Anda Bertanggung Jawab Kembalikan Sikap Respek

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
21 Januari 2020 5:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Respek itu rasa hormat.
Anehnya, justru di era digital seperti sekarang, sikap respek makin langka. Makin banyak orang yang merasa hebat. Di saat yang sama, ia merendahkan orang lain. Akhirnya, jadi tidak respek.
ADVERTISEMENT
Zaman memang boleh canggih. Semuanya serba digital. Teknologi sudah ada di genggaman tangan. Tapi sayang, justru makin banyak orang yang sibuk dengan urusannya sendiri. Persis seperti orang yang duduk bareng ber-empat. Tapi semuanya sedang main gawai. Duduk berdekatan tapi tidak ada obrolan. Semuanya main gawai. Diajak ngobrol malah main gawai, tanda sikap respek sudah hilang.
Musim banjir datang. Bukannya cari solusi malah saling berbantahan. Korban banjir hanya dijadikan tontonan. Tanda sikap respek kian terkikis. Banyak orang mengeluh tapi sembari pamer. Apalagi di media sosial, segala urusan dijadikan ajang saling serang saling menyalahkan. Kebencian yang tidak berkesudahan. Sekalipun untuk hal-hal yang sebetulnya tak perlu. Masyarakat yang sudah tidak punya sikap respek.
ADVERTISEMENT
Bila mau jujur, sikap respek itulah “pekerjaan rumah” terbesar masyarakat dan bangsa ini. Respek terhadap pemimpinnya. Respek terhadap keluarganya. Respek terhadap orang lain membutuhkan uluran tangan. Respek terhadap teman sendiri. Sikap respek yang kian hilang; tergerus zaman yang kian mengawang.
Respek, sebuah sikap yang diikuti perilaku untuk saling menghormati, saling menghargai.
Respek terhadap kaum buta aksara
Hari ini, mungkin respek hanya jadi kata yang mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Makin tidak peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Respek yang hilang akhirnya berujung pada individualis, egois, opportunis, dan is-is lainnya.
Piplres sudah berakhir. Tapi mereka masih saling mempertontonkan kebencian. Apa saja dijadikan “bahan ejekan” untuk berseteru. Saling mengumbar beda pendapat, saling hujat, dan saling bermusuhan. Bila tidak bisa sama, kenapa tidak boleh beda? Sungguh, itu semua terjadi akibat kehilangan sikap respek. Sikap menghormati dan menghargai yang telah pergi, entah kemana?
ADVERTISEMENT
Katanya dari kecil dibesarkan oleh kalimat sakti “jika ingin dihormati, maka hormatilah dulu orang lain.” Jika ingin dihargai, hargailah dulu orang lain. Kata-kata yang indah dan penuh makna hanya dijadikan “omongan” bukan “tindakan”. Respek kini hanya sebuah omong kosong.
Banyak orang lupa. Uang, harta, jabatan, pangkat, kekayaan bahakan kekuasaan. Sama sekali tidak berguna bila tidak diimbangi sikap respek. Untuk apa punya uang bila hanya menyakiti orang miskin. Untuk apa punya jabatan bila hanya menzolimi orang lain. Bahkan untuk apa punya kekuasan bila digunakan bukan untuk kemaslahatan.
Les Giblin yang bilang, “Anda tidak akan mampu membuat orang lain merasa penting. Bila diam-diam Anda merasa bahwa orang lain itu bukan siapa-siapa”.
ADVERTISEMENT
Maka agenda besarnya ke depan. Kita boleh jadi apa saja, jadi siapapun. Asal tidak kehilangan sikap respek. Karena respek yang bisa menyelamatkan orang lain. Dari keterpurukan, kebencian bahkan kemarahan. Sungguh, respek jauh melebihi dari sekadar simpati.
Life is short, and we should respect every moment of it” kata Orhan Pamuk. Hidup itu singkat, dan kita harus menghargai setiap momennya. Maka hari ini, siapapun, bertanggung jawab untuk mengembalikan sikap respek yang dulu pernah ada. #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi