Wajah Klaten Berubah

tambara boyak
Seorang penuh ingin tahu tentang keilmuan psikologi dan budaya.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2020 11:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tambara boyak tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Candi Bubrah, Dokumentasi kemendikbud
zoom-in-whitePerbesar
Candi Bubrah, Dokumentasi kemendikbud
ADVERTISEMENT
Gerakan radikalisme agama yang menyapu Pulau Jawa di penghujung akhir abad 15 juga menyebar hingga sudut-sudut wilayah pedalaman tak terkecuali Klaten. Pelan tapi pasti, gelombang radikalisme dengan berbalut semangat keagamaan ini menjadikan Klaten sebagai target untuk ditakhlukkan dan dilibas. Pusat peradaban Mataram Kuno dengan Candi-candi Hindu Siwa dan Buddha yang indah nan megah menjadi sasaran pengrusakan dan penghancuran. Klaten yang dulu merupakan pusat kebanggaan akan keindahan dan kemegahan berubah menjadi tempat mengerihkan bagi para penghuninya. Candi-candi dirusak, diruntuhkan, ditimbun dan diratakan hingga ke tanah. Orang-orang yang ketakutan melarikan diri ke tempat-tempat terpencil hingga ke gunung. Klaten sama seperti wilayah pedalaman Jawa lainnya. Setelah Keruntuhan Kerajaan Majapahit, Jawa mengalami periode kekacauan, anarkisme dan persekusi, karena dilakukan upaya mencerabut hingga ke akar-akrnya peradaban yang sudah ada berabad-abad untuk digantikan dengan identitas baru.
ADVERTISEMENT
Setelah perusakan dan penghancuran situs-situs bersejarah berupa candi-candi maka proses selanjutnya pengaburan sejarah. Dikatakan bahwa Klaten merupakan wilayah hutan belantara yang tiada penghuninya. Dikatakan candi-candi mengalami kerusakan karena bencana alam atau tidak ada lagi yang merawat. Lalu dibuat versi sejarah yang direkayasa atau dimanipulasi dengan cerita atau dongeng yang absurd dan tentu saja berisi pembodohan.
Diceritakan bahwa Klaten berasal dari kata Melati (bahasa Jawa: Mlathi) yang berubah menjadi kata Klathi, sehingga memudahkan ucapan kata Klati berubah menjadi kata Klaten. Melati disebutkan sebagai nama seorang kyai sekitar 560 tahun lalu yang datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Melati disebut sebagai Abdi dalem Keraton Mataram yang ditugaskan oleh raja untuk menyerahkan bunga Melati dan buah Joho untuk menghitamkan gigi para putri kraton (Serat Narpawada).
ADVERTISEMENT
Dalam cerita yang berisi penyelewengan ini, Melati bernama lengkap Kyai Melati Sekolekan. Dukuh tempat tinggal Kyai Melati diberi nama Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pula Kyai Melati dimakamkan. Kyai Melati Sekolekan disebut-sebut sebagai murid dari Sunan Kalijaga. Sementara Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan wali yang terkenal di Pulau Jawa dengan sebutan Wali Songo.
Pendiri atau yang membuka peradaban di Klaten atau Klaten Founding Father’s sebenarnya adalah raja-raja Medhang Matriam atau Mataram Kuno yakni Sanjaya, Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi atau Lokapala atau Gupala bukan Kyai Melati Sekolekan yang merupakan murid Sunan Kalijaga. Sanjaya, Pikatan dan Kayuwangi adalah orang-orang wegig dan linuwih yang namanya terkenal hingga ke mancanegara seperti India dan China. Mereka adalah para leluhur orang-orang Klaten yang merupakan manusia-manusia luar biasa dengan karya peradaban yang bisa dinikmati oleh anak keturunannya berabad-abad kemudian. Candi-candi dan umbul-umbul yang tersebar di seluruh Klaten adalah obyek wisata yang menghasilkan rezeki bagi anak keturunannya.
ADVERTISEMENT
Bukti-buktinya adalah jelas dari prasasti Ngupit, Kronik China, Candi-candi dan petirtan atau umbul-umbul yang tersebar di berbagai penjuru di Klaten. Kebenaran harus diwartakan karena akan membuka jalan pada pencerahan akal budi bagi para keturunannya untuk mengetahui siapa leluhurnya yang sebenarnya. Kejujuran adalah modal awal mengakui semua hal di masa lalu untuk menatap masa depan.
Ketidakjujuran menyebabkan manusia menjadi tidak sadar siapa dirinya dan siapa leluhurnya yang sebenarnya. Orang yang tidak sadar akan dirinya dan leluhurnya, tidak akan punya jati diri. Ketidakjujuran juga merupakan akar kebodohan dan kejahatan. Penulis Estonia bernama Jüri Lina dalam bukunya, Architects of Deception (2004) atau “Seni Penipuan” mengungkapkan ada tiga cara melemahkan dan menjajah suatu negeri; Kaburkan sejarahnya, hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu hingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, putuskan hubungan mereka dengan para leluhur, dengan mengatakan jika leluhur itu bodoh dan primitif.
ADVERTISEMENT