. Itulah Islam yang mewujud dalam suasana kultural, meresap dalam batin masyarakat Indonesia yang sulit kita temukan dalam tradisi masyarakat muslim lainnya.
ADVERTISEMENT