Pembakar Bendera Bisa Dijerat Pasal Kebencian

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2018 9:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ujaran kebencian. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ujaran kebencian. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Entah apa yang ada di pikiran mereka yang dengan penuh kebencian membakar bendera. Padahal, bendera tak menunjukkan arti apapun, kecuali secarik kain yang sering kali dikaitkan dengan identitas kekelompokan.
ADVERTISEMENT
Apapun dalihnya, membakar bendera milik kelompok tertentu adalah ekspresi kebencian yang mendalam di mana secara agama dan hukum jelas tidak dibenarkan.
Agama melarang siapapun untuk membenci sekalipun bersalah, terlebih jika tidak. Kebencian tentu saja akan mendorong kepada permusuhan yang pada akhirnya timbul konflik kekerasan di mana hal ini mengganggu keutuhan bangsa dan negara.
Dalam ajaran Islam, menyakiti orang lain dengan cara apapun, termasuk mencaci maki terlebih menebarkan kebencian, merupakan ajang membuka aib yang tanpa disadari telah membuka borok dirinya sendiri di depan publik.
Itulah sebabnya, Nabi Muhammad sangat marah ketika ada di antara umatnya yang saling membenci. “La tu’dzuu ‘ibadallahi wa laa tu’ayyiruuhum wa laa tathlubuu ‘auraatihim” (Janganlah kalian sakiti hamba-hamba Allah dan janganlah kalian caci-maki dan jangan kalian menuntut agar saudaramu membuka auratnya).
ADVERTISEMENT
Siapa pun pasti kecewa jika rasa kebencian dikobarkan kepada pihak tertentu yang dengan jelas ditunjukkan oleh perusakan simbol-simbolnya.
Jika ungkapan kebencian ditegaskan ke publik terlebih sengaja disebarkannya, hal ini juga dianggap sebagai upaya melawan hukum. Saat ini, soal ujaran kebencian yang dipublikasikan di media sosial jelas berimplikasi hukum sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Walaupun, sering kali ketentuan pasal ini multitafsir terkait apa sebenarnya yang dimaksud 'rasa kebencian' yang dimaksud, namun paling tidak ada upaya hukum untuk memberikan rasa keadilan masyarakat.
Frasa 'kebencian' memang terkait dengan perasaan yang tentu saja sulit dibuktikan, kecuali memang ditunjukkan dengan ucapan dan perbuatan. Lalu, bagaimana dengan ungkapan rasa kebencian yang ditujukan kelompok tertentu dalam hal melakukan pembakaran terhadap simbol-simbol, seperti bendera? Saya rasa anda dapat menilainya sendiri.
ADVERTISEMENT
Wajar jika banyak pihak yang kecewa terhadap kejadian pembakaran bendera, terlebih didorong oleh betapa besarnya rasa kebencian dalam diri para pembakarnya.
Yang menjadi sangat disayangkan, kejadian itu berlangsung di tengah hari jadi santri di mana teladan atas nilai-nilai moralitas para santri sebagai masyarakat pencinta ilmu, pengabdi guru, hormat dengan sesama, toleransi, menjaga tradisi baik dalam berbangsa dan bernegara, justru tercoreng.
Ilustrasi pesantren (Foto: Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pesantren (Foto: Getty Images)
Bukankah jelas bahwa santri adalah pencari ilmu dengan tujuan sebagai sarana mencapai ketakwaan kepada Tuhan? Takwa tentu saja penuh dengan nilai-nilai moral kebajikan yang menghiasi setiap orang yang gemar mencari dan mencintai ilmu pengetahuan.
Afdlalul ‘ilmi ‘ilmu al-haal wa afdlalu al-‘amal hifdzu al-haal” (ilmu yang paling utama adalah perilaku/akhlak dan perilaku yang paling utama adalah menjaga akhlaknya), demikian bunyi teks yang tertera dalam kitab utama para santri, Ta’lim al-Muta’allim.
ADVERTISEMENT
Peringatan Hari Santri Nasional justru dirusak oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan dirinya santri, padahal bukan. Saya yakin, santri jelas memiliki nilai kewarasan berpikir, kedewasaan bertindak, dan tentu saja selalu menjaga nilai-nilai moral yang diajarkan para guru dan kiainya.
Santri adalah elite masyarakat karena secara sosial terdidik dan mendapatkan kelebihan ilmu pengetahuan dibandingkan masyarakat lainnya. Sudah sejak dulu, para santri sangat dihormati masyarakat, karena sikap dan perilakunya yang terpuji, cerdas, dan sangat menghormati sesamanya.
Hampir tak pernah ditemukan dalam sejarah, santri dituduh sebagai pembenci atau bahkan membuka auratnya sendiri dengan menebarkan kebencian kepada pihak lain yang jelas saudaranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bagi yang merasa santri, tentu saja merasa kecewa dengan adanya perilaku menebar kebencian kepada sesama santri yang juga sedang mempelajari agama Islam.
Tidak hanya itu, definisi santri sebagaimana termaktub dalam KBBI, sebagai 'orang yang saleh' jelas menafikan segala macam terkait perilaku buruk dan tindakan apapun yang mendorong upaya kebencian.
Kesalehan membentuk setiap pribadi menjadi lebih baik, lebih bermanfaat, disukai masyarakat, dan menjauhi hal-hal apapun yang dianggap buruk oleh dirinya sendiri. Mengumbar perasaan benci apalagi diiringi dengan perilaku yang berlebihan, jelas dibenci agama dan terkait dengan pelanggaran hukum sosial.
Ilustrasi santri (Foto: Dok. Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi santri (Foto: Dok. Pixabay)
Marilah kita jaga nilai-nilai kesantrian kita, dengan tetap berpegang teguh kepada kebenaran dan yang paling utama menjaga perilaku dengan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Bagi saya, ajaran-ajaran pesantren yang sedemikian luhur semestinya dipedomani, dihayati, dan diaktualisasikan dalam seluruh aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Menjadi santri jelas bangga terhadap ajaran-ajaran moral dan nilai-nilai kebajikan yang telah diajarkan, bukan justru tercederai dengan mengumbar aspek kebencian kepada pihak lain.
Penting untuk diingat, negara jelas secara tegas akan menghukum mereka yang mengumbar rasa kebenciannya kepada pihak lain, sekalipun pihak lain bersalah. Hal ini jelas demi mengantisipasi kerusakan yang lebih besar, terlebih jika dilakukan pembiaran kepada mereka yang menebarkan kebencian.
Saya bangga menjadi santri yang tak pernah jadi pembenci, karena saya yakin ajaran moral pesantren yang dititipkan kepada para santrinya mendorong terciptanya suasana senang dan gembira bukan menebarkan rasa ketakutan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saya juga meyakini, bahwa ajaran Islam memuat nilai-nilai luhur moralitas, bahkan dalam hal mengajak kepada kebenaran pun harus dilalui dengan cara-cara bijak (hikmah) dan cerdas (mau’idzatul hasanah).
Semoga para santri masih tetap teguh menjadikan ajaran-ajaran pesantren yang bermartabat sebagai penjaga atas nilai-nilai tradisi, budaya, adat, dengan mengedepankan sisi kehalusan berbudi tanpa harus diiringi emosi apalagi sampai mencaci maki. Selamat Hari Santri, Mari Jaga Akhlak Berbudi!