Tips Membangun Budaya Literasi versi Pegiat Literasi Indonesia

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
11 September 2019 9:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya literasi di Indonesia patut menjadi keprihatinan bersama. Pasalnya, justru di era serba digital, tradisi baca semakin pupus di kalangan anak-anak, bahkankaum dewasa. Belum lagi, soal masih adanya 3,4 juta kaum buta aksara di tengah era yang katanya serba digital. Sementera di sisi lain, Gerakan Literasi Nasional (GLN) dikumandangkan pemerintah, dengn harapan terbentuk budaya literasi di bumi nusantara ini.
ADVERTISEMENT
Kontradiksi. Di satu sisi, tradisi baca masih rendah dan kaum buta kasara kian terpinggirkan. Di sisi lain, budaya literasi digaungkan walau terkesan “jauh panggang dari api”, tidak sesuai harapan. Inilah keprihatinan bersama terkait budaya literasi di Indonesia.
Berangkat dari realitas itu dan dalam rangka Hari Aksara Internasional 8 September lalu, DAAI TV dan TV Parlemen mengangkat topik tentang tips dan strategi menerapkan budaya literasi agar bisa hidup tengah masyarakat. Tips dan kisah menggerakan budaya literasi inilah yang diberikan narasumber seorang pegiat literasi Indonesia, Syarifudin Yunus selaku Pendiri dan Kepala Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka dan Penggagas GErakan BERantas Buta aksara (GeberBura) di Kaki Gunung Salak Bogor.
Bertajuk “Semangat Entaskan Buta Aksara”, DAAI TV pada acara Halo Indonesia, Senin 9 September mengangkat persoalan buta aksara di Indonesia. Karena ternyata, di Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kab. Bogor yang tidak jauh dari Jakarta masih terdapat kaum buta aksara. Adalah Syarifudin Yunus, Penggagas Gerakan BERantas Buta aksara (GeberBura) di Kaki Gunung Salak Bogor yang menjalankan aktivitas pemberantasa buta aksara secara rutin seminggu 2 kali kepada 8 ibu kaum buta aksara. Apa yang dihasilkan, setelah berjalan 10 bulan belakangan, para kaum buta aksara kini sudah bisa menulis nama, membuat tanda tangan, mengeja kata. Bahakn rutin belajar berkelanjutan agar tetap bisa membaca dan menulis. Uniknya, di GEBERBURA, para kaum buta aksara setelah belajar selalu mendapat “hadiah” berupa seliter beras, 3 bukung mie instan, atau bisa jajan bakso bareng.
ADVERTISEMENT
“Saya menjalankan GEBERBURA sebagai gerakan berantas buta aksara adalah bagian dari tanggung jawab moral. Maka seminggu sekali, dari Jakarta saya datang khusus ke Kaki Gunung Salak untuk mengajar kaum buta aksara. Tidak mudah mengajar kaum buta aksara. Tapi demi martabat dan keberdayaan mereka di mata anak-anaknya, mereka harus bisa baca dan tulis” ujar Syarifudin Yunus, Penggagas GEBERBURA sekaligus pegiat literasi TBM Lentera Pustaka.
Lalu esoknya, Selasa 10 September 2019, Syarifudin Yunus yang berprofesi sebagai konsultan di DSS Consulting dan Dosen Pendidikan Bahasa di Universitas Indraprasta pun menjadi narasumber “Gerakan Literasi Nasional” di TV Parlemen dalam acara Suara Parlemen di Studio TV Perlemen di Komplek DPR-MPR RI Senayan. Sebagai bagian untuk membangun budaya literasi di anak-anak dan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Syarif secara “live” berbagi tips membangun budaya literasi. Bahwa budaya literasi bukan hanya soal membaca dan menulis. Tapi budaya literasi adalah soal cara "memahami dan memampukan" diri di berbagai situasi dan fenomena kehidupan zaman now. Ada kesadaran untuk paham dan mampu di segala bidang, Baik literasi politik: gimana cara menyikapi realitas politik. Literasi media sosial, literasi finansial, literasi digital, lietrasi sains, dan sebagainya. Oleh karena itu, sekalipun di era serba digital sekarang, tradisi baca untuk paham dan mampu harus digalakkan di masyarakat. Oleh karena itu, budaya literasi harus dijadikan perilaku bukan informasi atau pelajaran. Semua orang dan semua pihak harus berperilaku literat.
“Maka untuk membangun literasi di masyarakat. Harus dimulai dari hati, punya komitmen dan konsisten menjalaninya seperti yang saya lakukan setiap minggu untuk membimbing tradisi baca 65 anak di TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak yang saat ini mereka rata0rata sudah membaca 5-10 buku per minggu. Padahal sebelumnya mereka tergolong anak-anak yang jauh dari akses bacaan. Mengajarkan literasi anak bukan dengan mulut tapi dengan hati, orang tua harus hadir di samping anak saat membaca” tambah Syarifudin Yunus yang kini tengah menempuh studi S3 - Program Doktor Manajemen Pendidikan di Universitas Pakuan Bogor.
ADVERTISEMENT
Maka untuk menegakkan budaya literasi sekaligus tradisi baca di anak-anak dan masyarakat, sangat dibutuhkan kolaborasi dan komitmen seluruh pihak untuk “terjun langsung” ke lapangan. Ajarkan tradisi baca ke anak-anak dan berantas buta aksara. Karena tidak ada manusia yang berkualiat, bangsa yang maju bila tidak didukung tardsi baca dan budaya literasi yang baik. Pemerintah bersama individu yang mampu dan bisa harus peduli terhadap persoalan budaya literasi di Indonesia.
Karena budaya literasi, tradisi baca dan pemberantasan buta aksara, tanpa kepedulian hanya sebuah omong kosong. Jadikan mereka, anak-anak dan kaum buta aksara lebih berdaya dari sebelumnya, Agar tidak tergilas peradaban zaman yang serba digital, serba revolusi industri.
Maka esok, kita bukanlah atas apa yang kita banggakan, melainkan atas apa yang kita tinggalkan. Lebih baik berbuat daripada berdiam diri, itulah spiri budaya literasi di Indonesia. Seperti yang dijalani pegiat literasi TBM Lentera Pustaka; tetap mengajar anak-anak kampung untuk selalu membaca dan memberantas buta aksara.
ADVERTISEMENT
"Barangsiapa yang memudahkan urusan saudaranya di bumi, maka Allah menyuruh penghuni langit untuk memudahkan urusan ia di dunia dan kelak di akhirat Allah akan memudahkan urusannya". (HR. Bukhori). Slaam budaya literasi Indonesia … #TBMLenteraPustaka #GeberBura #BudayaLiterasi #HariAksaraInternasional