Wacana Jilbab diantara Kecenderungan "Interpretasi" dan "Ideologisasi"

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
Konten dari Pengguna
4 Februari 2020 12:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba para "pakar tafsir" bermunculan merespon fenomena jilbab yang sejak abad 12 wacana ini sama sekali tak pernah dipolemikkan. Bahkan, memahami jilbab sebagai fenomena tradisi perempuan Arab sejak jaman Jahiliyah tak pernah bermasalah, bahkan perintah Al-Qur'an agar istri-istri Nabi dibedakan secara "kultural" dengan perempuan Arab lainnya, dibatasi oleh simbolisasi jilbab. Perintah Allah kepada Nabi secara khusus kemudian diikuti oleh wanita-wanita beriman untuk berjilbab, memunculkan kaidah "al-'aam ba'da al-khash" (keumuman berlaku setelah hal khusus) menunjukkan upaya reinterpretasi soal kewajiban berjilbab bagi wanita beriman yang dilakukan oleh para ahli tafsir Al-Qur'an.
ADVERTISEMENT
Membaca ulang ayat jilbab, tentu saja erat kaitannya dengan upaya hermeneutik yang memungkinkan setiap orang berbeda dalam memahaminya. Tak ada seorangpun yang boleh mengklaim paling memahami kehendak Tuhan, kecuali Tuhan sendiri dan manusia sekadar mahluk hermeneutis yang secara kognitif telah mewarisi tradisi-tradisi sebagai alat dalam memahami dan menyingkap warisan teks-teks suci yang diyakini kebenarannya.
Sederhana saja, para interpreter atau mufassir jelas telah menguasai sekaligus ilmu tafsir dan ta'wil, dimana yang pertama lebih bernuansa "naql" dan yang kedua lebih berkecenderungan "'aql". Yang dimaksud dengan "naql" tentu saja seperangkat pisau analisis secara epistemologis untuk sanggup menembus kedalaman makna teks, dengan penguasaan atas ilmu-ilmu bahasa, tentang sisi historis turunnya ayat, surat, kisah-kisah, dan tanda-tanda dalam ayat, muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh, 'am-khash, muthlaq- muqayyad serta mujmal dan mufasshal-nya. Setiap mufassir tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu tersebut agar proses ta'wil (aktivitas nalar) tidak serampangan tanpa batas bahkan menanggalkan norma-norma yang disepakati.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan interpretasi terhadap teks suci yang benar tentu saja 'dibatasi' bukan malah memanfaatkan celah kebebasan akal dimana setiap individu atau kelompok pada akhirnya menempatkan ideologinya di atas teks. Cara seperti ini jelas melakukan lompatan dari prinsip ta'wil (reinterpretasi) teks kepada cara "talwin" (ideologisasi) teks secara tendensius. Ideologisasi terhadap pembacaan teks sesungguhnya sedang menyembunyikan kepentingan ideologis sang interpreter dengan anggapan bahwa metodologi interpretasi yang mereka lakukan telah sesuai dan mengikuti standarisasi rasionalitas ilmiah.
Tidak sulit rasanya membaca fenomena para interpreter ideologis-tendensius, terlebih ketika dihadapkan pada wacana jilbab yang terus ditarik masuk dalam ruang-ruang polemik. Lucunya, kelompok ini tampak cenderung melakukan pembelaan-pembelaan ideologis dengan mencari beragam interpretasi yang berdekatan secara "ideologis" dengan mereka atau lebih jauh malah menjustifikasi dengan dalih bahwa tafsir itu relatif, sehingga untuk menyuarakan bahwa "jilbab tidak wajib" bagi wanita muslim merupakan cara memahami teks suci sesuai bentuk manifestasi dari budaya Arab.
ADVERTISEMENT
Padahal, aktivitas ilmiah modern sangat memungkinkan untuk mengumpulkan pendapat para mufassir baik yang pro maupun kontra terlebih dahulu, kemudian melakukan perbandingan (muqaran) lalu secara epistemologis kita dapat menghadirkan suatu wacana baru penuh kesegaran yang konstruktif-produktif dan tentu saja lebih bernilai objektif. Sekalipun wacana jilbab tidak dapat digiring kepada hanya satu kesamaan perspektif, namun dengan melakukan interpretasi ayat tentangnya secara tematik atau lebih jauh mengkajinya dalam lingkaran hermeneutik.
Jika wacana jilbab kita tarik kedalam ruang hermeneutika modern, saya cenderung menggunakan pendekatan hermeneutika Paul Riceour yang cukup kritis dan progresif dalam membedah makna-makna tersembunyi dalam sebuah teks (intensi). Riceour membuat aktivitas hermeneutika "hidup" seiring dengan gerak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menginterpretasikan teks-teks sakral, Riceour menempatkan "iman" sebagai jalan atas pemahaman. Secara terang-terangan ia menyebutkan "kita harus memahami supaya dapat percaya, tetapi kita harus percaya supaya dapat memahami". Teori ini saya sebut sebagai reflektif-dialogis yang memungkinkan "iman" menjadi titik pijak dalam memahami teks suci seperti Al-Qur'an.
ADVERTISEMENT
Sulit memang menjelaskan kedua kalimat teoretis diatas, namun dapat disederhanakan dimana dalam kalimat kedua "kita harus percaya supaya dapat memahami" berarti si penafsir berangkat dari presuposisi yang berasal dari keimanannya yang memungkinkan ia memahami teks-teks sakral. Membaca wacana jilbab dalam ruang "sakralisme teks", tentu saja berangkat dari asumsi yang didasarkan atas kepercayaan bahwa jilbab tentu saja bukan sekadar "simbol kenabian" yang dimunculkan melalui cara berpakaian istri-istri Nabi, namun juga "perintah" secara konotatif untuk membedakan wanita muslim dan non-muslim pada saat itu. Iman akan memahami bahwa konteks ayat jilbab berlaku dalam koridor kewajiban agama terlebih dahulu, bukan sekadar aktivitas budaya yang dikedepankan.
Saya kira aktivitas hermeneutika Riceour cenderung lebih objektif, mengingat lingkaran hermeneutiknya yang cukup menggairahkan. Gagasan Riceour terdiri atas dua hal: Pertama, percaya supaya memahami berarti bahwa iman merupakan presuposisi pemahaman; kedua, memahami supaya percaya berarti bahwa interpretasi membantu orang modern untuk beriman. Intensi ayat jilbab adalah makna iman yang sangat kuat di dalamnya sehingga bagi setiap muslim yang berangkat dari pijakan iman yang kuat, pasti menyatakan dalam presuposisinya bahwa jilbab hanya dapat dipahami melalui iman, bukan akal terlebih sekadar pembuktian keterpaparan "ideologisasi" atau justifikasi klaim "kebenaran". Jadi, kita sekarang lebih mudah membedakan mana yang benar-benar memahami ayat suci dari ruang interpretasi "bebas" dan "terbatas" dan mana yang secara "ideologis" sekadar melakukan justifikasi ayat dalam ruang "ketertutupan" mereka sendiri.
ADVERTISEMENT