Tahlil dan Hiburan Spiritual

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
21 Januari 2019 11:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Alquran. (Foto: Ayebmahezahdia/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Alquran. (Foto: Ayebmahezahdia/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, hampir setiap malam saya selalu mengikuti acara tahlilan di sekitar rumah mengingat ada saja warga yang kebetulan wafat. Terasa kematian begitu dekat dan bergulir silih berganti secara pasti. Jika dalam sebulan saja ada dua orang yang wafat, maka tahlilan bisa dipastikan hampir setiap malam, mengingat umumnya tradisi ini digelar di hari pertama sampai ketiga setelah itu, digenapkan di hari ketujuh setelah kematian.
ADVERTISEMENT
Tahlilan selain tradisi paling efektif dalam bersedekah, juga menjadi “hiburan” spiritual sebab didalamnya dibacakan Alquran dan zikir tertentu secara bersama-sama. Menghibur melalui tahlilan, tentu saja dapat mengurangi beban kedukaan seseorang, sekaligus bagian dari sebuah perjalanan spiritual bagi yang meyakininya.
Manusia tentu saja bukan sebatas mahluk jasmani yang cenderung memperhatikan kondisi fisiknya, namun lebih dari itu, realitas rohani atau spiritualitas adalah elemen terpenting dalam seluruh kehidupan yang juga butuh hiburan sebagaimana yang dilakukan sisi jasmaninya. Jika otak diisi oleh asupan gizi ilmu melalui belajar dan jasmani diolah sedemikian rupa melalui aktivitas olahraga, maka rohani pun butuh asupan gizi spiritual yang cukup dan salah satu yang paling memungkinkan adalah tahlilan.
ADVERTISEMENT
Rangkaian bacaan doa pilihan dan ayat-ayat tertentu dari kitab suci Alquran, seolah ramuan gizi yang lengkap dan pas, paket siap saji bagi kebutuhan vitamin rohani. Tahlil tentu saja menjadi apresiasi tertinggi seorang muslim terhadap kalimat tauhid, suatu entitas paling radikal dalam ajaran Islam yang memperkokoh keimanan didasarkan atas pendekatan-pendekatan spiritual.
Kalimat tauhid bukan simbol, bukan realitas tekstual, apalagi sekadar bendera. Membaca kalimat tauhid secara berulang-ulang dengan kesungguhan hati dan meyakini kebenarannya, itulah yang dibiasakan dalam sepanjang sejarah tradisi Islam. Hal ini jelas ketika Nabi Muhammad menyatakan, “Tak ada seorang pun yang ketika membaca kalimat tauhid dengan kesungguhan hati dan keyakinan, kecuali Allah haramkan atasnya api neraka”.
Diakui maupun tidak, tahlil ternyata menemukan akar sejarahnya dalam kehidupan Nabi Muhammad, karena memang tahlil merupakan inti terdalam dari ajaran Islam itu sendiri. Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari pernyataan hadis Nabi diatas, terekam secara apik dalam karyanya, “Majmu’ al-Fatawa”, menyebut secara gamblang di mana tahlil dapat membebaskan seseorang yang telah mati dari panasnya api neraka (hallala yakuunu baraa’ah lil mayyit mina an-naar). Bahkan, dalam fatwa selanjutnya ia menjelaskan, jika seseorang membaca tahlil berulang-ulang baik sedikit maupun banyak, lalu dihadiahkan untuk orang meninggal, maka Allah akan menilainya sebagai sebuah manfaat atas upayanya itu.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri meyakini, tradisi tahlilan yang tersebar dalam banyak kebiasaan masyarakat muslim Indonesia, justru memiliki akarnya dalam seluruh jejak tradisi muslim awal. Perkembangan Islam yang sangat cepat melalui berbagai macam cara—termasuk akulturasi budaya atau penaklukan-penaklukan tanpa pertumpahan darah—memungkinkan ajaran Islam tak hanya diterima kalangan bawah, tetapi lebih banyak dilirik kalangan atas.
Tak mungkin ajaran ini diterima masyarakat jika disebarkan melalui peperangan, terlebih di Indonesia. Uniknya, Islam menerobos keyakinan para elitenya waktu itu dan agama ini justru tumbuh subur karena penguasanya memang telah memeluk Islam dan diikuti kemudian oleh rakyatnya secara sukarela.
Mungkin terasa sulit dibayangkan, bagaimana agama Islam begitu mudahnya diterima para penguasa jika yang dimaksud bahwa Islam masuk melalui jalur-jalur perdagangan. Kenyataan bisnis yang bersifat keekomian, akan sangat sulit jika sambil diiringi penyebaran agama dengan tujuan mengubah keyakinan. Maka, hanya dengan cara akulturasi budaya yang paling masuk akal, sehingga Islam kemudian sanggup mendobrak keyakinan para penguasa untuk lebih menerima Islam sebagai agama yang tak mempertentangkan kenyataan tradisi yang telah ada sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Nusantara yang telah lama menganut tradisi Hindu-Budha dengan segala keunikan budayanya, sudah tak asing dengan berbagai aspek spiritual yang dijalaninya. Para raja atau elite masyarakatnya seringkali menjadi sosok kharismatik yang dihormati dan dikagumi karena memiliki seperangkat nilai asketisme dalam wujud ilmu kanuragan dan kesakten yang membedakannya dengan masyarakat biasa pada umumnya. Realitas spiritual inilah yang selanjutnya dimanfaatkan oleh para wali dalam mengembangkan ajaran-ajaran Islam selaras dengan nilai-nilai tradisi asketisme masyarakat, tanpa harus mempertentangkan antara satu dan lainnya.
Memang terasa sulit membayangkan, apa sesungguhnya metode para penyebar (misionaris) Islam ini sehingga Islam benar-benar dapat diterima sebagai ajaran kebajikan yang mencerahkan. Ada benarnya, ketika Azyumardi Azra menyebut dalam disertasinya berjudul “The Origins of lslamic Reformism in Southeast Asia” bahwa Nusantara telah memiliki jaringan keulamaan dengan Mekah-Madinah yang saling terkoneksi dalam tradisi intelektual yang cukup rumit, namun diakui bahwa masing-masing bertukar tradisi dalam kerangka besar jaringan-jaringan ulama Timur Tengah dan Melayu-Nusantara.
ADVERTISEMENT
Mereka dikenal sebagai “ashab al-Jaawiyyiin” yang masing-masing membawa semacam “tradisi kecil” dari wilayahnya, lalu berinteraksi dengan sejumlah tradisi Islam lainnya, sehingga pada akhirnya membentuk “tradisi besar Islam” yang sangat kosmopolit dan tersebar ke berbagai wilayah melalui jaringan keulamaan yang terbangun.
Pengajian bulan Ramadhan (Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
zoom-in-whitePerbesar
Pengajian bulan Ramadhan (Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Tidak menutup kemungkinan, Tahlil menjadi suatu tradisi yang memang terbangun selaras dengan jaringan rumit keulamaan yang telah lama terbentuk bahkan sejak abad 13 dimana mulai munculnya kerajaan Islam di Nusantara. Aktivitas masyarakat yang lekat dengan berbagai nilai tradisi dan budaya yang bernuansa ekstatik dan asketik, sejauh ini hanya mampu didekati oleh kenyataan ajaran Islam dengan model kecenderungan yang sama.
Ajaran Islam dengan corak sufistik, nampaknya paling mungkin diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Indonesia, mengingat ajaran-ajaran tasawuf sarat nilai spiritual akan cocok dengan kenyataan tradisi masyarakat. Memang, tidak semua ajaran tasawuf diadopsi dalam rangka penyebaran agama Islam, namun ternyata para ulama memilih untuk “memadukan” prinsip ajaran tasawuf dan syariat (neo-sufism) sekaligus, agar ajaran Islam mampu “menyesuaikan” dengan berbagai tradisi lokal yang telah lebih dulu hadir.
ADVERTISEMENT
Prinsip neo-Sufism ini dipopulerkan oleh Azyumardi Azra sebagai sebuah perpaduan antara tradisi Islam dan tradisi lokal, tanpa harus membuka pertentangan ideologis di tengah masyarakat yang sudah teguh memegang tradisi dan adat. Neo-Sufism seolah merekonsiliasikan antara tasawuf dan syariat, mereformulasi ulang nilai-nilai penting ajaran Islam dengan meninggalkan sifat ekstatik dan metafisiknya, seraya menggantikannya dengan dengan rumusan-rumusan ortodoksi Islam.
Fenomena tradisi Tahlilan dalam masyarakat, menunjukkan wujud yang sebenarnya dari dua perpaduan sisi tradisi Islam: tasawuf dan syariat. Bahkan tradisi ini tak mungkin lenyap, mengingat Tahlil mampu mengangkat suasana batin lebih dalam, bahkan menggugah aspek-aspek spiritualitas, sebab kalimat tauhid adalah syariat dan cara-cara yang dilakukan dalam kegiatan Tahlil adalah cara tasawuf bagaimana menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada setiap orang.
ADVERTISEMENT