Dana Operasional Taman Bacaan Mengenaskan; 82% Swadaya 12% Donatur 0% Pemerintah

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
28 Maret 2020 17:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengenaskan kondisi taman bacaan di Indonesia. Mengapa?
Sekalipun gerakan literasi nasional (GLN) menjadi program pemerintah, namun faktanya dana operasional taman bacaan 82% berasal dari swadaya pendiri/pengelola taman bacaan, 18% dari donator, dan andil pemerintah nol. Maka wajar, banyak taman bacaan di Indonesia yang seakan “mati suri”. Sulit berkembang karena tidak adanya dukungan biaya atau anggaran dari pihak eksternal.
ADVERTISEMENT
Minimnya dana operasional untuk menjalankan aktivitas taman bacaan, harus diakui menjadi kendala besar. Karena tanpa dana, maka sulit taman bacaan untuk dikelola dengan baik. Bahkan anggaran untuk membeli buku pun tidak ada. Apalagi sekadar “uang kopi” bagi pegiat literasi yang membimbing aktivitas membaca anak-anak di taman bacaan. Berangkat dari realitas itulah, pihak pemerintah daerah atau donatur perlu ikut peduli terhadap “kebertahanan” eksistensi taman bacaan di Indonesia.
Itulah simpulan Survei Tata Kelola Taman Bacaan di Indonesia yang dilakukan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka pada tahun 2019 lalu. Survei ini diikuti oleh 54 pegiat literasi dari 33 lokasi di Indonesia, seperti dari Bogor -- Sukoharjo- Banyuwangi- Sumba Tengah -- Jambi -- Purwokerto - Nias Selatan - Buru Selatan - Sorong Selatan - Kab. Gowa -- Asahan - Padang Panjang -- Rappang -- Cirebon - Seram - Mamuju Tengah - Tapanuli Utara -- Matawae - Landak - Manggarai Barat -- Grobogan -- Wonogiri - Buton Tengah - Kota Baru -- Boyolali - Aceh Barat - Probolinggo -- Purworejo -- Malang - Semarang - Lampung Timur -- Tanggamus – Jeneponto – Sumba Barat.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri. Taman bacaan sebagai aktivitas sosial yang bersifat nonformal pun membutuhkan dana operasional. Baik untuk biaya listrik, honor alakadarnya petugas baca, dan membeli buku koleksi taman bacaan. Tanpa dukungan dana atau anggaran, bisa dipastikan taman bacaan menjadi tidak menarik bagi anak-anak di lokasinya berada. Maka sekali lagi, kepedulian pemerintah dan donatur/korporasi terhadap aktivitas taman bacaan harus digerakkan.
“Survei ini membuktikan, taman bacaan sulit berkembang dan diminati anak-anak karena tidak adanya dukungan dana operasional. Sumbernya hanya dari kantong pendiri atau donatur. Maka pemerintah atau korporasi harus ikut peduli. Bila tidak akan banyak taman bacaan yang mati. Kasihan pegiat literasi di Indonesia” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
ADVERTISEMENT
Survei Taman Bacaan 2019; Dana Operasional Taman Bacaan mengenaskan
Di tengah gempuran era digital, harusnya pemerintah dan masyarakat mendukung gerakan untuk “membaca secara manual” di kalangan anak-anak usia sekolah. Agar tercipta tradisi baca dan budaya literasi yang memadai. Karena budaya literasi adalah aspek yang paling penting dalam membentuk peradaban masyarakat. Maraknya hoaks dan ujaran kebencian seperti sekarang, harus diakui akibat budaya literasi masyarakat atau pengguna media sosial yang rendah. Maka salah satu solusinya adlaah menghidupkan tradisi membaca dan budaya literasi di masyarakat.
TBM Lentera Pustaka agak beruntung. Karena sejak berdiri tahun 2017, tiap tahun selalu melibatkan CSR korporasi sebagai sponsor. Sehingga biaya operasional dan kebutuhan membeli buku baru tetap berjalan setiap bulan. Bahkan 2 petugas baca yang “buka tutup warung taman bacaan” pun diberi honor walau tidak besar. Bahkan dengan mengembangkan konsep “TBM Edutainment”, taman bacaan yang di Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari di Kaki Gunung Salak Bogor saat ini memiliki 60 anak pembaca aktif, yang rutin membaca 3 kali seminggu. Dan rata-rata setiap anak mampu “melahap” 5-10 buku per minggu. Aktivitas di TBM Lentera Pustaka pun didukung oleh puluhan relawan mahasiswa dan individu yang rutin mengabdi setiap 2 mingguan. Melalui ciri-ciri: 1) salam literasi, 2) doa literasi, 3) senam literasi, 4) membaca bersuara, 4) laboratorium baca, 5) event bulanan, dan 6) jajanan kampung gratis, TBM Lentera Pustaka berkomitmen untuk terus menegakkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah di kampung. Agar tidak ada anak yang putus sekolah.
ADVERTISEMENT
“Sebagai pegiat literasi, saya kelola TBM Lentera Pustaka ini dengan cara kreatif dan menyenangkan. Agar anak-anak senang berada di taman bacaan. Di sini tersedia wifi gratis tiap sabtu dan minggu dan ada kebun baca untuk membaca di alam terbuka” tambah Syarifudin Yunus, yang berprofesi sebagai Dosen Unindra dan kandidat Doktor Taman Bacaan dari S3 Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Universitas Pakuan.
Mau tidak mau, pemerintah dan korporasi di Indonesia harus ikut peduli terhadap aktivitas taman bacaan. Demi masa depan anak-anak Indonesia. Agar taman bacaan tidak sepi lagi … Salam Literasi! #SurveiTamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi
TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak