Saat Santri dan Ulama Menjadi Produk Politik

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
18 September 2018 11:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Agama dan Politik (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Agama dan Politik (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Belakangan, sulit untuk tidak mengatakan bahwa politik sangat kental dengan nuansa simbolik keagamaan baik itu narasi, gelar, atau atribusi yang bahkan serasa dipaksakan. Narasi politik-keagamaan seakan menjadi menu wajib dalam setiap perhelatan pemilu karena itulah satu-satunya daya tarik bahkan daya tawar yang paling menjanjikan.
ADVERTISEMENT
Siapa saja yang menjadi kontestan politik, penting menyematkan atribusi keagamaan, entah sebagai santri walaupun tanpa sarung atau ulama sekalipun tak pernah mengenal sorban.
Atribusi “santri” atau “ulama” seakan menjadi label halal pada makanan, di mana konsumen pada segmentasi tertentu pasti akan memilih label ini, tak peduli urusan labelisasi ini sebenarnya murni urusan bisnis, tidak sepenuhnya ketaatan pada agama.
Kebanyakan—atau paling tidak sebagian besar—konsumen politik kita adalah mereka yang meyakini bahwa agama atau keyakinan sangat berpengaruh besar dalam hal penentuan pilihan politik.
Ketika para kandidat sebagai “produk politik” dilempar ke publik, maka mereka harus mewakili atau paling tidak memiliki kedekatan keagamaan atau keyakinan dalam masyarakat. Itulah kenapa, ajang pilpres yang menjadi perhelatan politik nasional, kental nuansa atribusi keagamaannya.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dimungkiri, bahwa bakal cawapres Jokowi yang dianggap mewakili “ulama” juga mengukur peluang pasar para konsumen politiknya. Ma’ruf Amin justru semakin dipoles keulamaannya—terutama dari sisi labelisasi dan atribusi—agar terkesan moncer bagi sebuah produk politik yang akan diluncurkan.
KH Ma'ruf Amin (Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)
zoom-in-whitePerbesar
KH Ma'ruf Amin (Foto: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)
Menariknya, di kubu lawan politik, pasangan Prabowo-Sandi yang belum terendus oleh pasar soal labelisasi kesantrian dan keulamaannya—karena kedua pasangan ini dari dulu dikenal pebisnis—lalu demi kepentingan pasar, memoles produk politiknya dengan atribusi keagamaan.
Bakal cawapres Prabowo, Sandiaga Uno, justru sukses menjadi produk politik dengan labelisasi santri dan ulama sekaligus. Setelah sebelumnya para pendukung mereka menyematkan atribut santri posmo pada Sandi, kini lebih ditingkatkan derajatnya dengan memperoleh predikat “ulama”. Sandi paling tidak merupakan karya nyata produk politik yang harus mampu membaca keinginan konsumen di pasar politik keagamaan.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, pelabelan “santri” atau “ulama” yang keduanya lekat dengan dunia pesantren justru sering kali membuat malu mereka yang mendadak dilabeli oleh masyarakat. Malah banyak di antara para santri jebolan pesantren justru menyembunyikan identitas kesantrian mereka, terlebih para ulama yang takut dengan imbas keulamaannya jika pada kenyataannya mereka gagal mengemban misi para nabi sebagai pribadi paripurna yang berakhlak mulia.
Kecuali mereka yang tinggal dan mengabdikan dirinya di pesantren, label santri, kiai, atau ulama tetap abadi disandang lengkap dengan atribusi sarung dan sorbannya. Diluar itu, hampir kebanyakan identitas mereka sengaja tak diungkap ke publik, mengingat mereka tak lagi berada di pesantren.
Dalam tradisi politik kekinian, istilah santri dan ulama justru semakin mencuat menjadi atribusi sangat penting dalam sebuah produk politik. Uniknya, labelisasi “santri” bisa meningkat levelnya demi pemenuhan kebutuhan dan nafsu politik kekuasaan menjadi “ulama”.
ADVERTISEMENT
Bahkan, sebagai penguat legitimasi, tak jarang mereka yang berkepentingan harus “memperkosa” dalil-dalil keagamaan agar cocok dengan produk politik yang akan mereka lemparkan ke pasaran. Melegitimasi produk politik melalui dalil-dalil keagamaan, merupakan bukti nyata betapa agama menjadi alat penting dalam setiap promosi politik apapun dan tentu saja “dihalalkan”.
Sandiaga Uno. (Foto: Ricad Saka/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sandiaga Uno. (Foto: Ricad Saka/kumparan)
Bagi saya, kedua kubu—baik Jokowi maupun Prabowo—sedang berupaya memainkan beragam trik politik melalui atribusi keagamaan. Pilihan Jokowi kepada Ma’ruf Amin tak mungkin lepas dari atribusi keulamaan yang melekat pada sang cawapresnya, sehingga bisa menjadi produk politik menjual di tengah para konsumen politik yang gandrung gemerlap simbolik.
ADVERTISEMENT
Namun yang menggelikan, ketika kubu Prabowo yang terus menerus “memaksa” Sandiaga Uno sang cawapres Prabowo mengikuti ritme politik simbolik, menyemai gelar-gelar keagamaan menjadi semacam permainan.
Gelar “santri pos-Islamisme” yang sempat dilekatkan kepada Sandi dirasa kurang menjual sehingga perlu dikatrol dengan menyandang gelar “ulama”, walaupun tanpa sarung dan sorban sebagaimana kubu lawan politiknya.
Tanpa sadar, kita dihadapkan pada kondisi yang semakin hari semakin merendahkan entitas agama ketika dipaksa memasuki gelanggang politik. Agama sekadar “jualan” yang mengharu biru bahkan jatuh ke titik nadirnya diinjak-injak kepongahan ambisi kekuasaan.
Agama sekadar entitas simbolik bahkan atribusi yang sengaja diperjual-belikan demi kepentingan sesaat sebagai pemenuh hasrat politik yang membuncah. Bahkan, Islam sebagai agama mayoritas seperti dipermalukan sekadar kendaraan politik guna mencapai tujuan kekuasaan, hilang kesakralannya karena sejajar dengan nafsu kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Sejak dari sebelum perhelatan pilpres dimulai, atribusi keagamaan marak diperdagangkan, bahkan klaim santri atau ulama justru mendominasi dalam gelanggang politik kekuasaan.
Anehnya, hasrat kekuasaan politik yang meninggi seakan melupakan urusan-urusan sosial yang berdampak kemaslahatan umat berganti dengan kebencian dan emosi yang terus-menerus dipupuk bahkan dipelihara.
Tak pernah ada istilah bahwa politik itu menyatukan, tetapi sukses memporak-porandakan dan membelah bangunan keadaban, budaya, tradisi, bahkan agama sampai pada titik nadirnya.
Lebih mengerikan lagi, ketika atribusi itu kemudian memasuki gelanggang politik yang penuh kebohongan dan keculasan, sehingga wajar jika ada yang beranggapan inilah bentuk “maksiat politik” ketika agama justru diperjualbelikan untuk urusan keduniaan terlebih agama “dilegitimasi” demi pemenuhan bisnis produk-produk politik.
ADVERTISEMENT