news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ramai Makelar Doa di Tengah Politisasi Ulama

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
7 Februari 2019 11:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi hal lumrah, dimana perseteruan para politisi hanya berakhir di ruang media sosial (medsos) tanpa tatap muka sambil ngopi. Dalam banyak hal, medsos menjadi ruang bebas publik dalam menyuarakan banyak hal, termasuk yang paling dianggap privasi sekalipun.
ADVERTISEMENT
Medsos seolah menjadi makelar informasi bahkan mungkin korespondensi paling dipercaya dan diminati publik. Untuk meminta suatu klarifikasi, cukup hanya “mencuit” tanpa perlu bertanya apakah benar yang membalas adalah sang pemilik akun.
Doa bersama di kediaman Prabowo Subianto Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Korespondensi pada akhirnya diwakili oleh akun-akun bukan oleh pribadi-pribadi yang sebenarnya. Diskusi pun cukup diselesaikan dengan cara saling cuit tanpa perlu susah-suasah meramu kesimpulan ilmiah yang mampu melegakan banyak pihak.
Suatu kejadian yang sangat memalukan saya kira, ketika ada seorang ulama yang dipaksa masuk ke dalam gelanggang politik praktis. Perihal yang menimpa KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) seolah menegaskan bentuk paling nyata dari politisasi ulama melalui titipan-titipan doa secara khusus demi keuntungan salah satu kontestan politik.
ADVERTISEMENT
Sekalipun soal politisasi ulama ini bukan hal baru, namun kejadian yang menimpa ulama sepuh paling kharismatis ini dapat menjadi preseden buruk, di mana berdoa dilakukan dengan cara "paksaan" atau setting-an dengan tujuan-tujuan politik.
Walaupun memang ada tradisi yang melegalkan soal “makelar Tuhan”, yang dalam konteks ajaran Islam disebut sebagai “washilah”, namun secara umum washilah yang dimaksud hanya untuk tujuan-tujuan kebaikan bukan dalam hal tradisi dukung-mendukung kekuasaan. Dalam tradisi Islam Indonesia, banyak orang-orang yang ber-washilah kepada para kiai, orang-orang saleh, bahkan juga para tokoh yang sudah meninggal agar dengan segala kebajikan yang telah mereka lakukan dan kemanfaatan mereka kepada umat, kita dapat berdoa melalui washilah kebaikan yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini kerapkali menimbulkan kritik, dimana berdoa semestinya langsung kepada Tuhan, tanpa harus melalui perantara apapun. Di sisi lain, washilah menjadi keniscayaan dalam perantara untuk memohon kebaikan kepada Tuhan, karena yang meminta perantara biasanya tidak lebih baik dari mereka yang dijadikan perantara.
Maka, tradisi washilah ini menjadi ramai dan dipertahankan hingga kini, menjadi bagian tersendiri yang disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran Islam di Indonesia. Saya tidak akan ikut mengomentari perdebatan Fadly Zon dan Romahurmuziy yang diramaikan juga oleh rasa penasaran Lukman Saifuddin dan Alissa Wahid. Perdebatan di medsos menyoal puisi Fadly tentang “Doa yang Tertukar” tak saja menggelitik pihak lawan politik, namun sekaligus mempertontonkan betapa ulama kharismatis sekelas Mbah Moen dipaksa masuk kumparan politik-kekuasaan. Ulama yang seharusnya dihormati, diikuti, dan disayangi seolah di “bon” sana-sini demi keuntungan-keuntungan kekuasaan.
Fadli Zon Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Alangkah lebih bijak jika setiap kandidat politik cukup datang meminta restu kepada para ulama karena akan berlaga di ajang kontestasi tanpa harus menyetir mereka untuk berdoa sesuai kehendak para makelarnya.
ADVERTISEMENT
Doa para ulama tentu saja “maqbul” dan di-ijabah, selama yang keluar dari mulutnya sesuai dengan hati nuraninya dan keyakinannya yang begitu dalam kepada Tuhan sang Maha Pemberi Keputusan. Mungkin ada benarnya, dimana kritik Fadly Zon menyoal adanya makelar doa, karena memang ada orang-orang yang men-drive Mbah Moen untuk membacakan doa sesuai selera politik mereka. Pada konteks ini, ada upaya politisasi ulama, karena tidak menempatkan ulama sebagai pengampu washilah dalam berdoa.
Saya justru menilai, banyak sekali upaya politisasi ulama seperti ini yang tidak hanya terjadi pada sosok Mbah Moen, tetapi terjadi pada banyak ulama-ulama lainnya yang secara sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan dukungan politik. Bagi saya, fenomena ini terasa mengharukan, dimana para politisi memberi peran para ulama sekadar pembaca doa, bahkan bait-bait doa yang seharusnya dibiarkan mengalir, telah dibuat dan diatur sedemikian rupa. Alangkah rendahnya kedudukan para ulama jika demikian, karena hanya dimanfaatkan di setiap ajang kontestasi politik, tidak lebih.
ADVERTISEMENT
Padahal, ulama adalah panutan umat, segala prilakunya yang baik, ucapannya yang penuh hikmah, dan petuah-petuahnya yang penuh kebajikan semestinya diikuti dan ditiru. Keilmuan mereka yang luas tentu saja dapat dimanfaatkan sebagai masukan berharga bagi setiap aturan yang dibuat politisi, menggelorakan semangat keadilan umat, bukan hanya untuk kepentingan kelompok, afiliasi dan koneksi politik, atau golongan tertentu. Ulah para politisi yang berselingkuh dengan kekuasaan tentu saja dengan sadar telah mencerabut akar kebajikan para ulama. Jadi, jika ada anggapan bahwa Pilpres 2019 kali dipenuhi oleh beragam konten politisasi agama, ternyata benar adanya. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa kedua kubu yang berkompetisi jelas memanfaatkan celah keagamaan untuk diisi dengan tradisi politik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Saya kira, Mbah Moen dengan ketulusan dan keikhlasannya tentu saja berdoa untuk seluruh kemenangan bangsa Indonesia, bukan untuk kemenangan salah satu kandidat politik. Kemenangan seluruh bangsa Indonesia berarti, tak perlu ada yang merasa kalah atau menang dalam kontestasi, karena kemenangan siapapun tentu saja untuk kebaikan bagi seluruh bangsa ini.
Prabobo menemui Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, KH Maimoen Zubair (Mbah Moen). Foto: Dok. Tim Media Prabowo
Kesan Pilpres 2019 sebagai ajang kompetisi politik yang paling banyak menggunakan agama sebagai alat politik, seolah sulit dihindarkan. Tak hanya agama saja yang dipolitisir, karena ternyata para pemuka agama juga ikut menuai imbasnya. Tak ada lagi kesan ulama yang “netral” dalam konteks politik, karena kenyataannya mereka terus diklaim masing-masing kubu sebagai ulama-ulama yang mendukung mereka.
Kenyataan ini semakin jelas akan membawa preseden buruk bagi kedudukan para ulama ke depannya, dimana pada akhirnya mereka sekadar dimanfaatkan untuk kepentingan perolehan suara, bahkan sekadar dihadirkan sebagai pembaca doa di setiap perhelatan kontestasi politik, tidak lebih!
ADVERTISEMENT