news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyoal Habib: Keturunan Nabi atau Rekayasa Sosial?

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
20 Desember 2018 10:55 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Habib Bahar bin Smith menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (6/12). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Habib Bahar bin Smith menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (6/12). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Istilah “habib” dalam masyarakat Indonesia belakangan semakin menjamur. Bahkan, tak sebatas bahwa istilah ini dilekatkan kepada mereka yang dipercaya sebagai keturunan Nabi Muhammad, namun justru tampak terdistorsi karena siapapun—asal bertampang Arab—dapat dipanggil “habib”.
ADVERTISEMENT
Namun yang pasti, gelar yang disematkan kepada seseorang yang disebut “habib” tentu saja hampir semua peranakan Arab yang hidup di Indonesia, terlepas dari apakah ia terkait dengan silsilah “ahlulbait” atau tidak. Habib merupakan gelar kehormatan, karena penguasaannya atas ilmu-ilmu agama Islam, sama dengan gelar sosial lainnya, seperti “kiai” atau “ustaz”.
Publik belakangan diramaikan oleh ulah Habib Bahar bin Smith yang diekspos media melakukan aksi kekerasan kepada dua orang anak di lingkungan pesantrennya di Bogor, Jawa Barat.
Berita ini menjadi semakin viral di media sosial, bahkan publik hampir-hampir kehilangan daya kritisnya karena yang dibicarakan hanya sebatas menyoal prilaku Bahar yang viral.
Terlepas soal apakah ini memang ada unsur kesengajaan pihak-pihak tertentu yang tak suka caranya mengkritik penguasa atau tidak, namun Habib Bahar benar-benar telah “jatuh tertimpa tangga, bahkan tangganya pun raib dicuri orang!”
ADVERTISEMENT
Kasus penganiayaan anak yang dilakukannya, semakin membuat dirinya tak berkutik, bahkan sulit sekali untuk sekadar mencari “pegangan” dari kasus yang kini menjeratnya.
Pendukung Habib Bahar bin Smith menggelar aksi demonstrasi di depan Bareskrim Polri, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Habib Bahar bin Smith menggelar aksi demonstrasi di depan Bareskrim Polri, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
Tak hanya soal perilakunya yang terus-menerus dipersoalkan publik, istilah “habib” pun tampaknya menjadi topik hangat di media sosial. Bukan apa-apa, seseorang yang berhak menyandang gelar habib tentu saja “istimewa”, karena selain dihormati karena dianggap keturunan nabi, simbol habib tentu saja identik dengan keulamaan seseorang karena kepiawaiannya menguasai seluk-beluk ajaran Islam.
Gelar habib belakangan dipersepsikan publik berada di antara “pusaran kekerasan” karena memang sejauh ini, muncul para habib yang cenderung “keras”, bersuara lantang dalam mengkritik kekuasaan, bahkan mengkritik siapa saja yang dianggap tak sejalan dengan garis perjuangan dirinya.
ADVERTISEMENT
Padahal di sisi lain, para habib sejauh ini senantiasa berperilaku lemah lembut, menyayangi dan menghormati sesama, seakan kontras dengan aksi viral yang dilakukan Habib Bahar.
Saya sepakat dengan apa yang ditulis Mahfud MD dalam cuitannya ketika menjelaskan makna “habib”, di mana habib tak semuanya keturunan Nabi Muhammad. Menurutnya, habib itu adalah ungkapan kehormatan dan kasih sayang kepada siapa saja dan tidak identik dengan keturunan nabi. Keturunan nabi sebutannya hanya dua: Syarif/Syarifah yang berasal dari garis keturunan Hasan dan Sayyid/Sayyidah dari garis keturunan Husen.
Mengidentikkan habib dengan keturunan Nabi tentu saja salah kaprah, walaupun memang tak menutup kemungkinan, ada saja seseorang bergelar habib karena memang bernasab langsung kepada jalur keluarga Rasulullah.
ADVERTISEMENT
Istilah “habib” dalam bahasa Arab menurut Ibnul Manzur dalam "Lisaanul 'Arab" merupakan derivasi dari kata “hababa” dan “hubb” memang memiliki konotasi “perlawanan/penolakan atas kekerasan atau kebencian” (naqiidl al-bughdl).
Maka, ketika seseorang disebut “habib” tentu saja sosok yang paling dikasihi atau selalu bersikap kasih sayang sebagaimana makna “hubb” yang melekat di dalamnya. Sebutan lain untuk orang yang dicintai adalah “muhib” dan orang yang senantiasa menyayangi disebut “mahbub”.
Dengan demikian, pemaknaan habib tentu saja mengandung makna cinta dan kasih sayang, sehingga wajar ketika gelar ini disematkan kepada seseorang, maka ia merupakan sosok yang paling mencintai dan dicintai, sekaligus selalu menyayangi karena paling disayangi oleh masyarakat.
Jadi, saya kira patut dipahami bahwa istilah habib yang sejauh ini beredar dan ada dalam setiap kepala masyarakat muslim Indonesia memang tak selalu identik dengan keturunan Nabi Muhammad.
ADVERTISEMENT
Habib jelas merupakan gelar kehormatan yang disematkan secara khusus oleh masyarakat kepada seseorang yang mereka cintai, karena para habib yang mendapatkan gelar tersebut juga memang sudah sewajarnya dan seharusnya memiliki rasa cinta dan kasih sayang melebihi masyarakat yang telah menyematkan gelar sosial itu kepada dirinya.
Lalu timbul pertanyaan, kok ada orang yang digelari habib lalu melakukan aksi kekerasan? Jauh dari nilai-nilai kecintaan dan kasih sayang yang sejauh ini dipersepsikan masyarakat kepadanya? Apa yang salah?
Habib tentu saja manusia biasa dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tak perlu ada gerakan untuk mencabut gelar kehabiban seseorang, karena pasti tak mungkin bisa, karena gelar habib bukan “anugerah politik”, seperti presiden, imam, atau sejenisnya. Pun tak patut mempertanyakan gelar habib, karena mungkin saja gelar itu bukan atas kemauannya sendiri tetapi karena sikap rasa cinta masyarakat kepada dirinya karena ia merupakan sosok yang patut dicintai.
ADVERTISEMENT
Yang patut diperhatikan adalah bahwa saat ini ada warga negara Indonesia yang tersangkut masalah hukum, maka biarkanlah hukum dengan caranya sendiri menyelesaikannya. Hukum tentu harus netral, menjalankan sesuai prosedur, tanpa melihat sosok siapa yang terlibat masalah di dalamnya.
Itulah kenapa, Nabi Muhammad merupakan sosok yang paling pertama menolak upaya “kriminalisasi”—jika yang dimaksud adalah upaya mengada-ada soal hukum—dengan secara tegas menyatakan, “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, maka saya sendiri yang akan langsung memotong tangannya.
ADVERTISEMENT
Ini artinya, Nabi tak akan tebang pilih jika terkait penegakkan hukum, sekalipun itu keluarganya sendiri. Nabi tak pernah pandang bulu hal ini, tak ada istilah “kriminalisasi” atau mengakali hukum jika keluarga atau kerabatnya sendiri yang terjerat masalah.
Mungkin sangat sulit saat ini, mencari sosok pemimpin yang mau bertanggung jawab jika ada kerabat atau keluarganya yang terlibat masalah hukum, paling-paling yang ada mungkin saja hukum dibuat menjadi “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”.
Melihat kasus demi kasus yang terus merundung Habib Bahar, saya kira tak perlu dikaitkan terlampau jauh dengan isu politik kekinian, soal pilpres, terlebih menyoal identitas sosial yang kini disandangnya.
Bagi saya, habib tetap gelar kehormatan yang disematkan kepada seseorang yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada umatnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh banyak para habaib di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Penting juga diingat, bahwa gelar habib memang hasil rekayasa sosial, di mana masyarakat menilai bahwa selain seseorang itu memang keturunan Arab, tetapi juga terselip kedalaman ilmu agama Islam yang diwujudkan melalui sikapnya yang selalu menyayangi, mencintai, menjaga, dan melindungi kepada sesamanya.
Habib sesuai asal katanya, tentu saja harus melawan kekerasan, ketidakadilan, kebodohan dengan sikapnya yang lemah lembut, cerdik, dan jujur, sehingga kehabibannya melekat sebagai pribadi yang patut dihormati dan dijunjung tinggi.
ADVERTISEMENT