Guru Mengajar, Murid Menghajar

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
4 Februari 2018 14:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penganiayaan  (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penganiayaan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Duka pilu menyayat hati. Kematian guru Budi akibat dihajar muridnya di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura bukan hanya duka. Tapi tragedi pendidikan yang sangat-sangat serius. Bagaimana bisa? Seorang murid “tidak terima” ditegur guru di kelas. Lalu menghajar gurunya hingga menjadi sebab kematian.
ADVERTISEMENT
Jika Anda guru, jangan takut dan teruslah mendidik anak-anak yang “kalah dari peradaban baik” itu sekalipun ajal tiba. Jika Anda orang tua, selama ini Anda salah jika berpikir pendidikan adalah tempat menyerahkan tanggung jawab rumah kepada sekolah. Karena semahal atau segratis apapun, bukan tanda bebasnya orang tua terhadap pendidikan anak. Jika Anda murid, Anda boleh kaya boleh berbadan besar. Tapi itu bukan alasan untuk menghajar guru. Belajar dan sekolah itu untuk menguatkan karakter murid yang rapuh akibat ditelan peradaban zaman now.
Banyak orang sering salah sangka. Memvonis pendidikan adalah tanggung jawab guru, tanggung jawab sekolah. Lalu menganggap “uang” adalah segalanya dalam pendidikan. Kita semua salah dalam mengartikan pendidikan.
Ketika guru mengajar, murid menghajar.
ADVERTISEMENT
Mengajar itu landasannya “kebaikan, kelembutan”. Menghajar itu basisnya “ketidaksenangan, kebencian, kekerasan.” Mengajar itu bisa dilakukan semua pihak. Bukan hanya guru, bukan hanya dosen. Tapi siapapun bisa mengajar untuk orang-orang di dekatnya; mengajarkan kebaikan, kelembutan. Tapi sebaliknya, sekali Anda bersahabat dengan ketidaksenangan, kebencian maka di situ akan terjadi kekerasan. Apapun bentuknya.
Mengajar sangat mudah menjadi menghajar.
Ketika belajar dianggap sebagai “beban”. Belajar pasti jadi beban bagi guru yang tidak bisa mengajar. Belajar pun beban bagi murid yang tidak senang. Belajar itu perbuatan untuk memampukan satu sama lainnya. Belajar bukan perbuatan tidak menyenangkan, apalagi menebar kebencian.
Pendidikan di manapun. Belajar hingga kapanpun.
Bukan untuk puas karena anak-anaknya pintar. Bukan untuk meraih nilai yang tinggi. Bukan pula agar mampu menjawab pertanyaan yang sulit. Tapi pendidikan atau belajar. Adalah untuk “mempertahankan semangat berprestasi, semangat kebaikan pada setiap orang” agar mampu bertahan hidup dalam beragam tantangan.
ADVERTISEMENT
Karena itu, hari ini sangat sangat penting semua pihak kembali ke pendidikan karakter.
Berat dan ketatnya hidup di zaman now, sungguh hanya bisa “dilawan” oleh manusia Indonesia yang memiliki karakter. Mereka yang berpikir positif, optimistik, produktif, dan mampu berkompetisi dengan mengedepankan akhlak dan budi pekerti yang baik. Sekolah bahkan rumah, bukanlah tempat untuk membanggakan nilai akademis yang tinggi. Namun kawasan untuk membangun karakter murid yang berkualitas, baik lagi benar.
Pendidikan karakter itu tidak hanya di sekolah. Tapi juga di rumah. Bukan hanya guru dan murid, tapi juga orang tua. Belajar dari kematian Guru Budi di Sampang Madura, kini saatnya dunia pendidikan “kembali ke khitah” untuk memprioritaskan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sangat mengharamkan: 1) adanya perilaku kekerasan dalam belajar, apapun bentuknya dan dari siapapun, 2) tumbuhnya paham radikalisme dan intoleransi sekecil apapun, dan 3) terjadinya plagiarisme dan pelecehan nilai-nilai ilmiah di manapun dan oleh siapapun.
ADVERTISEMENT
Dan sangat penting untuk pendidikan hari ini. Tidak boleh ada sama sekali engaruh dan kontaminasi politik terhadap dunia pendidikan. Tidak boleh ada “permainan kotor” politik mewabah di sekolah atau kampus. Pilkada atau Pilpres yang marak dengan politik kebencian, caci-maki, dan fitnah harus dipastikan tidak boleh “masuk” ke sekolah atau kampus.
Belajar dari kasus kamatian Guru Budi di Sampang Madura.
Ketika guru mengajar, tidak boleh ada murid menghajar. Atau sebaliknya. Karena belajar, hakikatnya bukan sedang berbagi kepusingan dan tidak perlu menjelaskan kerumitan. Belajar adalah menebar kemudahan.
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, dulu, selalu mengajar dengan keindahan. Ia tidak menentang secara tajam perbedaan, bahkan kepercayaan. Tidak pula menentang adat-istiadat yang berlaku. Ia hanya memperlihatkan kaindahan dan ketinggian ajaran-ajaran yang disebarkannya; mengajar dengan ramah, sopan, dan berbudi bahasa. Maka banyak anak negeri tertarik dan senang pada cara mengajarnya. Karena mengajar, kita tidak disuruh untuk menebang hutan, tapi untuk mengairi gurun.
ADVERTISEMENT
Kembalilah ke pendidikan karakter. Agar tidak ada lagi para guru atau para murid yang mengalami kisah tragis seperti Guru Budi. Kasihan sekali dunia pendidikan kita. Karena sudah terlalu banyak diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Tapi di saat yang sama, kita mengabaikan arti penting pendidikan karakter.
Duka Guru Budi; matinya pendidikan karakter di negeri ini. Praktik pendidikan hari ini, sungguh terlalu sedikit membahas dan mengajarkan “apa dan bagaimana karakter anak yang harus dimiliki agar tetap baik?”. Praktik pendidikan tidak lagi bertumpu pada karakter, tapi terlalu membanggakan otak. Sangat sulit buat pendidikan, bila belajar pada akhirnya “meninggalkan” karakter manusia seperti yang seharusnya.
Belajarlah terus di setiap waktu. Agar batu nisan dan kebaikan menjadi ijazah kita. #SaveGuruIndonesia #BelajarBaik
ADVERTISEMENT