news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Parodi Politik Fadli Zon dalam Lagu 'Potong Bebek'

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
19 September 2018 15:26 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fadli Zon (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fadli Zon (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Hampir tak ada anak bangsa ini yang tak mengenal lagu “Potong Bebek Angsa” karya gubahan maestro lagu anak, Pak Kasur. Lagu ini tiba-tiba populer di tengah menghangatnya isu politik jelang kontestasi politik nasional tahun depan.
ADVERTISEMENT
Kepopulerannya justru terdongkrak karena lirik lagu ini sedikit diubah oleh politisi Gerindra, Fadli Zon, yang sekilas tampak nyinyir menyindir kubu pasangan capres Jokowi.
Lirik “masak dikuali” yang diubah menjadi “maksa dua kali”, memang terasa pas dan menohok capres incumbent yang memang lantang menggaungkan narasi dua periode untuk jabatan presiden mendatang. Tak ada yang perlu dibesarkan semestinya, karena soal perubahan lirik demi popularitas telah lebih dulu “dirusak” kelompok musik parodi Teamlo asal Solo.
Politik memang ranah perjuangan penuh intrik, unik, tak perlu harus menididik karena kebanyakan menghardik. Cara-cara memperoleh kekuasaan selalu dibenarkan, selama tidak dalam hal kampanye negatif apalagi pembunuhan karakter.
Kritik itu diperlukan bahkan harus, demi menggugah selera politik masyarakat, bahkan kritik akan lebih banyak menyadarkan masyarakat soal bagaimana kekurangan para kandidat. Wajar jika masing-masing pendukung membela kandidat yang diusungnya, seraya mengkritik kandidat lain yang dianggap sebagai rival politik mereka.
Peluang Generasi Milenial di Kancah Politik (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Peluang Generasi Milenial di Kancah Politik (Foto: Pixabay)
Pilpres 2019 mendatang memang ajang “perang” psikologis, di mana masing-masing kubu terus mengunggah berbagai kritik tajam—bahkan tak jarang masuk kategori penghinaan—demi menjatuhkan mental dan psikologis para pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Jika bermental baja, segala kritikan, ungkapan nyinyir, atau pelecehan sekalipun, jika memang itu sekadar “shock therapy”, tak akan berpengaruh besar terhadap seseorang.
Lain halnya dengan pribadi baperan, sudah pasti hal-hal kritik yang dianggap “merugikan” segera dibalas dengan kritikan serupa, bahkan bisa lebih parah. Belum habis soal wacana labelisasi “ulama” yang terus diperdebatkan dan dibesar-besarkan dalam ranah konflik politik, kini ramai soal “bebek” yang diperdebatkan para politisi.
Sudah sejak dulu, sosok Fadli Zon—dan juga Fahri Hamzah—dianggap sebagai politikus yang doyan sekali nyinyir dan mengkritik pemerintahan Jokowi. Fadli, tentu saja bagian dari oposisi yang terus menyuarakan ketidakcocokan dirinya dengan pemerintahan sekarang.
Hampir tak ada yang positif di mata dirinya, kecuali kritik demi kritik dengan kesan negatif terhadap pemerintahan berjalan. Oposisi memang seharusnya seperti itu, walaupun narasi berimbang dengan memberikan apresiasi positif terhadap keberhasilan pemerintah, patut juga diungkap dan diperdengarkan.
Fahri Hamzah dan Fadli Zon (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fahri Hamzah dan Fadli Zon (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Fungsi oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan, bukan sekadar mahir memutar-balikkan kata, data, atau fakta, tetapi bagaimana memberikan dukungan positif bagi arah kebijakan yang dirasa sukses, seraya mengkritik arah kebijakan yang dianggap jauh menyimpang dari kemaslahatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hal, Fadli merupakan politikus populer yang diminati publik, baik yang pro maupun yang kontra sekalipun. Hampir setiap hari, twitter-nya dikomentari banyak orang, bahkan tak jarang ada saja yang melontarkan kata-kata yang tak pantas.
Tak ada negara sebebas Indonesia, di mana seorang anggota parlemen digandrungi oleh netizen, dikenal oleh hampir seluruh segmentasi masyarakat, dari mulai tukang sayur, tukang cukur, insinyur, hingga gubernur.
Nama Fadli Zon sebagai pendukung Prabowo dikenal luas masyarakat, bahkan setiap cuitannya yang mengulas dan membahas soal isu-isu politik kekinian mendapat tanggapan sedemikian banyak dari masyarakat.
Bagi saya, sosok wakil ketua DPR ini adalah pribadi yang kreatif, melalui daya imajinernya sanggup mengolah hal-hal biasa menjadi luar biasa. Lagu “potong bebek” yang memang populer sebetulnya biasa, namun tiba-tiba menjadi luar biasa ditangan kreativitas jari-jari Fadli Zon.
ADVERTISEMENT
Lagu anak-anak ini bahkan serasa terdongkrak popularitasnya saat ini, bisa jadi melampaui lagu “sms”-nya Ria Amelia yang popularitasnya tak terbendung, dari mulai anak bau kencur sampai aki-aki yang sudah uzur.
Kreativitas Fadli Zon yang mengubah lirik lagu “Potong Bebek” demi tujuan pendidikan politik dan penyadaran politik masyarakat melalui kritik, semestinya tidak dianggap “merusak”. Terlebih ia tidak sedang berbisnis sebagaimana yang dilakukan kelompok band parodi Teamlo yang terkenal.
Lha wong, Teamlo saja yang jelas-jelas “merusak” banyak lirik lagu populer demi tujuan hiburan dan bisnis tak pernah dipersoalkan publik. Jadi, jadikanlah ajang politik saat ini sebagai ajang kreativitas, sebagaimana Pak Jokowi menggemparkan rakyat Indonesia dengan aksi motornya—walaupun dengan stuntman—pada saat perhelatan Asian Games beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah aksi ini banyak yang nyinyir? Ya tentu saja, karena apa yang dilakukan Pak Jokowi merupakan aksi “kreativitas politik” sebagaimana anggapan para lawan politiknya.
Marilah kita bangun bangsa ini melalui kritik membangun, melalui penyadaran berpolitik secara positif dan edukatif. Masyarakat harus memiliki kesadaran sekaligus pendidikan politik yang baik dengan cara tidak alergi terhadap berbagai kritik, tetapi melihatnya sebagai bagian dari kekurangan yang semestinya terus diperbaiki.
Kritik merupakan prasyarat menguatnya masyarakat demokratis, lain halnya dengan hinaan, umpatan, atau fitnahan yang merugikan psikologis seseorang bahkan merusak citra seluruh bangsa jelas akan merusak sendi-sendi demokrasi itu sendiri.
Menghargai setiap kritik adalah ciri pribadi yang waras dan cerdas, menolaknya atau bahkan tak siap menerima kritik, bukti dari ketidakwarasan, kedengkian, bahkan kekerdilan dalam berpolitik. Salam kritik!
ADVERTISEMENT