Sufisme: Kesalehan Etik dan Militansi Politik

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
8 April 2019 15:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tari Sufi merupakan meditasi aktif secara fisik yang berasal dari kalangan sufisme. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Tari Sufi merupakan meditasi aktif secara fisik yang berasal dari kalangan sufisme. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kegiatan Multaqa As Sufi Al Alamy (Konferensi Ulama Sufi Internasional) yang diadakan oleh Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (JATMAN) pada 08–10 April 2019 di Pekalongan, Jawa Tengah, seperti memperkokoh sejarah lama soal pengaruh tarekat yang sukses “membumikan” Islam di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Tidak penting lagi soal perdebatan pihak mana yang secara meyakinkan menjadi penyebar Islam di Nusantara—sebagaimana tercatat adalah para pedagang Gujarat dari India Selatan, Persia, dan Arab—namun sepertinya terdapat “kesepakatan” bahwa Islam masuk dan tersebar ke Indonesia melalui cara-cara paling akomodatif, di antaranya melalui jalur sufistik yang dibawa oleh para pedagang dari Barat (Maghribi) dan ulama-ulama lokal sepulang dari perjalanan ibadah haji.
Eksistensi Islam di Indonesia, tentu saja merasa berhutang budi atas menguatnya akar pengislaman melalui penyebaran ajaran sufi ini. Sehingga hampir tidak ada alasan apapun yang kemudian mengenyampingkan Islam Indonesia sebagai bentukan dari corak “mistisisme” yang sebelumnya telah mengurat-akar dalam alam pikiran masyarakatnya.
Ajaran dan praktik sufisme yang diperkenalkan oleh para penyebar Islam di Nusantara, tentu saja lekat dengan spekulasi-spekulasi tentang nilai kehidupan dan corak dunia fenomena, yang mutlak dan nisbi. Sudah merupakan pokok-pokok umum dalam pemikiran keagamaan di Indonesia di masa pra Islam.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari adanya soal “kesamaan nilai” yang berasal dari tradisi Hindu-Budha, sufisme—yang selanjutnya mewujud dalam beragam kelompok tarekat—memang menjadi ciri khas yang tak dapat diabaikan dari corak keberislaman di Nusantara. Tulisan mengenai perkembangan tarekat di Indonesia—terutama masa-masa peningkatan jumlah pengikutnya—secara apik dan menarik ditemukan dalam buku, “Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia” yang ditulis sejarawan Belanda ahli Islam Indonesia, Martin Van Bruinessen.
Pasang surut keberadaan tarekat yang kerap kali menjadi perhatian penting kolonial, hanyalah dianggap tradisi “sinkretistik” yang lebih banyak mempraktikkan tahayul belaka sehingga bukan merupakan “ancaman” bagi negara.
Padahal, praktik tarekat di Indonesia tentu saja tidak melulu menekankan kesalehan etis Namun dalam beberapa hal, tarekat dapat menjadi suatu kekuatan politik yang cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan terhadap penguasa Batavia akibat intervensi VOC terhadap kekuasaan politik di Banten pernah dipimpin tokoh tarekat ternama, Syek Yusuf Makassar dan kemudian terjadi lagi pemberontakan pada awal abad 19 yang diinisiasi guru sufi Syekh Abdul Karim dari Mekah (Bruinessen: 1992).
Hasil laporan Van Bruinessen ini tentu saja menarik, ketika banyak anggapan soal tarekat yang cenderung dinilai suatu ritual keagamaan dalam bentuk spekulasi-spekulasi mistik-keagamaan, baik itu zikir, pernafasan, latihan-latihan tertentu yang hanya memusatkan pada nilai kesempurnaan manusia, hampir tak ada kaitannya dengan urusan politik.
Sejarawan Belanda, G.W.J Drewes, yang merupakan murid senior Snouck Hurgronje telah terlebih dahulu mengungkapkan bahwa perambahan Islam di kalangan masyarakat Indonesia telah dimulai di akhir abad ketiga belas. Sekalipun dokumentasi yang lengkap mengenai hal tersebut masih teramat minim.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, dokumen-dokumen paling tua yang menyebut soal penguatan aspek mistisisme Islam yang mewujud dalam bentuk tarekat atau sufisme banyak ditemukan dalam dokumentasi di awal akhir abad-16 dan akhir abad-17. Hamzah Fansuri, barangkali tokoh sufi pertama yang memperkenalkan ajaran-ajaran sufismenya melalui serangkaian karya tulis yang menginisiasi tumbuh suburnya gerakan tarekat kemudian di Nusantara.
Hamzah, yang dikenal sebagai tokoh sufi yang menganut aliran “wihdatul wujud” (monisme-eksistensialisme), nampaknya dipandang “ekstrim” oleh muridnya, Syamsuddin as-Sumatrani. Melalui Syamsuddin-lah kemungkinan ajaran-ajaran sufi gurunya “direformasi” dari bentuk mistisisme heterodoks menjadi lebih berpandangan ortodoks yakni menanamkan lebih kuat ke dalam benak orang Indonesia pengetahuan lebih luas tentang pokok-pokok ajaran Islam (syariat) dan rasa hormat lebih banyak terhadap ajaran-ajaran ulama berpaham ortodoks.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, istilah “mistisisme heterodoks” pertama kali disebut oleh Drewes dalam makalahnya, “Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme” yang mungkin mengacu pada model sufisme “campuran” yang menggabungkan berbagai macam paham pemikiran Islam yang melahirkan corak tarekat atau aliran sufisme yang khas.
Pada kenyataannya, perkembangan tarekat di Indonesia—yang kini sudah tergabung dalam suatu wadah sufi internasional—memang tidak hanya menarik bagi para peneliti, tetapi juga kerap “dimanfaatkan” oleh penguasa sebagai bagian dari “dukungan” politik. Praktik keagamaan Islam yang menggabungkan aspek-aspek syariat dan kontemplasi ini, sekalipun tampak jarang muncul ke permukaan, namun tetap dipandang sebagai unsur menentukan terutama dalam setiap kontestasi politik.
Hampir dipastikan, berbagai kelompok tarekat memang seringkali memiliki afiliasi erat dengan NU dibanding ormas Islam lainnya di Indonesia. Tokoh kharismatiknya, Habib Luthfi bin Yahya adalah Rais Aam Jatman, salah satu badan otonom di bawah ormas besar NU.
ADVERTISEMENT
Indonesia, tentu saja memiliki akar sejarah yang sangat kuat mengenai tarekat, sebab corak sufisme ini sesungguhnya yang paling banyak berpengaruh terhadap proses Islamisasi di Nusantara. Bermula dari usaha-usaha perdagangan bertolak dari wilayah Malaya dan Sumatera hingga ke pesisir Jawa, tokoh-tokoh sufi dan tarekat telah berjasa dalam menyebar benih sufisme di areal tanah yang subur beragam praktik keagamaan sebelumnya di Indonesia.
Para pengkaji sejarah Islam Indonesia, tentu akan gagal memahami jika tak menyertakan gerakan tarekat yang hidup bersama realitas keberagamaan masyarakatnya. Maka wajar, jika Indonesia kerap menjadi tuan rumah bagi berbagai perhelatan sufisme internasional, sebab di sinilah tokoh-tokoh sufisme lahir dan dikenal seluruh dunia.
Cukup sulit rasanya memisahkan realitas kesalehan mistik dengan militansi politik—terutama dalam makna yang lebih artifisial—di mana kenyataan corak sufisme belakangan justru lebih “modern” yang selalu saja menghubungkan suatu kesalehan mistik yang bersifat pribadi dan kenyataan-kenyataan sosial-politik yang sulit dihindari.
ADVERTISEMENT
Barangkali yang masih tersisa adalah “simbolisasi” dunia sufisme yang mewujud dalam bentuk “tirakat” atau cara berbusana yang dinilai nyentrik, sisanya bercampur dengan unsur modernitas, baik itu ketokohan, afiliasi dan kecenderungan politik, akomodasionis terhadap kekuasaan, dan nuansa kemewahan duniawi yang sulit dihindari. Sekalipun saya masih meyakini, masih ada sekelompok tarekat yang cenderung menjauhi unsur modernitas dan lebih memegang prinsip-prinsip moralitas, namun tentu saja jumlahnya terlampau sedikit.
Namun demikian, saya semakin memahami, bahwa akar sejarah Islam Indonesia tentu saja “sufistik” (berpandangan asketis-mistis). Bahkan, bukan suatu kebetulan, di mana praktik-praktik tradisi yang kemudian dianggap bid’ah atau khurafat oleh gelombang reformisme Islam pada abad-20, ternyata telah menemukan akarnya dalam bentuk format Islam paling awal yang dipraktikkan di Mekah dan Madinah.
ADVERTISEMENT
Para ulama Nusantara tentu saja mempelajari sufisme dan masuk dalam keanggotaan tarekat yang diajarkan para gurunya selama di Mekah dan terutama Madinah. Sehingga, munculnya gelombang reformis, lebih kental nuansa politis daripada soal aktivitas pemurnian dalam hal keagamaannya.
Selamat berkumpul para tokoh sufi di negeri di mana akar sufisme pernah mendunia dan tetap asketis di tengah godaan kemewahan dunia!