Ada Apa dengan Marwah Kampus UNJ?

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
27 Mei 2020 21:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini ada diskusi online Aliansi Alumni Peduli Pendidikan Berintegritas KAMPUS MERDEKA bertajuk "Selamatkan Marwah UNJ Sekarang Juga". Narasumber yang dihadirkan 1) Dr. Cris Kuntadi (Ahli Anti Fraud and Bribery - Mantan BPK dan Irjen Kemenhub), 2) Dra. Retno Listiyarti, M.Si (Alumni UNJ dan Pengamat Pendidikan), 3) Supriyanto Prasaga, M.Hum (Direktur Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial Indonesia) dengan moderator Dr. Achmad Husen, M.Pd.
ADVERTISEMENT
Cukup mencerahkan. Karena Dr. Chris Kuntadi menyuguhkan perbedaan antara korupsi-suap-gratifikasi. Sementara Supriyanto Prasaga menegaskan kasus yang dialami UNJ sangat lemah, apalagi menyeret KPK untuk urusan yang tidak signifikan. Lalu, Retno Listiyarti menyebut tidak ada asap bila tidak ada api maka perlu diberbaiki dari dua sisi (Kemendikud & UNJ) agar tidak mencoreng marwah UNJ sebagai perguruan tinggi negeri. Dan paling menarik pernyatan Ali Muchtar Ngabalin (Alumni S3 UNJ yang juga Staf Ahli KSP) menegaskan prihatin atas kejadian yang menimpa UNJ karena merugikan institusi dan generasi bangsa yang sedang belajar. Dia menyebut kasus ini ada upaya untuk mencederai Rektor UNJ dan UNJ. Maka dia pun siap mewakafkan diri demi nama baik UNJ dan mengajak semua civitas UNJ mengawal kasus ini agar segera selesai. Diskusi ini mulai menegaskan, ada apa dengan marwah kampus UNJ?
Mari kembalikan marwah kampus menjadi lebih baik, di manapun.
ADVERTISEMENT
Nah setelah mengikuti beragam diskusi online (3 kali) dan diskusi via grup WA di berbagai grup. Maka saya pun memberanikan diri untuk menuliskan opini saya terkait berita dan kasus yang mendera UNJ. Sebutlah judulnya “Kok THR-an Jadi Persoalan”. Saya tidak mau ikut campur soal proses hukum yang sedang berlangsung dan memang harus dihormati. Saya juga bukan “orang dalam UNJ” karena saya hanya alumni biasa. Tapi saya, prihatin terhadap UNJ yang tidak pernah kelar dirundung masalah. Dari catatan saya; dari tahun 2017-2018-2019 dan kini 2020 selalu ada masalah. Bila tidak mau belajar, maka bukan tidak mungkin ada lagi oknum yang bikin masalah di tahun 2021. Jadi apa artinya kasus yang mendera UNJ sekarang?
ADVERTISEMENT
1. Apa yang terjadi di UNJ itu adalah persoalan internal UNJ yang gagal mengkonsolidasikan kekuatannya sendiri. Secara internal UNJ ada masalah hingga kasus ini terjadi. Patut dicatat, Irjen Kemendikbud adalah orang UNJ dan pernah mencalonkan diri sebagai Rektor UNJ 2 kali. Memang, THR atau gratifikasi itu dilarang. Lalu kenapa dilakukan? Anggaplah THR sebagai budaya warisan, lha kok keputusan itu ada yang "membocorkan" ke Irjen Kemendikbud – hingga melibatkan KPK – kemudian dikasih ke polisi. Mungkin kasus ini terkait dengan soal “pemilihan rektor”. Sementara nilai uang yang dipersoalkan tergolong “recehan”. Apa iya cuma soal THR-an? Jangan-jangan ada sentimen personal. Ya sayang saja, bila cuma urusan ambisi “kekuasaan” personal lalu mengorbankan institusi UNJ bahkan KPK dan kementerian. Biar bagaimanapun, UNJ itu tempat cari makan ribuan civitasnya kan. Lalu, bagaimana saya harus percaya kasus ini alamiah dan tidak ada kepentingan? Lalu siapa yang bermain dan kenapa kampus UNJ yang dikotori? Bolehlah saya menyebut ini “drama internal” yang akhirnya jadi “tontonan publik”.
ADVERTISEMENT
2. Patut dicatat dalam kasus ini, inisiatif pemberian THR adalah murni inisiatif UNJ. Bukan ada permintaan dari Kemendikbud (menurut press release UNJ). Jadi pihak eksternal itu tidak tahu apa-apa malah terseret urusan UNJ. Di sisi lain, apakah Irjen kemendikbud sudah melakukan pembinaan terhadap UNJ bila ada dalam kewenangannya. KPK pun sudah bekerja di luar mekanisme-nya. Lalu, kenapa Irjen dan KPK tidak melakukan upaya “pencegahan” ketimbang “penindakan” yang berbau politis.
3. Problem makin semrawut. Akibat pemberitaan berbagai versi menguak ke publik. Lalu berkembang tafsir dan rumor. Semua diserahkan ke publik tanpa ada penjelasan resmi berhari-hari. Dalam hal ini sangat jelas, Humas UNJ pun lemah dalam mengkomunikasikan ke publik soal masalahnya sendiri. Responya lambat. Mungkin ada persoalan internal di UNJ juga soal ini. Secara ilmu Public Relations, posisi UNJ sudah lemah maka harus mampu menjelaskan agar "apa adanya" dan netral. Maka sudah saatnya juga sekarang, UNJ harus punya juru bicara (jubir) atau menggunakan PR Agency untuk hal-hal semacam ini. tentu ada biayanya. Serahkan suatu urusan kepada ahlinya. Agar lebih responsif, transparan dan terlihat professional-nya.
ADVERTISEMENT
4. Soal marwah kampus UNJ. Nah ini juga menarik bila hanya sebatas ada di pikiran. Karena marwah itu artinya kehormatan, nama baik dan harga diri. Maka marwah itu harus dilakukan oleh semua elemen kampus (civitas akademika di dalam dan alumninya). Siapapun, tanpa terkecuali harus menjaga kehormatan kampusnya sendiri. Tapi sayang, bila perilaku segelintir orang malah justru berkehendak agar kehormatan kampusnya sendiri ternodai. Ini penting karena kampus itu kawah candradimuka pendidikan bagi penerus bangsa. Marwah kampus itu hanya bisa terjadi bila kampus 1) berorientasi pada kualitas dan 2) mampu menciptakan keadaan yang utuh dan sejuk. Sehingga kampus jadi makin wibawa dan makin jujur. Sikap ilmiah ada, tradisi akademik terpelihara. Marwah kampus itu cirinya scientifict attitude (perilaku ilmuwan) yang objektif dan professional atas kepentingan institusi, bukan sebaliknya. Nah, sudahkah UNJ seperti itu?
ADVERTISEMENT
Apa yang saya mau bilang dengan tulisan ini?
Sebagai alumni yang awam, saya mau katakan. Bahwa UNJ itu lembaga pendidikan harus terbebas dari kepentingan personal. Maka kepentingan institusi harus ditempatkan di atas segalanya. Bukan memaksa kepentingan personal lalu mengotori "rumah sendiri". Sebagai perguruan tinggi, UNJ harus terus menerus melakukan pembenahan terhadap masalah internal agar nama baik dan reputasinya menuju ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya. Janganlah “urusan internal” dibikin ramai dan gaduh hingga mengundang tanya “orang luar”.
Dan terakhir, saya jadi belajar dari sini. Bahwa kampus itu ternyata tidak steril dari kepentingan personal. Maka di kampus, tidak cukup hanya “baik dan pintar” tapi harus juga “peka”. Sehingga akhlak tetap ditempatkan di atas ilmu, bahkan harta dan tahta sekalipun. Karena apapun dan jadi apapun tanpa akhlak (kata Mas Didi Kempot) jadi ambyar. Kampus merdeka itu ambyar bila THR-an jadi persoalan. Kagak ada yang lain apa?
ADVERTISEMENT
Di manapun, jangan jadikan kampus ambyar. Kini saatnya saling memaafkan dan memperkuat persatuan di dalam UNJ sendiri. Dan ambil hikmahnya atas apa yang terjadi …. Selamatkan UNJ @Maaf ini hanya opini saya. #SaveUNJ