Rezim Panik dan 'Political Gimmick'

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
12 Desember 2018 13:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Duel kedua Jokowi vs Prabowo. (Foto: Reuters, AFP, kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Duel kedua Jokowi vs Prabowo. (Foto: Reuters, AFP, kumparan)
ADVERTISEMENT
Istilah-istilah yang menggelitik belakangan ini semakin memperkaya wacana diskusi politik. Masing-masing kubu sepertinya memiliki beragam adagium yang seolah dipersiapkan sebagai amunisi politik jelang kontestasi.
ADVERTISEMENT
Kenapa, ada yang panik, ya?” kalimat itu terlontar ketika muncul berbagai isu yang mendiskreditkan rezim di mana seolah-olah apa yang dituduhkan kepada mereka tidak benar dan rezim berupaya membalik kondisi politik yang sebenarnya.
“Tak perlu panik, itu hanya sekadar political gimmick”, mungkin kalimat ini dapat mewakili betapa situasi politik jelang kontestasi ini sebatas memainkan isu bukan realitas kontestasi politik yang sesungguhnya, dan terkadang isu-isu yang diangkat pun tampak terlampau usang.
Politik di negeri ini memang cukup menyedot perhatian masyarakat, bahkan siapa saja dapat ikut berpartisipasi secara aktif “berpolitik” sebagai bentuk dukungan atau simpatisan atas kenyataan dua kubu kontestan politik yang saat ini sedang bertarung.
Satu sisi ini adalah kenyataan demokrasi yang telah membuka ‘kran’ kebebasan berekspresi setiap orang seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. Namun di sisi lain, diksi-diksi kepolitikan telah banyak menjadi polusi dan mencemari berbagai hal, termasuk sosial, politik, bahasa, bahkan agama.
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Demokrasi (Foto: Vision.org)
Istilah “pos pertempuran” misalnya, jelas berkonotasi “perlawanan” yang mungkin saja berdimensi fisik, sehingga wajar jika hal ini ditanggapi secara “panik” oleh kubu lawan politik.
ADVERTISEMENT
Apakah, diksi “panik” hanya berlaku bagi “kubu sebelah” yang memang menjadi rival kubu pro-penguasa? Lalu, istilah “political gimmick” menjadi diksi “penghibur” yang memang dipergunakan kelompok pendukung rezim yang disebut sedang panik oleh lawan politik?
Saya kira, soal jawaban ini akan lebih mudah diungkap sesuai tensi politik masing-masing kubu yang saat ini memang telah mempersiapkan ajang pertempuran politik yang kadang tampak panik atau hanya sebatas “gimmick-gimmick”. Lihat saja, isu-isu yang sengaja dibuat untuk menghambat atau memperburuk citra kandidat terus diangkat dan sukses menjadi konsumsi politik yang bahkan merakyat.
Bisa saja memang ada kubu yang mengalami kepanikan di saat banyak perihal negatif yang dibongkar dan dijadikan isu kepolitikan yang benar-benar menggelikan. Kepanikan dalam politik memang hal yang wajar, karena politik tentu saja ajang kontestasi soal kalah-menang dalam memperebutkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Namun, masalahnya tak semua orang cerdas dalam menyikapi isu politik dan ini berdampak kurang baik bagi cara pandang masyarakat terhadap dunia politik itu sendiri. Politik tentu saja seharusnya dipahami sebagai kegiatan yang dapat “mendamaikan” dua kepentingan yang berbeda sehingga masing-masing berkompetisi secara sehat untuk mendapatkan porsi-porsi kuasanya dalam rangka memenuhi kesejahteraan rakyat.
Jika kedua kubu politik yang belakangan terciduk media justru saling serang dan menjatuhkan, bahkan masing-masing saling mengungkap keburukannya, jelas ini bukan bagian dari iklim kompetisi politik yang sehat dan demokratis.
Suasana HUT Gerindra ke 10. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana HUT Gerindra ke 10. (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Munculnya istilah “rezim panik” atau ungkapan “political gimmick” seolah-olah menunjukkan kedua kubu memang miskin visi-misi bahkan sepi ideologi politik. Ungkapan-ungkapan ini tak lebih dari upaya pembelaan politik, sekadar berangan-angan, hanya sebatas penggiringan opini yang berawal dari “katanya” seraya diperkuat oleh emosi individual yang hampir sebatas ekspresi sebuah kepanikan.
ADVERTISEMENT
Saya sangat menyayangkan, ketika salah satu kubu politik menyatakan akan membangun “pos pertempuran” lalu ramai-ramai dikomentari bahkan hampir tak menyentuh “substansinya” sama sekali. Bukan suatu kebetulan juga, sehari setelahnya kubu lawan malah mempersiapkan isu-isu politik tandingan yang akan meng-counter segala kepanikan yang selama ini dituduhkan.
Politik sepertinya hanya sanggup bermain pada level isu-isu yang bersifat imaginatif-kontemplatif hampir tak mampu menghadirkan nilai substansi kepolitikan yang realistik-konstruktif yang semestinya memang diperjuangkan masing-masing kubu kontestan.
Saya kira, politik belakangan ini semakin kehilangan substansinya sebagai bagian dari upaya menjawab berbagai problematika kekuasaan yang tuntutannya tentu saja aspek-aspek kesejahteraan rakyat.
Apa yang disebut ajang kontestasi tak lebih dari perang isu sekadar pelipur lara bagi setiap kubu yang dilanda memang dilanda kepanikan. Banyak hal-hal penting yang justru semakin tak menjadi perhatian bagi masing-masing kubu yang konon “bertarung” mati-matian demi mengurus lebih dari 200 juta rakyat Indonesia.
Jokowi saat kampanye "Salam 2 Jari" di Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan, (7/5/14). (Foto: AFP/AGUS SUPARTO)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi saat kampanye "Salam 2 Jari" di Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan, (7/5/14). (Foto: AFP/AGUS SUPARTO)
Saya kira, keberadaan berbagai kekuatan politik—baik yang formal maupun non formal—lebih sering berkonsentrasi membela kepentingan individu kontestannya dan kelompoknya, jauh dari wacana menghadirkan kesepakatan dalam rangka membela kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Sepertinya memang yang sedang panik tak hanya terbatas pihak yang berkontestasi, hampir setiap orang sepertinya ikut-ikutan dalam suasana kepanikan yang tak jelas. Lihat saja berbagai komentar masyarakat yang sedikit banyak dapat menggambarkan suasana kepanikan yang entah panik terhadap apa.
Media sosial terutama, yang menjadi basis tumpah ruahnya komentator-komentator pendukung dan partisan politik yang entah mereka sedang memperjuangkan apa. Bahkan, media pun pada akhirnya harus memberi ruang kepada mereka, bahkan tak jarang kehilangan sisi objektivitasnya karena cenderung “membela” salah satu kontestan politik.
Mereka yang panik, kemudian mengekspresikan “political gimmick” yang hampir tak pernah menyentuh hal-hal yang substansial dalam suatu realitas politik.
Saya kira, peran media sangat bertanggungjawab dalam menghadirkan berbagai opini yang diungkap para pemimpin politik. Terbelahnya opini masyarakat sejauh ini, terdapat campur tangan media di belakangnya sebagai sebuah kekuatan tak terlihat (hidden markets) yang memang sekadar mencari keuntungan keekonomian ditengah kuatnya arus polarisasi politik.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan, jika politik sekadar kontes “perang mulut” antarpolitisi atau “adu argumen” antarkubu yang meminggirkan nilai-nilai substansi kepolitikan yang semestinya dapat “mendamaikan” beragam kepentingan dalam jalur-jalur kekuasaan.
Namun, itulah rumitnya jika suatu negara diisi oleh sedemikian banyak kekuatan politik, karena jangan-jangan kondisi ini semakin menyeret rezim dikuasai satu kelompok kecil namun memiliki “network power” yang kuat dan menguasai seluruh sumber daya kekuasaan.