Kritik Terhadap Orientasi Pendidikan di Indonesia

syifa raihanah
Mahasiswa Semester 1 Universitas Islam Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
3 Desember 2023 13:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari syifa raihanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembelajaran di sekolah (Dokumentasi Pribadi)
Menurut John Dewey, orientasi pendidikan merupakan pengalaman yang memungkinkan para siswa untuk mengembangkan arah pemahaman dan keterampilan, dalam kehidupan di Indonesia. Hal ini termasuk kemampuan kognitif, afektif dan, psikomotor. Dari KBBI, Belajar sendiri bukan hanya proses untuk mencapai kepintaran dan ilmu, tapi adalah usaha untuk mengubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Proses mengubah, menyimpan, mereduksi dan memakai setiap masukan pengetahuan oleh indra guna menajamkan fungsi kognitif, juga dapat artikan sebagai belajar.
ADVERTISEMENT
Otak sendiri merupakan pusat yang mengendalikan segala kegiatan dan minat dari manusia. Di dalam otak, ada yang disebut sebagai otak kanan dan juga otak kiri, yang menghasilkan pikiran yang berbeda. Otak kanan mengutamakan polo pikir intuititf, kreatif yang bersifat ideal dan abstrak. Sementara otak kiri lebih ke arah pikiran yang rasional, mengedepankan aspek linguistik dan logika.Fakta menarik lainnya adalah otak kiri mengendalikan tubuh bagian kanan, sedangkan otak kanan mengendalikan tubuh bagian kiri. Orang kidal sebagai contoh, menunjukkan bahwa otak kanannya lebih aktif dibanding otak kiri.
Orientasi pendidikan di Indonesia masih mengedepankan kepada salah satu bagian otak saja, yaitu otak kiri yang sebenarnya hal ini dapat diubah agar mampu memaksimalkan fungsi dari otak kanan dan juga kirinya. Bahkan dari fakta perbedaan otak di atas, kita bisa tarik kesimpulan bahwanya orientasi pendidikan di Indonesia juga masih mengedepankan kecerdasan logika/matematis dan linguistik yang berada pada bagian otak kiri, 7 kecerdasan lainnya tidak terlalu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Kecerdasan terbagi menjadi 9, Kecerdasan logis/matematis, kecerdasan linguistik/bahasa, kecerdasan Visual/Spasial, kecerdasan Musikal, kecerdasan kinestetik/fisik, kecerdasan Inter-Personal, kecerdasan Intra-Personal, kecerdasan Naturalis, kecerdasan Eksistensialis.
( Dokumentasi Pribadi)
Dari Dr. I Komang Sudarma, S.Pd., M.Pd seorang dosen di Universitas Pendidikan Ganesha, mengatakan bahwa “hasil penelitian kami disini masih banyak praktek pendidikan sekolah formal bahwa penghargaan antara perbedaan individu seperti peserta didik masih sangat lemah sekali dimana pendidikan masih fokus pada kecerdasan linguistics dan mathematic, dalam artian guru-guru dan orang tua masih mengagungkan kecerdasan linguistics dan mathematic ini, bagi yang punya anak yang jago bahasa atau matematika maka dianggap anak yang paling pintar di antara teman-teman lainnya” ujarnya.
Padahal tidak seharusnya seorang guru dan orang tua memilki anggapan seperti itu, karena itu berarti mereka sama saja berusaha untuk membatasi kemampuan dan dalam skenario terburuk bisa mematikan tipe kecerdasan yang lainnya. Seorang guru dan orang tua seharusnya mampu lebih bijak dalam menyikapi kasus semacam ini, karena itulah tugas mereka sebagai seorang pengajar.
ADVERTISEMENT
Jikalau dari pengajar sendiri saja masih membatasi minat dan juga kemampuan lain dari para siswa, maka hal ini ke depannya akan berujung buruk bagi orientasi pendidikan di Indonesia, dan stigma bahwa hanya orang yang pintar secara logis/matematis dan linguistik akan terus ada, dan akan tidak menghargai bahkan menganggap remeh tipe kecerdasan yang lain.
Kalau kita kaitkan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pada pasal 1 dan 3 tujuan pendidikan salah satunya tentang bagaimana mengembangkan potensi peserta didik. Ini menunjukkan bahwa kita harus bisa mengembangkan potensi lain yang ada dalam diri siswa itu sendiri. Juga berangkat dari perkataan Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai pendiri Taman Siswa dan tokoh pendidikan nasional Indonesia. Beliau mengusung konsep pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter dan kebebasan.
Kegiatan KKN Politeknik Media Kreatif. (Dokumentasi Pribadi)
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa orientasi pendidikan di Indonesia masih terbilang sangat disayangkan, bukan hanya karena masih mengedepankan dua tipe kecerdasan, tapi juga tidak sesuai dengan Undang-Undang di atas dan pendefinian dari Ki Hajar Dewantara. Padahal, di dalam konstitusi juga disebutkan bahwa, ada perintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata “mencerdaskan” itu sendiri tidak terbatas pada dua tipe kecerdasan saja, tapi tidak ada batasan padanya.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, penulis berharap agar seluruh masyarakat Indonesia harus mulai untuk mengubah pandangan mereka pada bias kecerdasan tersebut dan mulai untuk menghargai lebih bagi mereka yang punya tipe kecerdasan yang lainnya, terutama bagi para tenaga pendidik, agar orientasi pendidikan di Indonesia, bisa sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pada pasal 1 dan 3, defnisi dari Ki Hajar Dewantara, dan perintah konstitusi.