UU Cipta Kerja, Belum Membangun Sudah Praktik Merusak

Syarif Yunus
Dosen Unindra - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) - Konsultan - Mhs S3 MP Unpak - Pendiri TBM Lentera Pustaka
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2020 12:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syarif Yunus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Omnibus Law Omnibus Law. Tidak habis pikir sama sekali. UU-nya belum dibaca, sudah marah – demo lalu merusak. 25 halte busway dibakar, Pemda DKI Jakarta terpaksa keluarkan “kocek” 65 milyar untuk memperbaikinya. Menyalurkan aspirasi tapi anarkis dan merusak. Kenapa bisa begitu ya?
ADVERTISEMENT
Hari ini PSBB di DKI Jakarta dilonggarkan. Kasihan saudara-saudara kita pengguna busway. Di mana lagi dia harus menunggu? Haltenya sudah dibakar habis. Belum lagi pos polisi yang dihanguskan, plang dirusak, barier pembatas jalan, pot bunga, hingga lampu lalu lintas yang dirobohkan.
Belum belajar membangun. Tapi sudah praktik merusak.
Sulit dimengerti. Bereaksi cepat tanpa tahu masalahnya apa? Aspirasi ingin diterima tapi harus membakar dan merusak. Apa itu solusi? Kotanya sendiri, fasilitasnya sendiri tapi dirusak. Itu apa namanya?
Belum membangun, sudah merusak.
Tiba-tiba gagap dan alpa. Karena harus merusak, apa tidak ada cara lain? Orang yang membangun itu tidak mungkin merusaknya. Karena dia tahu susahnya membangun, sulitnya berproses untuk mencapai keadaan seperti sekarang. Bila ada yang kurang, bila ada yang tidak pas itu sudah pasti. Maka salurkan aspirasi dengan baik dan benar. Biar efektif tanpa perlu merusak. Saya jadi malu. Bila saya belum bisa membangun, kenapa saya harus merusak apa yang dibangun orang lain?
Saya ini pegiat literasi. Sejak 3 tahun lalu saya bangun taman bacaan di Kaki Gunung Salak Bogor. Anak-anak yang terancam putus sekolah akibat miskin. Kini sudah rajin baca buku dan berharap tidak ada yang putus sekolah. Begitu pula ibu-ibu buta huruf tiap hari Minggu saya ajar. Agar bisa baca dan tulis. Sehingga orang tua bisa lebih bermartabat di mata anaknya. Begitu pun anak-anak yatim yang dibina. Agar mereka tetap bisa sekolah sampai lanjut. Bila itu sudah saya bangun susah-susah. Lalu, kenapa saya harus merusaknya? Arau apa ada orang lain yang ingin merusaknya? Silakan jawab sendiri saja dengan hati nurani…
ADVERTISEMENT
Kawan saya bilang. Itu terjadi gara-gara ada yang provokasi. Itu terjadi karena termakan hoaks. Katanya ditunggangi. Lalu menuding, karena wakil rakyatnya goblok. Saya pun bilang, kok bisa? Kenapa kita mau diprovokasi? Kenapa pula kita termakan hoaks, kenapa kita mau ditunggangi? Bukankah kita semua orang pintar. Ya kalau wakil rakyatnya bodoh, itu siapa yang pilih. Kenapa jadi melebar ke mana-mana? Kan soalnya cuma omnibus law, terus kenapa halte bus yang dibakar? Kenapa sih kita begitu?
Mereka itu mungkin orang-orang pintar. Mereka bisa jadi orang cerdas yang tahu betul cara mengelola negara. Bahkan mereka terlalu canggih dalam memahami arti sebuah perjuangan. Atas nama rakyat, atas nama keadilan. Tapi sayang, mereka mungkin belum tahu banyak tentang akhlak dan adab. Lupa tentang budi pekerti, lupa tentang perilaku baik. Maka, lebih suka merusak daripada membangun.
ADVERTISEMENT
Entahlah, apa lagi yang harus kita perbuat?
Bila belum belajar membangun. Tapi sudah praktik merusak. Hingga tidak tahu lagi cara menyalurkan aspirasi yang baik dan benar. Semuanya salah orang lain. Sementara kita tidak pernah salah. Inilah imbas buah dari pendidikan yang basisnya ke otak, bukan ke hati.
Semoga kita tidak lupa. Bahwa ilmu yang tinggi, pendidikan yang mentereng. Atau perjuangan yang militan sama sekali tidak berguna tanpa diimbangi akhlak yang baik.
Jadi, janganlah tinggalkan akhlak sekalipun ilmu kita tinggi. Otak kita boleh benar. Tapi otak orang lain juga belum tentu salah. Jangan merusak bila tidak mau membangun. Sungguh, ada soal tentang budaya literasi kita … #UUCiptaKerja #OmnibusLaw #BudayaLiterasi
ADVERTISEMENT