Masjid Kapal dan Simbol 'Segitiga' yang Viral

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
15 Juni 2019 10:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Jami Abdulhamid Alfaqih di Banyu Urip, Ujung Pangkah, Gresik. Foto: Dok. Pri
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Jami Abdulhamid Alfaqih di Banyu Urip, Ujung Pangkah, Gresik. Foto: Dok. Pri
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, viral sebuah masjid di salah satu Rest Area Tol Cipularang yang disebut-sebut dirancang mengikuti simbol segitiga illuminati milik Yahudi. Masjid Al-Safar yang dirancang oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, itu sempat heboh di media sosial karena mihrabnya seolah menggambarkan simbol-simbol Yahudi tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, Ridwan Kamil membantah desain itu seolah mengikuti simbol illuminati. Sebab menurutnya, ia membuat gerbang mihrab masjid tersebut berbentuk trapesium dengan empat sudutnya, bukan segitiga sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Padahal masjid, bagaimana pun bentuknya, merupakan media transenden yang sakral, karena di dalamnya disebutkan nama Allah dengan mensucikan nama-Nya.
Harus diakui, belakangan rentan terjadi kecurigaan beberapa pihak yang mungkin saja terkait erat dengan konflik politik, sehingga imbasnya terasa dalam hal-hal yang terkait simbolisasi keagamaan. Sebelum viralnya kasus Masjid Al-Safar, Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari yang dibangun Pemprov DKI Jakarta dengan anggaran Rp 164 miliar juga dituduh berdesain salib dan menjadi pertanyaan banyak pihak.
Masjid yang dibangun atas inisiasi Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, sempat menimbulkan kecurigaan banyak pihak, karena kental sekali dengan nuansa politik di dalamnya. Namun, bagi mereka yang telah datang sendiri dan menyaksikan seluruh sudut di ruangan masjid tersebut, tentu akan memiliki kesan berbeda dengan kabar yang tersiar di media sosial.
ADVERTISEMENT
Politik seolah telah membangkitkan fanatisme berlebihan dalam banyak hal, bahkan berbagai tuduhan negatif yang tak sedikit diarahkan kepada rivalitas politiknya. Padahal, tempat ibadah, di manapun dan bagaimana pun bentuknya, merupakan Rumah Tuhan, yang pasti di dalamnya disebut nama-Nya. Mereka yang datang serta melakukan kebaktian tentu saja bertujuan untuk mengagungkan dan mensucikan nama-Nya.
Hal ini jelas ketika salah satu ayat Alquran menyindir, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. Al-Hajj: 40).
Sekali pun agama identik dengan simbol, namun dalam konteks rumah ibadah, simbolisasi seharusnya tidak dikaitkan dengan perbedaan teologis. Jika kita melihat arsitektur lama Masjid Nabawi di Madinah, banyak ornamen-ornamen yang bernuansa Barat, bahkan lukisan-lukisan yang mungkin saja mengadopsi dari gaya desain Barat terukir indah di beberapa sudut dinding masjid.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, lampu-lampu gantung yang jauh dari kesan Timur Tengah dan hal itu jelas menambah keindahan bagi siapa pun yang memandangnya. Kesan klasik jelas menuntun kita pada nuansa historis, soal siapa yang membangun dan memugar bangunan arsitektur masjid tersebut.
Bersama Gus Atha di depan Masjid Kapal. Foto: Dok. Pri
Beberapa waktu lalu, saya sengaja sowan ke sebuah pesantren di kawasan Banyu Urip, Ujung Pangkah, Gresik. Kebetulan, pengasuh pesantren tersebut adalah kawan sekaligus guru saya ketika masih sama-sama kuliah di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gus Atha—biasa saya memanggilnya—merupakan pengasuh Pesantren Mambaul Ihsan sekaligus salah satu penggagas dibangunnnya masjid unik berarsitektur mirip kapal di kawasan tersebut. Masjid Kapal ini diberi nama Masjid Jami’ Abdulhamid Alfaqih sebagai penghormatan atas ulama tersebut yang konon dahulu menyebarkan ajaran Islam di Jawa dengan menggunakan perahu.
ADVERTISEMENT
Bukan suatu kebetulan, Masjid Kapal ini memiliki arsitektur segitiga di ujung bangunannya yang menyerupai kapal dan hal ini tentu saja menjadi keunikan yang tak perlu dipersoalkan. Yang terpenting bahwa sisi historis suatu masjid tampak lebih ditekankan dan hal itu tentu saja menjadi pengingat siapapun yang kemudian berkunjung dan beribadah di dalamnya.
Kiai Abdulhamid adalah putra dari Kiai Muhammad Faqih Maskumambang, salah satu ulama besar pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan murid pertama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Dibangunnya masjid ini tentu saja kental suasana historis dan tak ada kaitan apa pun dengan simbolisasi yang belakangan ini justru dituduhkan sebagian pihak yang tercemari nuansa politik.
Hampir seluruh konflik keagamaan yang muncul belakangan memang tak dapat lepas dari suasana konflik politik yang mengitarinya. Hal inilah yang menjadi keresahan utama seorang ulama kenamaan dan ahli perbandingan agama, Imam As-Syahrastani, yang secara lugas dituliskannya dalam sebuah kitab berjudul Al-Milal wa an-Nihal.
ADVERTISEMENT
Keresahan tersebut ia ungkapkan dalam satu kalimat di bab pertama kitabnya, “semua pertikaian dan fitnah dalam bidang agama, dimulai dari bidang politik”. Pernyataan ini tentu saja memiliki relevansinya hingga saat ini dan sangat kita rasakan belakangan ini, terutama terkait dengan masalah-masalah perbedaan kepentingan politik masyarakat. Konflik politik telah merambah ruang-ruang teologis yang kemudian dihembuskan nada-nada fitnah dan kecurigaan terhadap mereka yang berseberangan pilihan politiknya.
Sulit rasanya kemudian untuk kita berada dalam situasi yang benar-benar berada di luar zona konflik politik. Sebab, hampir dipastikan bahasa agama sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi politiknya masing-masing.
Alih-alih kita ingin berada dalam suasana yang lebih netral dan lepas dari kecenderungan politik, kita malah sering kali dituduh sebagai bagian dari mereka yang tak peduli agama atau bahkan tidak membela sedikit pun agamanya. Simbolisasi pada akhirnya rentan dalam hal kecenderungan-kecenderungan politik, bahkan lebih jauh dari itu, simbolisasi keagamaan justru marak dijadikan alat untuk kepentingan politik sepihak.
ADVERTISEMENT
Sefanatik inikah kita terhadap simbol? Atau memang kita dibutakan kepentingan politik?
Salah satu ornamen Masjid Kapal. Foto: Dok. Pri
Saya kira, simbol memang penting, tetapi tidak seharusnya mengalahkan hal-hal yang non-simbolik dalam konteks beragama.
Itulah sebabnya, Alquran sering kali menyindir “simbolisasi”. Misalnya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta…” (QS. Al-Baqarah: 177).
Suatu kebajikan tentu saja tak selalu identik dengan kebaktian dengan menghadapkan wajah ke Barat atau ke Timur, sebagaimana kita lihat dalam rumah-rumah ibadah.
ADVERTISEMENT
Inilah ajaran Islam yang sesungguhnya, memperteguh realitas teologis tapi tak melupakan pijakan historisnya sebagai manusia sosial yang patuh dan tunduk kepada Tuhan. Masjid tentu saja tempat ibadah yang disucikan yang seharusnya bebas dari anggapan-anggapan negatif yang bernuansa politik, namun lebih kepada nuansa kebajikan bersifat sosial.
Simbol mungkin tak berpengaruh dalam konteks kebajikan sosial. Sebab, kita sendiri hampir tak lepas dari peristiwa “simbolik” di mana tradisi dan budaya begitu lekat dengan nuansa-nuansa keagamaan yang tak lagi mementingkan simbol.
ADVERTISEMENT