Tradisi Kurban: Upaya Seseorang Lebih Dekat kepada Allah

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2019 14:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Syahirul Alim. Foto: kumpara
zoom-in-whitePerbesar
Syahirul Alim. Foto: kumpara
ADVERTISEMENT
Tradisi kurban dalam sejarah manusia tentu saja telah dimulai sejak zaman agama primitif. Bahkan, kurban di masa Animisme dan Dinamisme dilakukan dalam serangkaian upacara khusus dengan bentuk pengorbanan dari manusia ataupun binatang.
ADVERTISEMENT
Segala sesuatu yang dikurbankan melalui suatu ritual yang sakral, hampir seluruhnya merupakan persembahan manusia kepada Tuhannya. Darah dan daging sering kali menjadi simbol persembahan yang akan “diterima” oleh Dewa Tertinggi (Tuhan/Allah) dan tradisi ini tetap dijalankan hingga saat ini oleh beberapa agama tertentu, khususnya agama Islam.
Setiap tanggal 10 Zulhijah, perayaan sangat sakral dari upacara penyembelihan hewan kurban di pagi hari dijalankan oleh seluruh umat muslim di seluruh dunia.
Tradisi atau ritual keagamaan selalu mengikuti peristiwa-peristiwa kemanusiaan sebelumnya, entah sebagai bentuk keteladanan atau tentu saja mematuhi segala sistem simbol yang menjadi ciri sebuah agama.
Itulah sebabnya, Clifford Geertz pernah mendefinisikan agama sebagai keyakinan atau kepercayaan terhadap sistem simbol-simbol yang meresap dan tahan lama dalam diri manusia. Kekuatan simbol sangat bergantung kepada kebiasaan, tradisi, atau ritual yang terus diabadikan oleh suatu agama.
ADVERTISEMENT
Cara suatu kaum memandang simbol-simbol tersebut pada akhirnya lebih dekat terhadap cara pandang prelogos, atau barangkali “primitif” ketika yang diperkuat hanya simbol-simbolnya saja tidak bergeser ke bentuk substantif dengan kekuatan logos (akal).
Islam, merupakan agama baru--dibanding Yahudi dan Nasrani--tetapi bukan berarti Islam mengabaikan “simbol-simbol” yang juga dipergunakan oleh kedua agama sebelumnya. Ritual pengurbanan kepada Tuhan dalam beragam bentuknya, saya kira juga terdapat dalam ajaran agama Yahudi dan Nasrani.
Bagi Islam, tradisi menyembelih hewan kurban secara massal pada tanggal 10 Zulhijah (Iduladha) tentu saja mengikuti tradisi Nabi Ibrahim yang mungkin hampir tak ada perubahan ketika agama Islam secara definitif muncul di Arab yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Beberapa koreksi memang terjadi dalam ritual Islam, terutama bertambahnya bentuk hewan sembelihan—unta, sapi, atau kerbau—yang jika mengikuti tradisi Ibrahim hanya domba (ghibas) yang dijadikan hewan sembelihan.
Sejumlah sapi kurban di pasar hewan tradisional, Desa Sibreh, Kecamatan, Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (7/8). Foto: ANTARA FOTO/Ampelsa
Sulit untuk dibayangkan, bahwa pertama kali yang harus disembelih oleh Ibrahim atas perintah Tuhan adalah anaknya sendiri, Nabi Ismail. Dalam konteks ini, bentuk pengurbanan manusia yang dipersembahkan kepada Tuhan sudah terjadi dalam tradisi masyarakat jauh sebelum itu.
ADVERTISEMENT
Dalam suatu riwayat disebutkan, Nabi Ibrahim yang telah sangat lama tidak dianugerahi keturunan, beliau bernazar, “jika nanti ia memiliki keturunan, ia rela jika nanti Tuhan memerintahkannya, sekalipun harus menyembelih anaknya sendiri.”
Ada suatu relasi historis yang sangat panjang, di mana kemungkinan dalam kepercayaan primitif menjadikan manusia sebagai “kurban” yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah hal biasa, bahkan mungkin suatu kebanggaan tersendiri. Namun, Islam mengoreksi bahkan menghapusnya dengan menggantikan kurban persembahan dengan hewan tertentu, dengan persyaratan-persyaratan tertentu pula.
Barangkali yang agak lebih dekat kepada masa pra-Islam yang erat kaitannya dengan sejarah kehidupan Nabi Muhammad adalah ketika ayah beliau yang bernama Abdullah memiliki riwayat yang sama dengan kejadian yang menimpa Nabi Ismail, yaitu akan dijadikan persembahan untuk Tuhan.
ADVERTISEMENT
Ibnu Hisyam dalam bukunya, Sirah Nabawiyah, menyebut Abdul Muthalib pernah bernazar jika kaumnya bangsa Quraisy mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidup dan dirinya dikaruniai sepuluh anak, maka salah satu anaknya akan dijadikan kurban persembahan yang akan disembelih dihadapan Kakbah.
Dari sepuluh orang itu diundi, lalu muncul lah nama Abdullah, ayahanda Nabi Muhammad, yang seharusnya dipersembahkan sebagai kurban. Namun desakan dari anggota suku lainnya, akhirnya Abdul Muthalib membatalkannya dan diganti dengan menyembelih sekian ekor unta yang dibagikan dagingnya kepada masyarakat.
Tradisi sembelihan yang khusus dipersembahkan manusia kepada Tuhan, barangkali hanya dalam agama Islam ritual ini tetap diabadikan dan menjadi bagian dari bentuk ibadah sosial yang paling tampak. Ajaran Islam tentu saja melakukan modifikasi tentang berbagai tata caranya, terutama dalam konteks penyembelihannya.
ADVERTISEMENT
Ajarannya yang humanis, mengajak siapapun yang hendak menyembelih agar memberikan perlakuan baik terhadap hewan sembelihannya dengan disebutkan nama Allah ketika hendak disembelih dengan terlebih dahulu menajamkan pisau sembelihan agar mempermudah proses penyembelihan. Sekilas memang tampak kejam bagi para pencinta binatang. Namun di sisi lain, proses penyembelihan yang baik justru tidak menimbulkan rasa sakit bagi binatang yang disembelih, terlebih binatang ini jelas tak mempunyai akal.
Dalam beberapa riwayat hadis, binatang sembelihan yang diperlakukan sangat baik dan disembelih dengan syarat-syarat yang ditetapkan syariat, ia tidak pernah merasakan sakit, sebab Allah telah terlebih dahulu mencabut nyawanya sebelum pisau sembelihan menyentuh lehernya.
Ini tentu saja bukan semangat apologi, namun dapat dibuktikan di mana daging hasil penyembelihan secara baik dan benar sesuai syariat, lebih enak, dan lebih tahan lama jika dikonsumsi manusia.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pun, itulah ritual agama dan hewan sembelihan tentu saja simbol kedekatan manusia dengan Tuhannya. Cocok dengan kata “kurban” yang diambil dari bahasa Arab, “qaraba” yang berarti “dekat” atau “berupaya mendekatkan diri” (qurban).
Dan berkurban sejak zaman primitifnya adalah upaya sungguh-sungguh seseorang untuk lebih dekat kepada Tuhannya yang ditunjukkan melalui ritual simbolik dengan menyembelih binatang ternak.
Terdapat entitas yang sangat penting ketika akan mengurbankan binatang sembelihan, yaitu perasaan ikhlas semata-mata bahwa itu hanyalah persembahan untuk Tuhan. Bukan karena tuntutan sosiologis atau sekadar pemenuhan teologis yang pada akhirnya terjebak pada kondisi membanggakan diri atau pamer seolah-olah dirinya yang paling berhak “dekat” dengan Tuhan.
Maka, ajaran Islam mengatur bahwa sebagian besar daging sembelihan dibagikan kepada masyarakat bukan untuk dikonsumsi sendiri.
Sapi kurban Jokowi dan JK Foto: Kevin Kurnianto/kumparan
Uniknya, fakta belakangan ini menunjukkan mereka yang berkurban selalu saja minta “bagian-bagian” tertentu yang lebih banyak dan permintaannya telah dicatat dalam lembar serah terima antara dirinya dan panitia kurban.
ADVERTISEMENT
Islam mengajarkan nilai humanisme yang begitu tinggi, salah satunya melalui tradisi berkurban yang diperingati setiap tanggal 10 Zulhijah.
Pada hari itu pula, bukan suatu kebetulan, nilai kemanusiaan paling nyata justru hadir dalam ritual haji, di mana setelah jemaah haji wuquf di Arafah, mereka bergerak ke Mina untuk melangsungkan ritual jamarat.
Wuquf sarat nilai humanisme, di mana seluruh umat muslim dari penjuru dunia berkumpul dalam satu titik, menuju arah yang sama, berpakaian sama, dan menahan diri tidak melanggar aturan-aturan kemanusiaan yang dijalaninya selama pelaksanaan rukun haji.
Tepat di saat sebagian besar Muslim tanah air menyembelih hewan kurbannya, para jemaah haji Indonesia sedang melakukan ritual melempar (jumrah) sebagai simbol “membuang” nafsu serakahnya dengan mengorbankan semua keburukannya.
ADVERTISEMENT
Inilah barangkali, sisi lain dari bentuk ontologis, epistemologis, dan aksiologis berkurban yang dipersembahkan hanya semata-mata untuk Tuhan. Selamat Iduladha.