Peci dan Korupsi

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
17 Desember 2018 16:43 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tersangka suap Bupati Lampung Selatan, Zainuddin Hasan diperiksa penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta (15/8/2018). (Foto: Nadia K. Putri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka suap Bupati Lampung Selatan, Zainuddin Hasan diperiksa penyidik KPK di Gedung KPK, Jakarta (15/8/2018). (Foto: Nadia K. Putri/kumparan)
ADVERTISEMENT
Saya tidak sedang membandingkan, bahwa peci sebagai suatu “identitas” nasional bahkan mungkin keagamaan lalu berbanding terbalik dengan para koruptor yang kerap berpeci. Namun yang pasti, sepanjang 2018, lebih dari 20 kepala daerah di seluruh Indonesia telah ditangkap KPK karena terbukti melakukan korupsi dan rata-rata mereka tentu saja berpeci.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa kaitannya peci dengan korupsi? Kaitannya ada pada soal kepala daerah yang terpilih, di mana hampir semuanya mengenakan peci saat mengucapkan sumpah jabatan dan peci menjadi satu entitas yang melekat pada diri seorang pejabat, bahkan di saat mengucapkan sumpah untuk tidak akan melakukan korupsi seraya disaksikan dan didengar oleh sekian banyak orang.
Peci memang merupakan wujud identitas nasional, walaupun dalam banyak hal ia juga menjadi unsur terpenting ketika umat muslim menjalankan salat. Orang-orang tua di kampung, malah meyakini peci sebagai hal yang “sakral”, karena selain digunakan sebagai ornamen peribadatan, peci juga menjadi tempat menyimpan hal-hal penting, seperti uang atau kertas semacamnya yang “disakralkan”. Tanpa peci, salat rasanya kurang afdhal, sehingga wajar jika peci kemudian juga menjadi “identitas keislaman” seseorang, di samping dipakai juga menjadi identitas kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Melihat tren korupsi yang dilakukan para kepala daerah, tentu saja kita sering bertanya-tanya apakah mereka itu kurang digaji negara atau memang karena perilaku korup yang selalu “menghantui” para pejabat? Ataukah karena ongkos politik yang sedemikian tinggi, sehingga mau tidak mau mereka mencari jalan pintas melalui korupsi? Terlalu banyak pertanyaan, tetapi sesungguhnya hanya satu jawaban: peci dan korupsi itu tampak lebih dekat, karena peci yang menunjukkan perihal “kewenangan” setiap pejabat, namun sering kali disalahgunakan.
Lihat saja sosok Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, yang selalu tampil berpeci sekalipun telah didakwa korupsi sekitar Rp 72 miliar. Atau figur nyentrik Bupati Cianjur, Irvan Rivano Muchtar, yang kerap kali sarungan dan berpeci bahkan bersorban malah terbukti korupsi dengan mengutip dana bantuan pendidikan yang “dijarah” dari sekitar 200 sekolah.
ADVERTISEMENT
Untuk penampilan Irvan ini, memang terkesan terlampau berlebihan dengan misalnya, kemana-mana selalu mengenakan sorban dengan alasan bahwa dirinya merupakan simbol kesalehan yang taat menjalankan titah-titah agama.
Fuad Amin Imron. (Foto: Antara/Abd Aziz)
zoom-in-whitePerbesar
Fuad Amin Imron. (Foto: Antara/Abd Aziz)
Contoh lain barangkali adalah Bupati Bangkalan yang kesohor, Fuad Amin. Figur yang selalu mengenakan peci ini bahkan selalu membuat kehebohan, karena selain korupsinya dinilai mencapai ratusan miliar, ia bahkan disangkakan menyuap kalapas tempat dirinya “menginap” di Lapas Sukamiskin, Bandung, karena kerapkali keluar-masuk lapas dengan begitu santainya.
Entah siapa lagi figur berpeci tapi korupsi, namun yang pasti ini bukan unsur kesengajaan media untuk membangun image seolah-olah mereka yang berpeci-lah yang korupsi, tidak. Peci tetap menjadi identias nasional dan keagamaan yang tetap dijunjung tinggi bahkan dihormati karena memang selalu berada di atas kepala dan tak pernah menjadi alas kaki.
ADVERTISEMENT
Banyak informasi soal korupsi ini yang diungkap media, berapa besaran kerugian negaranya, dipergunakan dalam hal apa saja, dan yang paling membuat miris tentu saja ketika uang korupsi dipakai untuk pembangunan rumah ibadah atau membiayai kegiatan-kegiatan keagamaan. Bupati Zainudin malah mendanai pembangunan rumah dan masjid miliknya dengan jumlah miliaran uang hasil korupsi. Tidak hanya itu, OTT KPK atas Bupati Irvan malah dirayakan oleh masyarakat selepas salat Jumat digelar, meluapkan kegembiraannya karena bupatinya sendiri berhasil ditangkap.
Suatu anomali sosial yang sedemikan “brutal”, di saat keberadaan seorang pemimpin yang dipilih masyarakat, malah “disyukuri” karena dipenjara akibat korupsi. Mungkin saja ini ada kaitannya dengan kasus OTT sang bupati yang dilakukan para koleganya di saat transaksi duit korupsi di pelataran tempat ibadah.
ADVERTISEMENT
Tentu saja hal ini menunjukkan, betapa marwah peci terdistorsi, bahkan esensi keagamaan ternodai oleh ulah segelintir orang yang justru memanfaatkannya dalam hal-hal kejahatan politik dengan mengumbar simbolisasi agama itu sendiri. Saya kira, semakin nampak bahwa agama sekadar simbolisasi politik yang berkutat demi pencitraan, identitas kepolitikan, bahkan sebagai “kamuflase” dari segala macam kejahatan yang dicitrakan kebajikan.
Betapa banyak program-program kepala daerah yang kemudian terpilih lalu sering kali bersinggungan dengan soal-soal keagamaan Islam secara simbolik. Tak perlu disebutkan satu-persatu, tetapi rata-rata mereka memanfaatkannya sebagai suatu kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai kebenaran sesungguhnya yang dibawa oleh agama.
Yang menyedihkan, Islam dan politik seakan terdistorsi, bahkan sering kali lebih banyak menimbulkan masalah dan hal itu tentu saja dilakukan oleh mereka yang bangga terhadap upaya simbolisasi agama. Padahal, konotasi koruptif dalam Islam itu sendiri adalah “fasaad” (kerusakan yang fatal) bukan didefinisikan secara sempit sebagai praktik “riswah” atau yang dinasionaliasasikan menjadi “rasuah”.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, ketika peci sudah melekat menjadi identitas nasional, maka sekaligus juga menjadi simbol keagamaan yang kuat, di mana segala perbuatan apapun yang dianggap merusak, tentu tak ada lagi toleransi. “Telah jelas kerusakan di darat dan lautan, semata-mata karena ulah perbuatan manusia itu sendiri” (QS. Arrum: 41).
Korupsi jelas merusak dan kerusakan akibat korupsi jelas-jelas membahayakan kelangsungan hidup manusia, bahkan berdampak luas terhadap kerusakan daratan dan lautan. Bukankah korupsi itu menyasar kepada semuanya? Kerugian terhadap negara, berbuat zalim kepada masyarakat, persekongkolan dalam hal keburukan, memanipulasi agama demi keuntungan pribadi, dan masih sangat banyak dampaknya.
ADVERTISEMENT
Di tengah maraknya OTT KPK, tentu saja masih banyak nalar-nalar sempit yang cenderung nyinyir bahkan mungkin menuding lembaga anti-rasuah ini sedang bermain politik. Jadi, apa saja yang dilakukan oleh rezim saat ini tentu saja dianggap bermuatan politik, tak jelas apa yang dimaksud, apakah karena mungkin mereka itu kritis atau memang sudah tak suka dengan penguasa?
Padahal, mereka juga sesungguhnya para penguasa bagi rakyatnya, namun sayangnya lebih banyak berbicara dengan membuat seolah-olah apa saja telah “dipesan” sebelumnya oleh penguasa.
Saya kira, patut direnungi ungkapan sahabat Ali bin Abi Thalib ketika ia menyatakan, Manusia itu hanya ada tiga: Yang pertama adalah mereka yang sibuk dengan ilmu pengetahuan (‘aalim), Kedua adalah para pengajar atau guru (muta’allimun) yang membimbing setiap orang menuju jalan kebaikan dan keselamatan, dan Ketiga adalah mereka yang jumud (statis) tetap menjadi manusia terhinakan yang senantiasa lantang bersuara (karena kelaparan)”.
ADVERTISEMENT