Prostitusi Berkocek Triliunan; Butuh Modal Sosial Membarantasnya

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
11 Januari 2019 22:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tertangkapnya dua selebriti, VA dan model berinisial AF ketika diduga tengah 'melayani' tamu di Surabaya menjadi bukti maraknya prostitusi online. VA memasang tarif Rp 80 juta per sekali kencan, sementara AS mematok harga Rp 25 juta ini memperpanjang daftar selebriti di Indonesia yang “terjun” ke bisnis prostitusi online. Bahkan diprediksi ada 45 artis dan 100-an foto model yang diduga terlibat jaringan prostitusi ini. Terlepas dari proses hukum yang harus dijalani. Menarik untuk dicermati, ternyata bisnis prostitusi online yang berlangsung di Indonesia melibatkan duit triliunan rupiah. Bisnis esek-esek “papan atas” ini terbilang menggiurkan. Termasuk bagi muncikari yang bertindak sebagai “makelar” pun bisa meraup miliaran rupiah.
ADVERTISEMENT
Uang haram dari transaksi prostitusi di Indonesia, jumlahnya tidak kalah besar jika dibandingkan uang haram dari transaksi narkoba. Seperti dilansir Liputan6.com, (24/2/2016), urusan bisnis esek-esek ini, Indonesia bisa menghabiskan US$ 2,25 miliar atau sekitar Rp 30,2 triliun dalam setahun. Menurut Havocscope, nilai belanja seks Indonesia berada di urutan ke-12 dari 15 besar negara yang banyak menghabiskan uang untuk prostitusi.
Sebegitu menggiurkankah bisnis prostitusi?
Bisa jadi ya. Sebut saja menurut Riset Infobank tahun 2012, nilai transaksi dari praktik prostitusi bisa mencapai Rp 5,5 triliun per bulan. Angka ini didapatkan dari asumsi jumlah PSK (pekerja seks komersial) di Indonesia versi UNDP (2011) mencapai 193.000 – 272.000 orang. Maka bila, tarif jasa prostitusi di kisaran Rp 500 ribu dan asumsi tiap PSK mampu melayani 2 pelanggan per hari dalam 20 hari masa kerja, maka total transaksi bisnis esek-esek bisa mencapai Rp 5,5 triliun per bulan. Itu berarti, mencapai Rp 65 trilliun per tahun. Maka bisa asumsi tersebut berubah lebih besar, bukan tidak mungkin nilai transaksinya bisa ratusan triliun rupiah per tahun. Bayangkan saja, bila tarif sekelas VA dengan Rp. 80 juta per sekali kencan. Bila sebulan 2 kali saja, maka dalam setahun kocek-nya mencapai Rp 1,9 milyar. Konon dalam kasus VA, polisi pun mendapati ada 15 kali transferan ke VA untuk tahun 2017 saja, belum termasuk tahun 2018 yang menyebabkan dia terseret kasus prostitusi online kali ini. Maka wajar, muncikari yang memfasilitas VA pun bisa meraup nilai transaksi mencapai Rp 2,8 miliar per tahun. Sungguh, pekerjaan yang hebat tapi sesat.
Gila, prostitusi online berkocek triliunan. Rp 65 triliun per tahun uang “hangus” untuk transaksi urusan seks. Nilai yang sangat fantastis. Bila dikonversi, ibaratnya, “klub prostitusi” bisa membeli 36 pemain sekelas Cristiano Ronaldo dalam setahun. Atau uang itu pun bisa digunakan untuk membiayai sekitar 541.000 mahasiswa bila biaya kuliah 15 juta per semester hingga lulus dalam kurun waktu 4 tahun. Bila kita ingat, nilai kerugian akibat kemacetan di Jabodetabek yang menjadi “asap jalanan” pun mencapai Rp 65 triliun setara dengan bisnis esek-esek setahun. Superfantastis nilai transaksi prostitusi di megeri ini, bahkan setara dengan asset yang dikelola salah satu industri jasa keuangan non bank yang dimulai sejak 1992, setelah 25 tahun baru bisa mengelola asset Rp. 65 triliun.
ADVERTISEMENT
Sangat janggal tapi nyata. Bisnis prostitusi yang “dilarang” tapi transaksinya menggiurkan. Bukan hanya miliaran tapi trilyunan. Sangat janggal, karena nyatanya masih ada saja laki-laki “konsumen” yang mau membayar mahal hanya untuk urusan seks. Begitu sebaliknya, tidak sedikit pula perempuan “penjaja seks” yang meraup kocek dari bisnis “haram” esek-esek. Itu semua menjadi bukti hebatnya hukum ekonomi, tidak mungkin ada supplai bila tidak ada demand. Tapi menilik lebih jauh, maraknya prostitusi tidak bisa dilepaskan dari beberapa risiko era kapitalisme modern, seperti: gaya hidup hedonisme dan konsumerisme, himpitan ekonomi, maupun perilaku menyeleweng yang kini menjadi “mind set” kaum metropolis. Jadi bisa divonis, bisnis prostitusi bahkan bisa makin marak ke depan bukan hanya urusan nafsu seksual semata. Tapi pun punya nilai ekonomis yang menggiurkan.
ADVERTISEMENT
Apalagi di kalangan artis atau selebritas. Bisa jadi, banyak laki-laki rela menggelontorkan puluhan juta demi berkencan dengan perempuan terkenal untuk sebuah kepuasan atau kepercayaan diri. Bagai mendapatkan “sesuatu” yang langka dan mahal, buat segelintir orang kaya mungkin memang menjadi prestise tersendiri. Selain eksklusif pun limited edition, begitulah kira-kira dibenaknya.
Bisnis prostitusi kian sulit diberantas, atau sangat penuh tantangan, karena masih banyaknya penyelewengan perilaku seksual di masyakarat, khususnya di kalangan perempuan. Menurut penelitian Professor Louise Brown dari Universitas Birmingham Inggris, setidaknya dinyatakan ada tiga kategori kelompok perempuan yang dekat dengan prostitusi, yaitu 1) perempuan “papan atas” ekslusif, biasanya cantik dan memilih menjajakan seks dengan bayaran yang sangat tinggi, dikelola sendiri sebagai perempuan panggilan dengan tariff mewah, 2) perempuan “papan tengah” yang menjajakan seks via muncikari atau germo, dengan bayaran sesuai level kecantikan, status, dan layanannya, biasanya perempuan ini memiliki struktur, jaringan serta muncikari yang menjaga dan memasarkannya secara terselubung, dan 3) perempuan “papan bawah” yang memang terjun menjadi pelacur akibat himpitan ekonomi atau keterpaksaan, bolehlah di bilang kelas murahan
ADVERTISEMENT
Prostitusi adalah realitas. Bahkan transaksinya merogoh kocek trilunan rupiah. Apakah peradaban ini akan tetap bertahan atau ada kesadaran baru untuk memberantasnya?
Suka atau tidak, mau atau tidak. Patut disadari, perilaku dan praktik prostitusi adalah perbuatan jahat. Karena prostitusi bisa dibilang sebagai “gerbang” timbulnya dampak lanjutan perilaku kriminal lainnya seperti narkoba, perjudian, pembunuhan, bahkan perdagangan manusia. Bahkan semua pihak pasti sepakat, prostitusi merupakan penghancur moral keluarga dan masyarakat.
Besarnya transaksi prostitusi hingga ratusan triliun rupiah, kini tidak boleh lagi dilihat sebagai nilai ekonomi, belanja esek-esek. Tapi prostitusi menjadi wajib “diperangi” karena merusak tatanan masyarakat dan keagamaan. Karena kita harus sepakat, bahwa nilai dan transaksi ekonomi hanya bisa terjadi dan berasal dari sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi harga diri dan kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Maka kini, hanya ada satu pernyataan. Lawan prostitusi, berantas bisnis esek-esek. Karena perilaku dan praktik prostitusi adalah perbuatan menyimpang dan merendahkan martabat manusia.
Prostitusi sangat jelas bukan soal ekonomi. Tapi soal dosa dan pertanggungjawabannya seusai hidup di dunia. Inilah modal sosial untuk melibatkan masyarakat dalam mencegah prostitusi…. #StopProstitusi