Utak-Atik Pegawai Honorer

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
21 Januari 2020 23:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengingat jumlah pegawai honorer cukup banyak dan tentu saja bisa dua kali lipat dari jumlah PNS yang ada, maka wajar jika utak-atik pegawai honorer sampai saat ini belum menemukan titik temu antara pihak pemerintah, DPR, instansi terkait, dan juga ekspektasi masyarakat. Pelarangan untuk mengangkat pegawai honorer bagi instansi pemerintah berdasarkan perubahan PP No 48 tahun 2005, justru menambah semakin banyak jumlah honorer di seluruh instansi pemerintah. Sekalipun pengangkatan honorer tetap mempertimbangkan beban biaya negara, namun pada kenyataannya perubahan-perubahan nomenklatur seperti Pegawai Tetap (PT) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) cukup menjadi “celah” bagi kebijakan politik para pejabat “lokal” untuk mengangkat para honorer “setara” dengan PNS. Kementrian Agama merupakan instansi pemerintah yang paling banyak memiliki PNS dan juga honorer, sehingga paling kental tarik-menarik kepentingan politik di dalamnya. Ketidakjelasan nasib pegawai honorer hingga saat ini, apakah akan dinaikkan statusnya menjadi PPPK atau dihapus, masih menunggu kebijakan para pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Bukan suatu isapan jempol saya kira, bahwa tenaga honorer justru akan tampak lebih sibuk, bahkan beberapa beban pekerjaan yang kadang berlebih, karena ada sebagian beban kerja seorang PNS “dibagi” dengan beban pegawai honorer. Menariknya, banyak pegawai honorer justru lebih senior dari beberapa PNS yang baru diangkat, tetapi justru mereka menjadi “junior” karena alasan stratifikasi status kepegawaian. Keahlian para honorer justru terabaikan, sekalipun pengalaman kerja mereka bertahun-tahun, tetapi hampir pasti tidak pernah menjadi apapun, tidak mungkin menduduki jabatan strategis apapun, karena lagi-lagi mereka hanyalah honorer bukanlah “pegawai”. Namun demi pekerjaan dan “nilai” bagi kebutuhan hidup, para tenaga honorer di instansi pemerintahan lebih banyak bertahan daripada mereka harus kembali berjuang mencari pekerjaan yang lapangannya semakin hari semakin sempit.
ADVERTISEMENT
Jika ke-PNS-an secara stratifikasi jabatan dapat menanjak setelah 3 atau 4 tahun, maka seorang pegawai honorer yang telah 15 sampai 25 tahun, tetaplah honorer dengan tanpa melekat jabatan apapun bagi dirinya, bahkan tak akan pernah merasakan naik pangkat seperti yang diperoleh para PNS. Maka sangat wajar, jika para pekerja honorer kerap kali menyuarakan aspirasinya hingga di jalanan, demi menaikkan strata mereka dalam hal pekerjaan agar bisa “setara” dengan PNS minimal dengan mempertimbangkan masa kerja. Anehnya, moratorium PNS yang pernah diberlakukan pemerintah, tidak juga membuat nasib para pegawai honorer lebih baik, kecuali perubahan-perubahan nomenklatur tertentu yang mengutak-atik keberadaan pegawai honorer di semua lini pemerintahan. Berbagai berita tentang nasib para honorer yang diangkat media, sejauh ini hanya berhenti menjadi penghias berita utama yang tidak berdampak apapun bagi nasib honorer selanjutnya atau misalnya, menjadi perhatian utama pemerintah untuk diselesaikan persoalannya.
ADVERTISEMENT
Para tenaga honorer sejauh ini memang harus mampu menentukan nasib mereka sendiri agar tidak tergantung pada harapan pengangkatan PNS oleh pemerintah. Itulah sebabnya, ada saja mereka yang nyambi pekerjaan lainnya yang sangat bertolak belakang dengan rutinitas sehari-harinya sebagai pegawai honorer di intansi pemerintahan. Walaupun, mereka lebih banyak disibukkan oleh beban kerja yang cukup berat bahkan seringkali melampaui tupoksinya sendiri, penghasilan mereka menjadi tenaga honorer jauh dari cukup jika dibandingkan dengan PNS yang baru satu bulan diangkat. Inilah barangkali potret buram pegawai honorer dari satu sisi yang justru mengabaikan keahlian dan kinerja mereka dilihat dari ukuran kesejahteraan. Belum lagi soal tarik menarik kepentingan politik antarhonorer yang jelas memperumit konektivitas honorer menuju PNS.
ADVERTISEMENT
Barangkali, harapan para pegawai honorer jika memang tidak memungkinkan diangkat menjadi PNS—karena terbentur aturan pemerintah—paling tidak bahwa pertimbangan atas pengabdian mereka kepada negara yang hampir “tanpa pamrih” dengan beban pekerjaan yang tidak masuk akal, terdapat harapan positif dan jelas status kepegawaian mereka melalui jalur PPPK sebagaimana yang saat ini tengah dibicarakan. Kesepakatan antara pemerintah dengan DPR untuk menghapus status pegawai honorer, pegawai tetap, dan pegawai tidak tetap, menjadi PPPK cukup menjadi harapan baru bagi para pegawai honorer. Semoga kesepakatan ini tidak berhenti dalam koridor “himbauan”, namun tertuang dalam naskah legal yang mengikat dimana tentunya membuka jalan lebar-lebar bagi para pegawai honorer dengan kemampuan dirinya masing-masing secara kompetitif menduduki strata baru di alam birokrasi pemerintahan. Sekalipun saya sendiri meragukan, apakah kompetisi dilakukan dalam suasana profesional dan kreatif ataukah tetap mengikuti ritme dan irama kepentingan politik tertentu, sehingga tetap “tebang pilih” untuk menetapkan si A atau si B untuk diproses secara cepat dan tertutup menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kita tunggu saja bagaimana implementasi kesepakatan ini dalam pelaksanaannya.
ADVERTISEMENT