Hikmah Idul Fitri Saat Covid-19, Memaafkan dan Menjauhi Prasangka Buruk

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 23:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seumur-umur, mungkin baru kali ini. Suasana Idul Fitri 1441 H hanya #DiRumahAja.
ADVERTISEMENT
Sebulan penuh sholat tarawih di rumah saja. Bahkan Sholat Id pun di rumah saja. Sesuai imbauan, untuk mencegah penularan Covid-19. Tentu, tanpa mengurangi makna kesucian diri. Insya Allah, semua ibadah sepanjang Ramadhan 1441 H diterima Allah SWT. Sebagai tanda, kita kembali ke keadaan fitrah. Suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan.
Untuk sebagian orang, fitrah juga bisa dimaknai "kembali ke titik nol".
Karena setelah sebulan penuh ditempa ibadah puasa dan berjuang untuk melawan hawa nafsu. Maka bila berhasil (khusus yang berhasil), maka si manusia itu persis seperti dilahirkan kembali. Manusia yang dibebaskan (bukan terbebas) dari dosa dan salah, akibat mampu berjuang melawan hawa nafsu. Sebuah fitrah manusia dalam memperbaiki hubungan dengan Allah SWT maupun sesama manusia lainnya. Itulah fitrah.
ADVERTISEMENT
Maka benar, fitrah sama dengan kembali ke titik nol.
Karena angka nol adalah angka netral. Tidak plus tidak minus. Maka Idul Fitri seyogyanya menjadi simbol kefitrahan manusia; keadaan yang suci seperti asalnya lagi. Maka setelah itu, di tangan si manusia pula untuk kembali memilih "jalan kehidupannya". Hidup yang mau lebih banyak nilai plus (+) atau minus (-). Kehidupan yang berpihak kepada kebaikan atau keburukan.
Tapi yang pasti, fitrah itu bukan soal fisik atau yang tampak kasat mata.
Fitrah adalah persoalan batin, soal hati; sesuatu yang ada dalam diri manusia. Dalam bahasa Arab, fitrah dapat diartikan "membuka atau menguak" dan dapat dimaknakan sebagai asal kejadian manusia, keadaan yang suci, atau kembali ke asal. Lain halnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "fitrah" diartikan sebagai sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.
ADVERTISEMENT
Manusia fitrah, bukan hanya memaafkan tapi menjauhi prasangka buruk
Jadi fitrah, bukanlah soal fisik melainkan batin.
Sepanjang manusia masih cinta pada dunia dan aksesorinya, maka fitrah sesungguhnya belum melekat pada dirinya. Fitrah itu tidak menghendaki penyakit cinta dunia tetap bersemayam dalam diri manusia. Adalah fitrah manusia cinta pada keindahan, tapi bukan berarti harus diperbudak oleh keindahan.
Dan siapapun berhak kembali ke fitrah.
Karena selama puasa, setiap manusia sudah ditempa dengan ibadah wajib maupun sunnah. Semuanya bermuara pada ada atau tidak adanya "bekas" tempaan selama puasa untuk menjadi lebih baik dalam hidup. Hidup esok yang lebih baik dari kemarin.
Fitrah. Sejatinya harus menjadikan manusia lebih bertakwa. Lebih berserah diri kepada Allah SWT. Lebih baik dan lebih optimis dalam hidup. Fitrah yang bernilai plus (+). Tapi sebaliknya, bila puasa hanya sebatas ritual atau seremoni semata, lalu tidak "berbekas" dalam kehidupan selanjutnya. Apalagi di kehidupan esok, gagal untuk memperbaiki diri bahkan tidak menjadi lebih takwa. Tidak menjadi lebih baik bahkan bersifat pesimis. Maka fitrah itu bernilai minus (-).
ADVERTISEMENT
Orang yang fitrah. Selalu bersedia kembali ke titik nol. Yaitu mereka yang mampu "menahan diri" dari godaan apapun. Agar tidak terbawa nafsu perut, tidak jumawa akibat kekuasaan, tidak menggilai harta dan pangkat jabatan. Bahkan secara perlahan, mampu mengurangi rasa cinta dunia. Karena dunia, sungguh menjadi pangkal tolak dari "mengeraskan hati, melemahkan ibadah". Maka sepantasnya, fitrah mampu menjadikan manusia. Lebih baik dan lebih baik lagi dalam kehidupannya.
Bahkan fitrah, boleh disebut sebagai kewaspadaan baru. Seperti, “new normal”, kehidupan baru manusia pasca Covid-19. Manusia yang selalu waspada akan dua hal dalam hidupnya, yaitu 1) DOSA dan 2) KEINGINAN.
Tiap manusia harus mampu menghindari DOSA. Karena sifat dosa itu akan selalu bertambah, tidak ada pengurangan. Sama halnya dengan KEINGINAN. Karena keinginan selalu mengundang hawa nafsu dan menjadi sebab manusia terjerembab ke dalam kesesatan. Ingin berkuasa, ingin kaya, ingin mengalahkan orang lain; semua itu sesat maka harus mampu dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Manusia yang kembali ke fitrah. Adalah manusia yang mampu menghindar dari DOSA sebisa mungkin dan mampu mengelola KEINGINAN tetap terkendali. Tetap berhati-hati dalam hidup. Karena di zaman now, kehidupan selalu dipenuhi godaan. Maka, pilihannya "menggoda atau digoda".
Fitrah, selalu mengingatkan manusia. Bahwa manusia hakikatnya tiada, kosong atau hampa. Manusia itu sejak lahir, tak bawa apa-apa, tak kuasa apa-apa. Maka kini pun dan menjelang kematiannya, manusia pun tetap bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Maka hanya Allah SWT yang mampu mengisi hidup tiap manusia. Allah SWT yang berkehendak manusia akan jadi seperti apa?
Fitrah pun menjadi simbol dimulainya kembali "pertarungan". Antara manusia dnegan kehidupannya. Antara baikan dan keburukan. Antara penyucian jiwa dan pengotoran hati. Hingga siapa yang mencapai kemenangannya?
ADVERTISEMENT
Tentu karena fitrah. Tiap manusia bisa "menemukan" kembali jati dirinya. Jadi manusia asli atau bukan seperti aslinya. Sebuah pertarungan lahir dan batin yang ditandai proses tazkiyatun nafs; membersihkan jiwa yang pernah dikotori oleh diri manusia itu sendiri.
Fitrah adalah kembali ke titik nol. Agar semua yang pernah dan telah beku menjadi cair. Agar kesombongan dan keangkuhan akibat harta dan tahta menjadi sirna. Karena di titik nol, manusia semakin menyadari bahwa dia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Maka fitrah, bukan hanya saling memaafkan antarmanusia. Tapi fitrah pun mengajak manusia untuk menjauhi prasangka buruk. Kepada siapapun dan atas alasan apapun. SELAMAT IDUL FITRI 1441 H - Mohon Maaf Lahir dan Batin #TGS #CatatanIdulFitri1441H #LebaranDiRumahAja
ADVERTISEMENT