Filosofi Nrimo, Bersahabat dengan Realitas

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
6 Februari 2021 8:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat pandemi COVID-19, PSBB ketat diterapkan. Semuanya disuruh dari rumah saja. Kuliah dari rumah, kerja dari rumah, belajar pun di rumah. Ditambah wajib pakai masker, cuci tangan, dan jauhi kerumunan. Banyak orang sudah bosan, lalu stres. Semua dbatasi akibat COVID-19.
ADVERTISEMENT
Hari ini, bisa jadi banyak orang sulit menerima kenyataan. Gagal berteman dengan realitas. Tidak bisa Terima segala hal yang tidak sesuai dengan harapannya. Lalu stres dan mengeluh sehari-hari. Obsesinya terlalu tinggi, daya tolaknya pun kuat. Itulah yang disebut “ogah nrimo”, gagal menerima keadaan.
Menerima alias nrimo itu sikap dan perilaku yang kian langka. Apalagi bila dicampur-aduk dengan logika dan emosi, makin sulit manusia menerima. Bahwa ada orang benci sulit meneima. Ada kawan sukses sulit diterima. Ada orang yang tidak suka gagal diterima. Bahkan COVID-19 sudah mau ulang tahun ke-1 pun gundah gulana. Bukankah semua yang terjadi pada kita sudah ada dalam skenario-Nya?
Maka mulailah menerima atau nrimo keadaan. Apa pun kondisinya.
ADVERTISEMENT
Sikap "nrimo" berarti ikhlas “menerima” realitas atau kenyataan. Karena harapan kadang berbeda dengan kenyataan. Karena tidak semua yang kita pikir baik, itu baik juga buat orang lain. Karena nrimo menjadikan kita lebih sehat, leih legowo menerima realitas.
Keadaan seperti apa pun, sungguh tergantung pada niatnya. Ada yang niatnya baik, ada yag niatnya buruk. Semua tergantung pada niatnya masing-masing. Toh pada akhirnya, si manusia itu pula yangakan tanggung akibatnya. Karena tidak ada perbuatan sekecil apapun yang tidak ada akibatnya. Positif atau negatif, pasti sesuatu dengan niatnya. Maka terimalah.
Bila ada yang belum bisa menerima. Atau tidak "nrimo" realitas. Bisa jadi, mereka sedang hidup dalam harapan. Hidup dalam mimpun hingga sulit menerima kenyataan. Karena nrimo hanya dimiliki mereka yang berjiwa besar. Itulah bukti, bahwa sikap menerima itu istimewa. Karena tidak semua orang bisa "nrimo".
Filosofi nrimo, cara bersahabat dengan realitas
Menerima alias nrimo. Artinya, bila tidak sama maka jangan dilarang beda. Karena setiap kepala itu berbeda. Apa yang kita miliki hari ini sudah pantas untuk kita. Apa yang dicapai orang lain pun sudah pantas untuk mereka, Maka tidak usah berjuang untuk sama. Tapi berjuanglah untuk menerima keadaan.
ADVERTISEMENT
Jadi, lebih baik menerima realitas daripada memperkuat daya tolak. Agar energi tidak habis untuk hal-hal yang negatif, apalagi memupuk kebencian yang tidak pernah berakhir.
Zaman now, kadang aneh. Sekolah makin tinggi tapi makin tidak bisa nrimo. Status sosial makin tinggi tapi makin gebyah uyah sulit menerima. Beda pendapat tidak boleh, beda sudut pandang dimusuhi. Makin banyak orang-orang yang sulit nrimo.
Ada istilah “nrimo ing pandum”, artinya menerima dengan legowo.
Artinya, berserah diri terhadap apa yang dianugerahkan Allah. Soal apa pun, untuk apa pun. Seperti cerita tetangga saya. Ia baru saja kehilangan kedua anaknya. Anak pertamanya, meninggal dunia akibat sakit 2 tahun lalu. Selang setahun kemudian. Anak keduanya pun dipanggil Illahi karena tertabrak di jalan saat sedang bermain. Sedih banget. Hebatnya, tetangga saya tetap tegar dan mampu menutupi rasa dukanya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Nrimo sekali. Lapang dada dan menerima kenyataan. Tanpa perlu menyalahkan yang menabrak, apalagi menyalahkan Tuhan. Saat saya ucapkan ikut berduka cita, lalu ia menjawab, “Terima kasih Pak. Anak saya cuma titipan Allah. Kalau diambil sama yang nitip, ya tidak apa-apa. Saya nrimo”.
ADVERTISEMENT
Menerima atau nrimo itu bukan pasrah.
Tapi ada usaha dan ikhtiar keras lalu tetap berdoa. Selebihnya biarkan Allah yang menentukan hasilnya. Karena semua yang terjadi pasti atas kehendak-Nya.
Nrimo atau menerima. Agar mampu bersahabat dengan realitas. Dan selalu berpihak pada perbuatan baik. Lalu, ubah niat baik jadi aksi nyata. Karena baik itu harus dieksekusi, bukan jadi bahan diskusi. Jadilah diri sendiri, tidak perlu jadi orang lain. Karena anugerah itu ada di diri sendiri, bukan di orang lain.
Agar kita tidak lupa. Bahwa dari sekian banyak pikiran dan rencana hebat manusia. Pada akhirnya, pilihan terbaik adalah sikap nrimo, menerima apa pun yang ada. Sungguh, tidak ada kata yang lebih indah selain “menerima keadaan”. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #KampanyeLiterasi
ADVERTISEMENT