Filosofi Jamu: Jangan Berharap pada Manusia

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
7 September 2019 20:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jamu Kunyit Asam. Foto: Flickr/Leni Suryani 13
zoom-in-whitePerbesar
Jamu Kunyit Asam. Foto: Flickr/Leni Suryani 13
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak orang berkerumun, ramai sekali. Ada apa? Ternyata, ada tukang jamu pinggir jalan. Jamu gerobak yang selalu ramai saat bakda magrib hingga larut malam pukul 23.00 WIB. Hampir satu setengah bulan ini.
ADVERTISEMENT
Saya pun seminggu dua kali ikut antre dan menjadi bagian kaum penikmat jamu. Aneh, jamu itu pahit. Tetapi, kok, disenangi? Bukankah manusia zaman now justru menghina dari kepahitan?
Sungguh, tak perlu ada lagi diskusi, apalagi seminar, soal khasiat jamu bagi kesehatan. Jamu memang pahit tetapi menyehatkan, begitu kata nenek saya dulu. Jamu pun, suka tidak suka, telah jadi warisan nenek moyang yang paling mujarab hingga kini. Jamu, tradisi yang sulit dibantah.
Jamu itu pahit, Jenderal.
Begitu kata kompeni dulu. Saking pahitnya, tidak banyak orang yang mau menenggaknya. Walau mereka tahu khasiat dan manfaatnya. Memang betul, sesuatu yang pahit sekalipun bermanfaat jarang ada orang yang menyukainya. Kadang kita lupa, untuk sehat itu memang butuh yang pahit.
ADVERTISEMENT
Jamu, persis seperti hidup banyak orang. Seberapa pahit hidup mereka, toh, harus tetap dijalani. Karena pahit itu keadaan, bukan hasil. Bahkan kadang, pahit berubah menjadi sifat. Sifat yang kamuflase, terkesan baik padahal belis. Sifat manusia yang tidak seperti aslinya. Pahit dibilang manis, dan sebaliknya.
Namun sebagian orang tidak begitu. Pahit dipandang sebagai ujian sekaligus jalan. Bahkan pahit bisa jadi sesuatu yang harus dicari. Keadaan pahit itu yang bikin keras. Tidak memanjakan diri apalagi bergantung kepada orang lain. Apalagi bergantung pada pekerjaan atau perusahaan.
Pahit, kadang hanya alat agar kita lebih 'keras' dalam bersikap, dalam berjuang, pun dalam memegang prinsip. Keras terhadap hal-hal yang tidak perlu ditoleransi. Keras terhadap cara-cara kompeni dalam menjajah. Keras terhadap lakon-lakon culas, atas nama kolaborasi sekalipun.
ADVERTISEMENT
Jamu memang pahit. Namun menyehatkan. Persis seperti orang yang mengaji, tadarus, salat di masjid. Jarang orang mau melakukannya karena dianggap pahit. Menyantuni anak yatim, mengajar kaum buta huruf, dianggap pahit. Padahal, manfaatnya luar biasa.
Entah kenapa, mereka lebih memilih nongkrong di kafe-kafe atau ikutan komunitas sosialita. Hanya untuk eksistensi dan status sosial sesaat. Itulah filosofi jamu, pahit tapi menyehatkan.
Maka biarkanlah. Jangan gubris kaum yang tengah dilanda cinta sesaat. Biarkan mereka larut dalam mimpi manis yang kamuflastis. Toh, esok mereka akan menangis di kala berada di jalan pahit yang diciptakan mereka sendiri.
Ketahuilah, sesempurna apa pun jamu yang kalian buat, jamu tetap jamu, yang selalu punya sisi pahit yang sulit disembunyikan. Persis, seperti perjalanan hidup manusia. Selalu ada sisi pahit.
ADVERTISEMENT
Pahit memang bukan untuk dihindari. Pahit pun bukan untuk dijauhi. Tetapi pahit, soal cara kita bersikap. Sabar juga dianggap pahit. Tetapi itu menyehatkan.
Dalam filosofi jamu. Ada ajaran, pahit itu makin nyata tatkala "berharap kepada manusia". Maka berbaliklah, untuk berharap hanya pada-Nya. Agar hidup lebih banyak manis daripada pahit. #TGS