Kamu Memaksa Diri Biar Dibilang Hebat

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
23 Januari 2020 9:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak orang tua “memaksa” mengisi kepala anaknya. Hingga lupa mendidik akhlaknya.
ADVERTISEMENT
Anak-anak sering kali “dipaksa” untuk mendapat nilai sempurna. Tapi di saat yang sama, mereka diabaikan mentalitasnya. Anak disuruh sekolah yang rajin, ikut les, tambah lagi privat di rumah. Sementara itu, emosional dan spiritualnya kosong. Kasihan ya anak-anak.
Memang edan. Hidup di zaman edan. Pendidikan tidak lagi merdeka. Belajar bukan atas “kerelaan”. Tapi atas paksaan. Orang dewasa yang “memaksa” anak-anak. Sungguh bisa jadi, anak-anak itu di bawah tekanan orang tua dan guru sekalipun.
Terlalu memaksa.
Hidup di zaman now, memang harus siap “dipaksa” atau “memaksa”. Memaksakan kehendak kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit orang yang “memaksa diri”. Agar dibilang hebat, dibilang keren. Bahkan dibilang kaya alias borju. Hidup dalam keterpaksaan, mungkin indah di mata mereka.
ADVERTISEMENT
Saking senangnya memaksa.
Tidak sedikit orang yang memaksakan keyakinannya pada orang lain. Semuanya harus berprinsip sama. Agak aneh. Bila tidak bisa sama, kenapa memaksa untuk tidak boleh beda?
Memaksakan diri. Hidup tidak lagi berdasar kemampuan. Tapi berlandaskan kemauan. Terlalu memaksa akhirnya jadi merana. Seperti kaum jomblo yang terus memaksakan cinta. Hingga akhirnya terluka …
Jangan memaksa diri hanya untuk dibilang hebat
Memaksa, itulah yang terjadi di zaman now.
Banyak orang bekerja keras siang malam. Untuk memperoleh uang. Tapi di saat yang sama, mereka gagal “memaksakan diri” untuk menabung. Wajar bila hidupnya “lebih besar pasak daripada tiang”.
Kenapa harus memaksa? Bila hidup di dunia cuma sebentar saja. Apalagi yang perlu dipaksa. Selain ibadah untuk mempersiapkan bekal “pulang”. Toh, sehebat apa pun, sekaya apa pun, ujung-ujungnya berakhir di kuburan. Jadi, tidak usah memaksa. Apalagi memaksakan kehendak, memaksa orang lain untuk bertindak seperti yang kita mau.
ADVERTISEMENT
Betapa banyak hari ini, orang yang memaksa orang untuk bertindak seperti yang kita pikirkan. Hingga akhirnya, berakhir luka.
Sungguh, apa pun yang dipaksa pasti menimbulkan luka.
Punya uang sedikit, tapi memaksa beli barang yang mahal. Pengen punya pacar yang ganteng, ternyata akhlaknya bobrok. Pengen kerja di kantor yang bagus, tapi suasananya tidak nyaman. Semua karena terpaksa. Hingga akhirnya luka. Berujung penyesalan tanpa bisa menikmati hidupnya sendiri.
Manusia sering lupa.
Allah Yang Maha Tahu saja tidak pernah memaksakan kehendak-Nya atas hidup umatnya. Manusia bebas memiliki jalan hidupnya. Allah hanya berikan rambu-rambu. Terserah, mau jadi baik atau buruk?
Ada pepatah Arab yang bilang, likulli maqoolin maqoomun wa likulli maqoomin maqoolun. Artinya, “setiap perkataan itu ada tempatnya dan tiap tempat ada perkataannya”. Jadi, tidak usah memaksa, sesuaikan saja perkataan dengan tempat berada.
ADVERTISEMENT
Ajaran rumah tidak perlu di bawa ke kantor. Ajaran kantor pun tidak usah dibawa ke rumah. Apalagi ajaran media sosial yang sangat maya. Kenapa harus dipaksa ke orang lain?
Maka, jangan memaksa untuk hal yang tiada guna. Anda tidak memberi makan orang lain, maka tidak perlu memaksa orang lain. Dan akhirnya, sungguh tidak perlu memaksakan hati. Biarkan kebenaran menyusup lalu mencairkan segala yang membeku… #JanganMemaksa #BudayaLiterasi