Mencari Cahaya di Klaten Bersinar.

tambara boyak
Seorang penuh ingin tahu tentang keilmuan psikologi dan budaya.
Konten dari Pengguna
3 Juni 2020 18:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tambara boyak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Candi Prambanan, ketika pertama kali ditemukan.
zoom-in-whitePerbesar
Candi Prambanan, ketika pertama kali ditemukan.
ADVERTISEMENT
Bukan tentang Kyai melati yang akan aku bicarakan, jauh sebelum itu. Ketika wangsa syaileindra dan wangsa Sanjaya masih berkuasa di tanah jawa. Ini tentang wilayah yang bernama Ngupit, yang konon menjadi tonggak berdirinya daerah bernama Klaten. Sejarah Klaten tersebar diberbagai catatan arsip-arsip kuno dan kolonial, arsip-arsip kuno dan manuskrip Jawa. Catatan itu seperti tertulis dalam Serat Perjanjian Dalem Nata, Serat Ebuk Anyar, Serat Siti Dusun, Sekar Nawala Pradata, Serat Angger Gunung, Serat Angger Sedasa dan Serat Angger Gladag. Dalam bundel arsip Karesidenan Surakarta menjadikan rujukan sejarah Klaten seperti tercantum dalam Soerakarta Brieven van Buiten Posten, Brieven van den Soesoehoenan 1784-1810, Daghregister van den Resi dentie Soerakarta 1819, Reporten 1787-1816, Rijksblad Soerakarta dan Staatblad van Nederlandsche Indie. Babad Giyanti, Babad Bedhahipun Karaton Negari Ing Ngayogyakarta, Babad Tanah Jawi dan Babad Sindula menjadi sumber lain untuk menelusuri sejarah Klaten. Sejarah Klaten juga dapat ditelusuri dari keberadaan Candi-candi Hindu, Budha maupun barang-barang kuno. Asal muasal desa-desa kuno tempo dulu menunjukan keterangan terpercaya. Desa-desa seperti Pulowatu, Gumulan, Wedihati, Mirah-mirah maupun Upit. Peninggalan atau petilasan Ngupit bahkan secara jelas menyebutkan pertanda tanggal yang dimaknai 8 November 866 Masehi oleh Raden Rakai Kayuwangi.
ADVERTISEMENT
Berbagai peninggalan purba terus ditemukan di lereng Gunung Merapi, Baru-baru ini ditemukan bebatuan berbagai bentuk, mulai lumpang kuno, komboran, hingga tumpukan batu yang membentuk seperti kolam. Dengan penemuan-penemuan tersebut, diyakini kawasan tersebut pernah menjadi pusat peradaban purba.
Sesungguhnya nama Klaten itu terdengar hingga ke manca negara bahkan menembus hingga dinding-dinding istana kekekaisaran Dinasti Tang yang berkuasa di China pada kurun waktu (618-907 M). Klaten dicatat sebagai kota yang termasyur akan keindahannya dengan candi-candinya yang mengagumkan. Kronik Dinasti Tang menyebut Klaten dalam aksara tradisional China berhubungan dengan aksara “Kelatian”. Kela berarti Gundukan dari Bumi dan Tian bisa diartikan sebagai Langit. Makna kronik berdasarkan aksara tradisional China ini berarti “gundukan-gundukan tanah yang digunakan oleh orang-orang di zaman itu untuk melakukan persembahan atau penghormatan kepada langit”. Gundukan adalah candi yang digunakan untuk beribadah orang-orang di zaman itu. Bahkan karena banyaknya candi yang dibangun, kronik China menyebut gundukan-gundukan itu sebagai “Pegunungan Seribu”.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang menetap di wilayah ini menyebutnya sebagai Klaten yang berarti wilayah dengan banyak candi atau gundukan dari bumi yang menghadap ke langit. Karena memang Klaten bisa disebut sebagai “kota seribu candi”. Candi-candi ini merupakan tempat perabuan bagi para leluhur ataupun raja-raja yang meninggal dunia. Candi-candi ini juga digunakan untuk tempat bersembayang para anak cucu untuk menghormati para leluhur yang berpulang ke Tuhan alam semesta.
Rakai Kayu Wangi atau Lokapala atau Gupala-lah yang meresmikan daerah yang sekarang bernama Ngawen sebagai wilayah perdikan pada 11 November 866. Desa Perdikan artinya Desa yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur daerahnya sendiri dan tidak diwajibkan membayar pajak kepada kerajaan. Inilah yang seharusnya diperingati sebagai hari jadi Kota Klaten untuk mengenang jasa para leluhur. Jika menggunakan perhitungan sejarah yang ditulis oleh Rakai Kayu Wangi maka Klaten sudah berumur 1.151 tahun dan bukan hanya 213 tahun. Rakai Kayu Wangi sendiri adalah putra dari Pikatan. Pikatan merupakan cucu Sanjaya yang menikah dengan Pramodhawardani putri Samaratungga dari Dinasti Syailendra. Kayu Wangi adalah simbol penyatuan dua dinasti yang saat itu bersaing yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra.
ADVERTISEMENT
Inilah yang kemudian dikenal dengan Prasasti Ngupit bertanggal 11 November 866 Masehi. Karena ditemukan di Desa Ngupit, Kecamatan Ngawen, maka desa itulah yang dianggap desa perdikan. Kayu Wangi memandang dan mengakui Ngawen sebagai cikal bakal pusat kerajaan Medhang Matriam yang dipimpin oleh Sanjaya dyah Saladu yang merupakan anak dari Sanaha, Ratu Medhang Pakuwon yang saat itu berpusat di Desa Kesanga, Kecamatan Jati, Blora dan Saladu seorang bangsawan dari Tamil, India Selatan dari Kerajaan Chola sehingga beragama Hindu Siwa. Bisa dikatakan mayoritas penduduk Medhang Matriam di Ngawen beragama Hindu Siwa atau biasa disebut Siwa. Sedangkan sisanya adalah orang-orang Jawa keturunan Kie Seng Dhang dan Sambadra yang beragama Buddha Jawa/Buddha Whuning atau Buddha Kanung. Buddha Jawa ini adalah sinkretisme ajaran Tao dan Buddha yang diajarkan Sidharta Gaotama.
ADVERTISEMENT
Candi Prambanan adalah simbol kemegahan peradaban Kerajaan Medhang Matriam Prambwana Mamratipura yang dibangun oleh Pikatan atau yang dikenal sebagai Rakai Mamrati atau Mpu Manuku. Pikatan adalah orang yang membangun Klaten dengan kemegahan candi-candi Siwa. Candi Prambanan di masa Pikatan disebut Siwagraha artinya rumah untuk Siwa. Orang-orang Klaten waktu itu adalah pengikut agama Hindu Siwa karena mayoritas merupakan pendatang dari Tamil, India Selatan. Meskipun demikian kehidupan toleransi umat beragama berlangsung dengan baik, karena orang-orang Klaten memeluk berbagai agama yang berbeda. Adapun agama yang ada saat itu adalah Hindu Siwa, Buddha Whuning dan Buddha Mahayana. Hindu Siwa dianut oleh orang-orang keturunan Tamil Chola India selatan, Buddha Whuning dianut orang-orang keturunan Kie Seng Dhang dan Sambadra sedangkan Buddha Mahayana dianut orang-orang dari Kerajaan Khusana, India Utara. Tiga kelompok inilah yang membangun peradaban di Klaten.
ADVERTISEMENT
Klaten tak kalah cantiknya dengan kota-kota yang dibangun oleh raja-raja Kerajaan Chola di India Selatan yang merupakan asal usul sebagian besar orang-orang Klaten. Klaten tak kalah anggun dibandingkan Poompuhar, Urayur, Tanjore ataupun Gangaikonda Cholapuram, kota-kota yang menjadi kebanggaan Kerajaan Chola di masa kejayaannya. Bahkan Pikatan membangun Candi Prambanan atau Siwagraha yang berada di tepi Sungai Opak mendahulu Raja Chola Aditya I yang membangun Candi Siwa di tepi sungai Kaveri, Tamil Nadu, India yang baru selesai pada 1009. Candi yang memiliki bentuk serupa juga dibangun oleh Rajendra Chola di Gangaikonda Cholapuram pada 1030. Dengan demikian Candi Prambanan yang dibangun pada 856 lebih dahulu dibandingkan dua candi yang serupa di India yang hingga saat ini menjadi kebanggaan peradaban Kerajaan Chola. Candi Prambanan menjadi inspirasi kerajaan Chola membangun Candi Siwa.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya membangun candi-candi dengan arsitektur yang menakjubkan, tetapi juga dibangun petirtan/sendang/sumber/umbul di berbagai wilayah di Klaten untuk memberikan pemandangan yang asri dan menawan. Air adalah sumber kehidupan, membangun sumber-sumber air berarti menghargai, membangun dan mencintai kehidupan. Membuat sendang/tuk/sumber air di dusun-dusun (kampung-kampung) atau desa-desa adalah tradisi yang diwariskan oleh leluhur orang Jawa bernama Kie Seng Dhang (290-200 SM). Ia tiba di Jawa pada 230 SM atau pada umur 60 tahun dari Sampit Hilir, Nusa Barunai atau yang sekarang disebut Kalimantan. Ia dan keluarga besarnya berpindah ke Jawa dan di zamannya, para keturunannya memiliki tradisi membangun tuk, sumber atau sendang.
Memahami sejarah bukan berarti ingin kembali ke masa lalu, tetapi sejarah kebesaran dan kemegahan leluhur akan menjadi cermin bagi generasi-generasi penerusnya untuk mengikuti jejaknya di segala zaman. Leluhur orang-orang Klaten yang mampu membangun peradaban agung, mengembangkan kebijaksanaan, menjunjung tinggi sikap toleransi dan perbedaan membuat Klaten mencapai puncak keemasan adalah keteladanan yang harus dijunjung tinggi oleh anak cucu atau keturunannya. Menghormati kebesaran dan jasa leluhur adalah dengan melanjutkan semangat dan karakter-karakter ini, menunjukkan jati diri sebagai pelopor peradaban bukan meredupkan diri sebagai pengekor bangsa lain, semoga Klaten senantiasa bersinar di segala zaman.
ADVERTISEMENT