Menakar Polemik Kunjungan Yahya Staquf ke Israel

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
18 Juni 2018 20:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik soal kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Israel atas undangan American Jewish Committee (AJC) untuk berbicara di salah satu forum pendukung eksistensi Israel ICFR seperti mempertontonkan klaim berbagai pihak yang tak henti-hentinya. Bukan saja soal NU sebagai ormas Islam dimana dirinya sebagai Sekjen (Katib Aam) yang “dimusuhi”, bahkan keberadaannya yang baru saja dilantik menjadi Wantimpres seolah memposisikan negara memberikan dukungan terhadap Israel. Walhasil, keberadaan dirinya di negara Zionis tersebut menuai kegaduhan yang hebat dan menuai kemarahan banyak pihak. Hampir sulit jika beropini hanya sekadar memberikan dukungan kepada Yahya agar perhelatannya di Israel dapat menjembatani konflik Israel-Palestina yang semakin sulit diselesaikan, karena pasti dituduh mendukung Israel terus menjajah Palestina.
ADVERTISEMENT
Saya juga termasuk yang sulit beropini bahwa apa yang dilakukan Yahya semata-mata mencoba alternatif lain untuk “masuk” dalam lingkaran polemik secara lebih softly melalui forum kuliah umum menjelaskan relevansi agama-agama—termasuk hubungan Islam-Yahudi—yang sejauh ini seperti tercipta sebuah “kebencian” yang menyejarah. Yang paling banyak dibicarakan dalam suatu wawancaranya dengan Rabbi David, dirinya mengungkit romatisme Gus Dur yang dulu pernah berangan-angan mempelopori perdamaian Israel-Palestina melalui jalur lain, termasuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Memahami arah pemikiran Gus Dur dalam konteks ini memang sulit diterima banyak pihak, terlebih Israel dan Yahudi sudah sedemikian dipersepsikan umat muslim sebagai “musuh” akibat berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kepada bangsa Palestina.
Yahudi dan Israel sudah kadung dimusuhi sejak dulu, bahkan seolah-olah permusuhan itu didasarkan atas perbedaan agama. Bukan suatu kebetulan, bahwa banyak bertebaran dalam teks suci al-Quran yang sepertinya perlu reinterpretasi agar nuansa kebencian yang ditimbulkan bukan karena agama, tetapi karena adanya pengingkaran atas hubungan-hubungan kemanusiaan yang seringkali dilakukan bangsa Israel. Dasar yang begitu kuat dan melekat akibat penerimaan atas teks kitab suci yang membicarakan kaum Yahudi sebagai “musuh agama” menimbulkan rasa kebencian yang teramat sangat kepada mereka. Saya kira, Yahya sebagai bagian dari muslim moderat, perlu menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya soal bagaimana hubungan Islam dengan Yahudi.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, soal bersedianya Yahya ke Israel meskipun atas nama pribadi, tetap sulit dipisahkan secara tegas dengan ke-NU-annya. Parahnya, kedudukan dirinya sebagai orang penting di Istana justru semakin menambah rumit jika dirinya disebut hanya mewakili pribadi bukan mewakili NU atau pemerintah. Itulah kemudian polemik bertambah panjang, karena tentu saja NU yang tidak merasa mendukung Israel lalu dipersalahkan gara-gara sekjennya bertandang ke Israel. Berbicara di forum Israel, terlebih dipelopori umat muslim seakan mencederai setiap upaya perdamaian, bahkan seperti memberikan angin segar bagi upaya diplomatik Israel mencari dukungan dan pembenaran dari kalangan Islam. Itu pula yang kemudian menjadi keberatan pemerintah Palestina ketika mengetahui perwakilan muslim Indonesia berbicara soal perdamaian di forum tertinggi Yahudi.
ADVERTISEMENT
Saya kira, upaya Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya memang selalu gagal, bahkan dalam forum diplomatik yang tanpa kekerasan sekalipun. Entah dengan cara seperti apalagi untuk dapat meluluhkan hati bangsa Israel agar mau berdamai dan mengakui Palestina merdeka. Kenapa kedua komunitas ini (baca: Arab dan Yahudi) sulit sekali dipersatukan dalam satu wilayah damai tanpa konflik dan kekerasan. Apakah memang itu takdir sejarah yang telah diskenariokan Tuhan? Ataukah memang kenyataan ini adalah buntut panjang dari konflik antaretnis dan kekuasaan politik? Ataukah karena keduanya sama-sama “keras” dalam menyelesaikan setiap masalah? Wallahu a’lam.
Rumitnya menegakkan kalimat “damai” di negeri kelahiran para nabi ini, mungkin saja ditangkap oleh Yahya untuk mencoba “meruwat” perdamaian dengan cara lain: masuk dalam forum diplomasi tak resmi atas nama pribadi, menyuarakan perdamaian melalui forum bergengsi, sembari menjelaskan soal hubungan keagamaan antara Yahudi dan Islam yang sejauh ini dinilai senantiasa berkonflik. Saya sendiri beropini, bahwa Yahya memiliki keyakinan bahwa perdamaian Israel-Palestina mampu terwujud walaupun tak semudah membalik telapak tangan. Mungkin dalam hal ini, Yahya mencoba mengimplementasikan sebuah adagium “ma la yudroku kulluh la yutroku kulluh” (jika tidak mungkin mendapatkan semuanya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). Jika tak mungkin mencapai kesepakatan damai, minimal bicara perdamaian sudah merupakan upaya ke arah mewujudkan perdamaian tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, penyelesaian konflik Israel-Palestina seringkali ditunjukkan dengan cara-cara “kekerasan” yang justru dilakukan kedua belah pihak. Opini yang terbentuk dalam benak masyarakat dunia, betapa Israel sebagai bangsa yang arogan karena mendapat dukungan kuat dari negara-negara Barat, lalu dengan leluasa mencaplok sedikit demi sedikit wilayah Palestina. Israel dikenal sebagai negara yang tak taat perjanjian, namun lagi-lagi hal itu terkait erat dengan penyelesaian konflik yang terkadang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Perseteruan Israel dengan kelompok Hamas Garis Keras di Palestina tampaknya memicu suasana keruh penciptaan suasana penyelesaian konflik secara damai diantara keduanya.
Kita juga semestinya melihat secara jernih polemik ini, agar tidak jatuh pada tuduhan-tuduhan menyakitkan yang dialamatkan kepada pihak yang juga mendukung Yahya berbicara soal perdamaian di forum Israel. Berpendapat itu bebas dan perlu dihargai, karena suatu kebenaran pendapat tentu saja bersifat tentatif dan tidak mutlak. Tak mungkin kita memaksakan agar orang lain sama pendapatnya dengan kita, karena setiap orang pasti memiliki asumsi-asumsi sendiri yang berasal dari daya nalarnya yang sehat. Tak ada klaim kebenaran soal pendapat atau opini karena setiap perbedaan itu sunnatullah dan sesuatu yang given yang pasti hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Peradaban dan ilmu pengetahuan tentu akan mandek dan stagnan ketika tak terjadi lagi perbedaan pendapat diantara manusianya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, sangat disayangkan jika kedatangan Yahya di forum pendukung eksistensi Israel justru menambah besar sisi polemiknya. Bukankah sebuah adagium terkenal yang dipegang kalangan NU soal kepolitikan yang lebih mendahulukan untuk menolak polemik atau kekacauan (dar’ul mafasid muqaddamun) daripada berpikir untuk menciptakan perdamaian atau kemaslahatan (‘ala jalbi al-masholih) senantiasa diaktualisasikan hingga kini? Kecuali jika pergeseran kepolitikan NU telah merubah segalanya tak tak lagi berpegang teguh pada tradisi ke-NU-an yang justru sebelumnya mengurat akar dalam budaya politik NU. Saya tak bisa beropini tegas dalam hal ini, kecuali mengingatkan sebuah kaidah ushul fiqih sebagaimana disebutkan diatas, bahwa menghindari kekacauan atau kerusakan yang lebih besar harus didahulukan daripada sekadar menciptakan maslahat atau perdamaian.
ADVERTISEMENT