Politik Guru Ngaji

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
16 Januari 2019 10:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bacaleg di Aceh Mulai Ikut Tes Uji Baca Alquran (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bacaleg di Aceh Mulai Ikut Tes Uji Baca Alquran (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Rasionalitas kepolitikan kita nampaknya tengah diuji, di tengah hampir hilangnya gagasan-gagasan kemanusiaan dan visi-misi para kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) yang lebih realistis tergerus oleh maraknya fakta retoris sekadar adu mulut, saling tuding, saling serang, bahkan saling bantah antarsesama kubu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, rasionalitas politik seakan tak laku karena tergantikan oleh argumentasi politik yang bersifat “fantasi”, manipulatif, bahkan mungkin tampak sebatas “kosmetik” sekadar mendongkrak elektabilitas masing-masing.
Para juru bicara politik hanya bertugas menangkis serangan-serangan lawannya, bukan memberi pencerahan kepada masyarakat soal bagaimana kebaikan negeri ini dibangun. Politik pada akhirnya semakin tak rasional, terlebih ketika soal baca Alquran justru menjadi “alat” di mana tiba-tiba muncul sosok-sosok guru ngaji yang dipolitisasi.
Hanya dalam Pilpres 2019, muncul para guru ngaji yang masing-masing memberikan testimoni kepada para muridnya yang saat ini menjadi calon presiden (capres). Tak hanya soal pengakuan begitu baiknya bacaan Alquran murid-muridnya ini, namun lebih dari itu sikap keberagamaan mereka dinilai para guru ngaji sekadar memberitahukan kepada publik bahwa kedua kandidat ini benar-benar teruji secara agama.
ADVERTISEMENT
Ngaji-pun pada akhirnya “dipolitisasi” menjadi ajang pembenaran politik di mana seolah-olah setiap kontestan yang tidak bisa ngaji, akan gagal menjadi calon presiden. Politik guru ngaji semakin menambah realitas politik kekinian tampak absurd bahkan melampaui tujuannya sendiri yang rasional.
Bagi saya, ukuran bagaimana seseorang baik dalam bacaan Alquran tidaklah sesederhana sebagaimana yang dibayangkan, terlebih ada ajakan satu pihak untuk mengkontestasikan perihal pembacaannya yang disaksikan oleh khalayak. Soal kontestasi bacaan Alquran yang dilombakan saja masih menuai pro-kontra, apalagi soal ngaji yang dikontestasikan dalam ranah politik.
Saya kira, seseorang yang lancar atau tidak dalam membaca Alquran tidaklah suatu jaminan bahwa seseorang itu dianggap teruji kualitas agamanya. Itulah kenapa, dalam Islam yang harus pertama kali dipelajari dan diserap dalam kepribadian adalah soal pemantapan perilaku (akhlak), sebab prilaku yang baik adalah cerminan dari keseluruhan ajaran yang tertuang dalam Alquran.
ADVERTISEMENT
Menjadi pembaca Alqluran yang baik, tentu saja sangat rumit ukurannya karena selain Alquran berbahasa Arab sehingga menyulitkan dalam teknik pelafalannya secara benar (makhraj), setiap ayat yang dibaca memiliki tanda-tanda tertentu yang seringkali dibaca berbeda dari kenyataan tekstualnya.
Jika hanya sekadar mampu membaca lancar tanpa memperhatikan “tanda-tanda” bacaannya sebagaimana yang dituntut oleh ilmu tajwid, jelas merupakan kesalahan besar yang bahkan akan mengubah seluruh makna tekstual sekaligus kontekstual Alquran itu sendiri. Saya jelas tak memahami, apa sebenarnya “kehendak politik” dari mereka yang menggagas kontestasi baca Alquran bagi setiap kandidat calon presiden.
Soal kontestasi membaca Alquran ini lalu secara cepat direspons oleh mantan guru ngaji para kandidat dengan memberikan berbagai testimoni. Seolah ada upaya untuk “menggagalkan” kontestasi terbuka sebagaimana undangan dari para dai di Aceh, karena cukuplah testimoni para guru ngaji capres yang meloloskan para muridnya sebagai capres yang “pandai” mengaji.
ADVERTISEMENT
Agama saja sudah ditelikung sedemikian rupa demi kepentingan politik, lalu kini kitab suci justru mendapat gilirannya hanya dikontestasikan demi tujuan kekuasaan. Sungguh, kitab suci Alquran adalah firman Tuhan Yang Mulia yang dibumikan melalui pembacaan atas teks-teks, dipahami, dan yang paling penting adalah bagaimana soal penghayatan atas seluruh isinya dan teraktualisasikan dalam setiap kehidupan sehari-hari.
Alquran tidak sebatas ditujukan kepada satu umat saja, tetapi menyeluruh melampaui ikatan-ikatan solidaritas keumatan mengingat seluruh apa yang termaktub di dalamnya jelas bernilai universal. Lalu, ketika Alquran hanya dipahami dalam konteks “bacaan” lalu sekadar dikontestasikan demi ukuran kebenaran politik, jelas malah mereduksi nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya mungkin termasuk salah satu yang menyayangkan adanya himbauan agar para kandidat capres dites bacaan Alqurannya dengan ditonton orang banyak. Dengan kontestasi seperti itu, jelas akan timbul persepsi beragam di tengah masyarakat atau mungkin saja malah menuai bahan ejekan atau tertawaan misalnya, ketika ada kesalahan baca dari kontestan yang membaca ayat-ayat Alquran.
Belum juga digelar, soal tes baca Alquran para kandidat ini sudah menjadi ajang “adu garang” para politisi di antara dua kubu yang mempolitisasinya melalui berbagai cara. Ada pihak yang menyerahkan hal ini kepada KPU dan ada pula yang merasa siap mengikuti himbauan dengan sangat meyakini bahwa kandidatnya pasti bakal lolos tes baca Alquran dengan baik.
ADVERTISEMENT
Sungguh disayangkan, bahwa kenyataan politik yang terus menerus kehilangan sisi rasionalitasnya karena terlampau diseret-seret ke dalam wilayah agama, menambah Pilpres 2019 kali tampak semakin rumit. Ukuran-ukuran gagasan dan ide melalui penguatan visi-misi setiap kandidat harus kandas di tengah perebutan pengaruh yang sedemikian tajam dan menohok di antara kedua belah pihak yang berkontestasi.
Agama yang semestinya berada dalam segmen yang paling privat justru diumbar ke depan publik sebagai “alat pembenaran” dalam konteks politik. Disadari maupun tidak, umat Islam seolah sedang “diadu domba” untuk memperebutkan kekuasaan politik, melihat pada diksi-diksi keagamaannya yang marak menjadi “jualan” di tengah publik.
Kenyataannya, politik guru ngaji seolah menampilkan keberadaan ranah politik yang sesungguhnya, karena mereka kemudian memberikan semacam “legitimasi keagamaan” kepada para kandidat yang saat ini tengah diusungnya. Makna demokrasi tampak semakin kabur ditengah menguatnya simbol-simbol keagamaan yang dipertontonkan bahkan kerap menjadi alat pembenaran bagi legitimasi politik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Politik guru ngaji seolah menemukan momentumnya di Pilpres kali ini, bahkan dalam bentuk derivasinya yang lebih jauh, melampaui nilai-nilai politik itu sendiri yang seharusnya mengedepankan ciri khasnya yang rasional. Bagi saya, ini gejala yang cukup aneh dalam sepanjang sejarah kepolitikan Indonesia karena baru kali ini para guru ngaji “berpolitik” dengan memberikan testimoni sebagai “legitimasi” atas setiap capres yang didukungnya.
Bukan tidak mungkin, bahwa kondisi seperti ini akan mendorong lahirnya barisan “golput” yang kecewa dengan arus politisasi agama yang semakin menjauhkan nilai-nilai rasionalitas politik yang sebenarnya. Atau paling tidak, banyak pihak yang berharap bahwa pemilu segera saja digelar untuk mengakhiri sedemikian besar polarisasi yang menggelikan di tengah pro-kontra masyarakat terhadap ajang kontestasi Pilpres.
ADVERTISEMENT
Namun yang pasti, banyak sisi rasionalitas politik yang belakangan tergadaikan oleh realitas politisasi agama yang pada akhirnya sukses menjaring kontes politik para “guru ngaji” yang belakangan marak menghiasi panggung-panggung kekuasaan.