Gila Pengaruh, Gejala Manusia Tidak Literat

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
29 Juli 2021 8:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Zaman boleh maju, boleh serba digital. Tapi faktanya, kian banyak orang yang pengen mengatur hidup orang lain. Bila perlu, orang lain di bawah kendalinya, di bawah kekuasaannya. Sebut saja, manusia yang gila pengaruh. Maka apa saja dilakukannya. Asal bisa jadi orang berpengaruh. Tapi sayang, orang itu masih takut sama virus Covid-19.
ADVERTISEMENT
Orang-orang gila pengaruh. Lalu, merasa berkuasa atas orang lain. Hobi memberi tahu orang lain tanpa ditanya. Tapi giliran di medsos, berteriak seolah jadi korban, seperti orang baik. Tapi di dunia nyata, semuanya bertolak belakang. Gambarnya tidak seindah aslinya. Manusia gila pengaruh itu tidak punya prestasi bahkan tidak bisa apa-apa. Tapi perilakunya sering ngotot untuk membuktikan kepintarannya. Agar mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Penting banget kali ya.
Belum punya kekuasaan sudah bertindak sesuka hati. Kerjanya hanya mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan kesalahan negara dan pemimpinnya pun bisa jadi alat untuk mem-bully. Belum apa-apa sudah ingin melukai orang lain. Pikirannya buruk, sikapnya gamang, dan perilakunya tidak berkualitas. Merasa benar sendiri, sementara semua orang lain salah. Maka wajar ada pepatah “belum berkuku hendak mencubit”.
ADVERTISEMENT
Belum apa-apa sudah bertindak sesuka hati. Belum ada kontribusi sudah teriak berbuat ini berbuat itu. Tidak ada manfaatnya tapi merasa paling berguna di mata orang lain. Manusia yang lupa. Bahwa dia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa di muka bumi ini.
Belum berkuku hendak mencubit.
Mereka yang kerjanya mau menyalahkan tanpa mau disalahkan. Berani mengkritik tapi tidak mau dikritik. Gemar menghakimi tapi tidak mau dihakimi. Ingin jadi orang benar tapi caranya mengumpulkan kesalahan orang lain. Pikirannya rancu, perilakunya keliru. Manusia yang tekun dan rajin memperjuangkan pikiran yang tidak sepenuhnya benar. Sangat subjektif dan terlalu gila pengaruh. Itulah realitas sebagian orang di era digital ini.
Gila pengaruh, fenomena manusia tidak literat kian marak
Entah kenapa? Hari ini banyak orang gemar “tidur bareng” dengan ketakutan, keraguan, kesalahan, kebencian hingga takhayul. Di mata mereka, “kebaikan nyata” dianggap nisbi. Bila bertindak baik pun hanya dijadikan objek nafsu dan selera semata. Untuk publikasi di media sosial. Setiap hari, mereka berjuang mati-matian untuk kepentingannya sendiri. Sebut saja, manusia-manusia nothing.
ADVERTISEMENT
Mungkin ke depan, manusia gila pengaruh akan kian marak.
Selaian egois dan individualis, mereka hidup dalam nafsu. Iya nafsu, yang ada di antara naluri dan akal sehat. Saat nafsu bersemayam, maka naluri hilang dan akal sehat pun bersembunyi. Maka ketika naluri dan akal bersinergi. Di situlah manusia tidak akan pernah istirahat dari kecemasan yang dia bangun sendiri. Selalu merasa tidak puas dan ingin berkuasa. Kekuasaan atas nama nafsu. Kekuasaan yang menipu.
Maka wajar. Untuk siapapun. Ketika nafsu berkuasa, maka tiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman. Jangan ingin bermanfaat bagi orang lain. Tapi orang justru dilihat sebagai musuh.
Ketika gila pengaruh, maka akhirnya “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan pun tampak”. Alias kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang besar tidak tampak. Hingga akhirya “bagai balam dengan ketitiran”, dia yang tidak bisa apa-apa, tapi yang disalahin orang lain. Akibat terlalu gila pengaruh. Bak “belum berkuku hendak mencubit”. Kok bisa ya?
ADVERTISEMENT
Hidup itu nasehat. Pepatah pun isinya nasehat atau wejangan. Agar siapa pun tetap berhati-hati. Agar tidak usah cemas apalagi khawatir sedikit pun. Atas apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain. Karena mereka, mungkin dalam keadaan tidak mengerjakan apapun. Gelisah atas gila pengaruhnya sendiri.
Maka tetaplah lakukan yang terbaik, kerjakan yang bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnass anfa’uhum linnass. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Hari ini, memang tidak cukup punya pikiran bagus. Bila tidak mampu digunakan dengan baik. Salam literasi. #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen