Tolong Ajari Saya, Suara Kaum Buta Huruf di Era Digital

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
25 Juni 2020 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah anak belajar mengenal huruf abjad di Taman Baca Kolong fly over Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (13/8/2018). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anak belajar mengenal huruf abjad di Taman Baca Kolong fly over Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (13/8/2018). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
“Pak, maapin saya ya. Bacanya harus dekat-dekat. Abis mata saya udah susah lihat kalo jauh…” suara Bu Euis, seorang ibu warga belajar Gerakan BERantas BUta aksaRA (Geberbura) di Kaki Gunung Salak.
ADVERTISEMENT
“Iyaa Bu, gak apa” jawab saya.
Bu Euis, hanya salah satu dari 12 ibu-ibu buta aksara. Katanya, ia sama sekali tidak ingin terlahir sebagai orang buta huruf. Tapi apa mau dikata, begitulah adanya. “Maklum Pak, orang kampung. Orang tua saya juga buta huruf. Sampe tanggal lahir saya pun tidak tahu…” katanya lagi menambahkan.
Bu Euis, mengaku, dia malu pada anak-anaknya. Apalagi bila ada pekerjaan rumah dari sekolah. Ada rasa hati ingin membantu anaknya. Tapi sayang, ia tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Apalagi bantu mengerjakan PR anaknya. Sehari-hari, kerjanya hanya di rumah. Ia hanya pasrah menerima nasib. Ekonominya pas-pasan bila tidak mau dibilang miskin. Ehh, ditambah buta huruf lagi. Banyak orang bukan makin iba padanya. Malah makin cuek dan tidak peduli. Memang, sudah nasibnya buta huruf. Gampang diremehkan…
ADVERTISEMENT
Dulu, katanya, ia menanti orang-orang yang bisa membaca mau mengajarinya. Tapi sayang, bak menggantang asap. Hingga usia 48 tahun pun ia tetap buta huruf. Sebagai ibu rumah tangga, terlalu banyak waktunya terbuang percuma. Karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak berdaya lagi tidak kuasa. Hingga Minggu siang itu, ia begitu bersemangat menuju Taman Baca Lentera Pustaka. Untuk belajar membaca sekaligus menulis, sebisa yang dia mampu. Prinsipnya sederhana. Mumpung ada yang mau ngajarin, ia selalu semangat untuk dating. Belajar baca dan belajar tulis. Agar tidak lagi buta huruf.
Setibanya di taman baca, ia menegur saya. “Pak, kita sekolah kan…?” tanya Bu Eusi. Saya pun menjawab lantang, “Sekolah dong Bu…”. Raut wajahnya pun tampak memecah panasnya terik matahari di Kaki Gunung Salak. “Alhamdulillah Pak, saya mah mau bisa baca dan tulis atuh Pak” suaranya lirih bak terdengar dari kejauhan.
ADVERTISEMENT
B-a Ba, c a ca … baca.
Begitulah cara Bu Euis dan teman-temannya mengeja kata. Satu per satu, suara itu bergema di taman bacaan. Ibu-ibu yang tidak tahu lagi zaman verkembang ke arah mana? Ia hanya tahu. Bahwa ia orag kampung, miskin dan buta huruf. Tapi hebatnya, Bu Euis masih punya tekad. Untuk tetap bisa membaca, bisa menulis. Mungkin hanya itu yang bisa dibanggakan dirinya esok. Ia memang bodoh, ia memang buta huruf. Tapi ia, masih mau ikhtiar belajar. Dan semangat untuk belajar di usia senja dengan penuh ikhlas dan kesungguhan.
“Pak, terima kasih ya. Sudah mau ajarin saya. Semoga Bapak sehat ya Pak” harapannya terungkap. Seusai diperiksa PR-nya, maju ke papan tulis untuk menulis lalu membaca sendiri tulisannya. Raut wajah Bu Euis pun merekah. Seakan dalam hatinya, ia mau berkata. Saya bangga bisa merasakan susahnya jadi orang yang sedang belajar. Bu Euis pun berhak membawa pulang seliter beras. Sebagai hadiah ibu buta huruf yang masih mau belajar dengan ikhlas dari sang guru.
ADVERTISEMENT
Ibu-ibu GERBERBURA yang buta huruf sedang belajar ...
Itulah fakta. Tentang Bu Euis dan 11 ibu lainnya yang masih belajar di Gerakan BERantas BUta aksaRA (Geberbura) di Taman Baca Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Ibu-ibu yang tidak mau tergilas zaman. Katanya era maju era digital, semetara ia tetap tidak bisa baca dan tidak bisa tulis. Mungkin di pelosok sana di negeri nusantara ini, masih banyak ibu-ibu yang tetap buta huruf hingga saat ini. Karena mereka yang bisa dan mampu, tetap belum mau mengajari mereka.
Saya sebagai guru buta aksara. Bu Euis dan teman-temannya pun. Tetap tetap menjadi “ruang kuliah” yang penuh ilmu. Kaum bawahan yang tetap mampu melecut saya untuk mau berbuat kepada mereka yang membutuhkan. Bukan materi, tapi keberanian untuk mengajarkan mereka yang masih buta huruf.
ADVERTISEMENT
Biar bagaimana pun, Bu Euis adalah suara ibu di kejauhan yang ingin berteriak, “Tolong ajari saya…”. Suara yang memanggil dengan batin. Untuk berbuat dan membebaskan mereka dari belenggu buta huruf.
Bu Euis, memang hanya bagian kisah nyata dalam kehidupan. Tentang kaum ibu yang masih dilanda buta huruf. Di era yang katanya penuh kecangghan teknologi, era modern yang kian menguatkan ego dan nafsu dunia.
Dari Bu Euis pula saya belajar.
Siapapun orangnya. Bila mau mengerjakan kebaikan sekalipun tanpa bayaran. Maka suatu saat, Allah akan “membayar” berkali-kali lipat dari apa yang ia kerjakan. Seperti seorang buta huruf yang masih mau berjuang untuk bisa membaca dan menulis. Penuh ikhlas dan kesungguhan, karena ia tahu itu baik.
ADVERTISEMENT
Maka hindari prasangka buruk pada orang yang ikhtiar baik …