Orang Gila, Politik, dan Agama

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
12 Februari 2019 11:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi & Prabowo di KPU. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi & Prabowo di KPU. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar dua orang berdebat dengan begitu sengit yang entah apa yang dibicarakan tapi rasa-rasanya lebih mengarah kepada tema-tema politik. “Anda ini terlampau gila politik!” salah seorang di antaranya berteriak dengan sangat jelas.
ADVERTISEMENT
Entah apa yang dimaksud 'gila' di sini, apakah ada kaitannya dengan soal pilihan politik yang kadang-kadang tak masuk akal, karena sedemikian gilanya kita mendukung salah satu pasangan calon (paslon) sehingga seolah-olah jika tak memilihnya, negeri ini rusak dan semuanya menjadi gila.
Soal kegilaan ini tak hanya berhenti dalam tema politik, karena ada juga orang gila yang ditangkap gara-gara melempari rumah kiai atau menyeret kucing dengan motornya yang viral di media sosial.
Definisi gila tentu saja beragam, mengandung banyak konotasi, bahkan kerap kali dipakai sebagai bahasa sehari-hari yang menunjukkan ekspresi kekaguman atau kekesalan. Dalam KBBI, 'gila' berarti: sakit ingatan; sakit jiwa, atau tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal).
ADVERTISEMENT
Beragam definisi ini tentu saja menyebut gila kepada seseorang bisa tampak absurd, karena mungkin saja seseorang itu secara psikis kejiwaannya terganggu atau memang ia melakukan sesuatu yang tidak biasa atau berbuat yang bukan-bukan yang sulit diterima akal. Kegilaan berarti harus disesuaikan dengan konteksnya, karena jika tidak, jangan-jangan malah kita sendiri sebenarnya yang memang gila.
Merujuk pada beragam definisi di atas, maka sebutan yang pas untuk mereka yang memiliki keahlian supranatural, tukang tenung, sihir, dukun, dan sejenisnya masuk kategori orang gila karena apa yang mereka lakukan tidak biasa dan sulit diterima akal.
Bahkan, ketika ada orang-orang yang melakukan hal-hal di luar batas kewajaran manusia atau tidak sebagaimana mestinya baik dalam konteks sosial, politik, atau agama dapat juga disebut orang gila.
Ilustrasi debat Foto: Steemit
Dalam konteks politik, ketika ada seseorang yang terus menerus membela kandidatnya secara berlebihan, bahkan membela mati-matian, atau menginginkan sesuatu yang tak masuk akal mungkin saja ia berada dalam kegilaan bukan kewarasan.
ADVERTISEMENT
Melihat derivasi makna 'gila' ini cukup menarik karena terkait dengan beragam konteks kehidupan, baik sosial, politik, bahkan agama. Dalam bahasa Arab, makna 'gila' dalam artian paling konotatif disebut majnun. Istilah ini seringkali dipergunakan untuk seseorang yang telah bercampur akalnya dengan hal-hal yang bertentangan dengan dirinya sendiri.
Maka dalam konteks agama, orang-orang yang seringkali berbuat kemaksiatan, keburukan, atau apapun yang merugikan diri dan orang lain juga disebut 'majnun' atau 'gila'. Mereka yang berbuat kerusakan, menolak kebenaran, dan merugikan orang lain menjadikannya tampak hina dan rendah dalam pandangan orang waras dan kemungkinan inilah diksi kegilaan yang sebenarnya dalam konteks sosial-politik dan agama.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu riwayat, pernah suatu saat orang-orang berkumpul di mana hadir Nabi Muhammad di dalamnya. Lalu, ada seseorang melewati mereka dan di antara sebagian orang mengatakan, “Itu orang gila lewat”. Nabi kemudian mengoreksi, “Itu orang yang sakit ingatannya (mashaab) saja, sebab orang gila (majnun) itu adalah mereka yang gemar bermaksiat kepada Tuhannya”.
Maka, orang gila sebenarnya mereka itu secara sadar tahu, dapat mendengar, mencaci-maki, membakar, melempar, menyakiti, merendahkan, atau berbuat apa saja sesuai kehendaknya sendiri.
Itulah kenapa, orang-orang yang menolak kebenaran yang dibawa oleh para utusan Tuhan disebut sebagai golongan orang gila (qaumun majnuunun) sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab suci Alquran ketika mereka menolak ajakan Nabi Nuh, Musa, Luth, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, pendefinisian soal gila ini jelas diungkapkan oleh orang-orang yang selalu menolak kebenaran, di mana penyebutan orang-orang musyrik Mekah kepada Nabi Muhammad adalah orang gila, tukang sihir, penyair sesat, dan dukun.
Tak heran rasanya, ketika seorang ulama Ali bin Abdillah as-Samarqand sebagaimana dikutip dalam kitab Uqalaa’ al-Majaaniin mengatakan, “Man ‘arafa nafsahu kaana ‘inda an-naas dzaliilan wa man ‘arafa rabbahu kaana ‘inda an-naas majnuunan” (Orang yang mengenal dirinya sendiri seringkali direndahkan dan orang yang mengenal Tuhannya seringkali dianggap kegilaan).
Rasanya tepat ketika ada adagium yang terkenal, “Sing waras ojo ngalah” yang dipopulerkan seorang ulama kenamaan dari Jawa Tengah, mengingat betapa sudah semakin parahnya kegilaan di negeri ini, sehingga mereka dengan sengaja dan sadar justru merendahkan, mencaci-maki, dan secara terang-terangan menuduh orang yang akalnya waras dengan kegilaan mereka sendiri.
Siapakah kita? Siapakah kamu? Foto: Pixabay?
Kegilaan mungkin saja terjadi karena kekuasaan yang takut tergusur, lalu siapa saja orang-orang yang dianggap menghalanginya harus siap-siap berhadapan dengan hukum yang mereka buat sendiri. Preferensi hukum dibuat sedemikian rupa untuk menjerat 'orang-orang gila' dalam persepsi para penguasa yang memang pada kenyataannya mereka juga gila dalam hal kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, para oposisi juga membuat kegilaan yang sama, menuduh, mencaci-maki, merendahkan, dan berbuat semaunya sesuai dengan nafsu berkuasa atas diri mereka sendiri. Bahkan yang menggelikan, ada orang-orang gila yang dipersepsikan oleh para penguasa sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam melakukan serangkaian kegiatan teror yang dialami para kiai atau ulama.
Saya pada akhirnya meyakini, bahwa sesungguhnya definisi gila tak selalu identik dalam artian fisik di mana seseorang memang tengah sakit atau terganggu secara psikologis. Sebutan 'orang gila' dalam konteks sosial-politik dan agama jelas mereka yang berkecenderungan terhadap apapun yang bersifat materi: kekuasaan, uang, kemewahan, jabatan, dan lainnya; dan mereka justru sangat bergantung dan menyandarkan seluruh hidupnya untuk hal-hal yang berdimensi materi.
ADVERTISEMENT
Ah, ternyata mereka yang sibuk copras-capres dengan berbagai kegilaannya selama ini dengan menghalalkan segala macam cara demi kemenangan kubu politiknya, tak ubahnya orang-orang gila yang juga menuduh sesamanya sebagai orang gila pula. Mari berpikir waras dan jauhi kegilaan!