Sengkarut Kisruh Dana Haji

Tamsil Linrung
Senator DPD RI, Pendiri Jaringan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM)
Konten dari Pengguna
10 Juni 2021 16:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tamsil Linrung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : DW.COM
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : DW.COM
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Tamsil Linrung (Anggota DPD RI, Ketua Pokja Parlemen Indonesia dan Arab Saudi Tahun 2017)
ADVERTISEMENT
***
Seperti pernah dilansir Harvard Business Review, sikap seolah-olah memerangi Covid-19, dapat digunakan sebagai argumen oleh rezim anti demokrasi dalam membenarkan kebijakannya. Salah satu ciri rezim anti demokrasi adalah tidak transparan atau berupaya menyembunyikan informasi yang semestinya jadi domain publik.
Kali ini, wabah Covid-19 menjadi tersangka primer musabab pembatalan haji 2021. "Demi keselamatan jamaah", begitu kata Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Sungguh menyentuh hati.
Tapi, tunggu dulu. Rasanya ada yang janggal di sana. Pertama, jika karena Covid, lalu mengapa negara melobi kuota? Kedua, setelah beberapa kali terkesan meremehkan, tiba-tiba saja kita seperti bangsa yang super hati-hati dalam persoalan Covid-19. Ingat bagaimana santainya pemerintah menyambut pandemi, kala itu? Atau wacana pariwisata yang sering menjadi kontroversi di tengah wabah? Pejabat yang mengundang kerumunan?
ADVERTISEMENT
Ketiga, kalau masalahnya Covid, seharusnya protokol kesehatan yang dimaksimalkan. Ya, karantina sebelum dan setelah berangkat, pembatasan jamaah, atau hal mendasar semacam 3M. Namun berbeda dengan negara lain, Indonesia mengambil langkah ekstrem. Tikus yang membuat ulah, lumbung padi yang dibakar. Seolah-olah begitu.
Tidak heran, persepsi publik membuncah liar. Ada banyak tudingan, sebanyak bantahan pemerintah. Beberapa gagal paham menyelip dalam dialektika ini. Ayo kita jernihkan.
Pertama, tentang pembatalan haji. Pembatalan tentu hanya konsekuensi saja. Yang menjadi soal adalah alasan pembatalannya. Argumentasi pemerintah terbukti tidak mampu meyakinkan masyarakat, lemah, sehingga mudah dibantah. Selain covid, musabab yang sempat mengemuka adalah tidak adanya kuota haji atau waktu yang mepet. Setali tiga uang, alasan ini lebih lemah lagi.
ADVERTISEMENT
Kedua, tentang penggunaan dana haji untuk infrastruktur. Pemerintah bilang tidak ada dana haji untuk pembangunan infrastruktu. Tapi, mekanisme pengelolaan dana haji pasca investasi melalui sukuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) membuka peluang ke arah itu. Pasal 4 UU 19/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan, SBSN diterbitkan untuk membiaya APBN dan belanja negara termasuk membiayai infrastruktur.
Sementara itu, Kementerian Keuangan telah merilis sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai sukuk dalam rentang waktu 2013 hingga 2020. Beberapa di antaranya adalah proyek Tol Solo-Ngawi-Colomandu, Jawa Tengah, pendirian Jembatan Youtefa di Jayapura, dan jalur ganda kereta lintas selatan Jawa. Lalu, atas keyakinan apa pemerintah menjamin tidak ada dana haji untuk membiayai infrastruktur?
Dana haji untuk infrastruktur sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Syaratnya, skala prioritasnya mengutamakan fasilitas untuk kepentingan jamaah. Toh duit haji adalah dut jamaah juga. Kita pernah punya cita-cita untuk memiliki pemondokan sendiri di Arab Saudi. Tapi sampai sekarang masih angan-angan saja sehingga jamaah harus rela berjalan kaki berkil-kilo meter akibat pemondokan yang jauh.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tentang keamanan dana haji. Kita percaya dana jumbo calon jamaah haji tetap kembali, berikut manfaat investasinya. Hanya saja, putarannya harus dikalkulasi matang sehingga saat dibutuhkan, dana telah siap. Ini tentu tidak sulit karena musim pemberangkatan haji dapat dipastikan setiap tahunnya.
Menilik laporan tahunan BPKH, investasi jangka panjang terlihat semakin besar dari tahun ke tahun. Pada 2018 tercatat Rp40 triliun, pada 2019 tercatat Rp60 triliun, dan Rp 90 trilun pada pada 2020.
Sayangnya, publik tidak mendapatkan informasi yang lebih rinci dari angka-angka itu. Misalnya, investasi jangka panjang dialirkan kemana saja, untuk proyek apa saja, dan lain-lain. Ketiadaan atau minimnya informasi tersebut membuat desas-desus beranak pinak tak karuan.
Kita memaklumi posisi BPKH. Lembaga ini sederhananya hanya nasabah saja. Sebagai nasabah, yang paling baik yang dapat dilakukan BPKH adalah memilih investasi terbaik, dengan manfaat maksimal, dan minim resiko. Selebihnya, pengelolaan investasi sepenuhnya urusan bank.
ADVERTISEMENT
Sering terdengar, keamanan dana haji dibuat berlapis. Investasi gagal, maka perlindungan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Namun 95,17 persen aset LPS justru dibelanjakan dalam Surat Berharga Negara (SBN). Total aset LPS mencapai Rp140,16 triliun di akhir 2020. Sebanyak 133,39 atau 95,17 persen dalam bentuk SBN.
Keempat, maka kita harus mendudukan pula positioning BPKH. BPKH adalah lembaga yang ditunjuk negara untuk mengelola dan mengoptimalkan dana haji. Negaralah yang memberikan mandat, bukan jamaah haji. Padahal, yang dikelola adalah uang jamaah, bukan uang negara.
Jadi, BPKH harusnya berada di tengah-tengah secara proporsional antara kepentingan pemerintah dan jamaah haji. Saat-saat begini, jamaah haji memerlukan informasi dan konfirmasi.
Agar suplai informasi pada jamaah maksimal, BPKH seharusnya menggagas terobosan baru untuk masuk ke gelanggang pascainvestasi. Dengan begitu, BPKH dimungkinkan mengetahui ke mana dana haji mengalir, untuk proyek apa saja, dan lain-lain sehingga dapat melaporkannya secara paripurna ke hadapan publik .
ADVERTISEMENT
Kelima, tentang tuntutan audit dana haji. Merespon tuntutan ini, Kepala BPKH Anggito Abimanyu mengatakan, setiap tahun dana haji diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bila pemerintah dan BPKH peka, tuntutan audit seharusnya dimaknai sebagai meningkatnya kekhawatiran publik alias menurunnya kepercayaan masyarakat. Lagi pula, desakan audit menginginkan pelibatan akuntan independen, selain BPK.
Yang santer terdengar adalah misalokasi dana yang berujung tidak siapnya dana haji saat diperlukan. Benarkah demikian? Kalau tidak benar, lalu bagaimana membuktikannya kepada publik? Tentu jawaban yang paling tepat adalah audit dana haji oleh akuntan independen.
Bila tidak, bisik-bisik akan semakin liar dan berpotensi menjadi auman. Selain dugaan misalokasi dana haji, juga muncul variable isu lain yang mengaitkan Habib Rizieq Shihab. Isu ini membangun sudut pandang penghormatan Kerajaan Arab Saudi terhadap HRS selaku keturunan Rasul yang berbanding terbalik dengan ketidakadilan hukum yang diterima beliau di tanah air. Konon, itu punya pengaruh.
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di sana, muncul lagi spekulasi yang mengaitkan pembatalan haji dengan kebangkitan komunis gaya baru. Spekulasi ini seolah mendapat pembenaran ketika ulama atau tokoh Islam dipersekusi, dikriminalisasi, dicap radikal, dan seterusnya, yang dipandang sebagai agenda politik neokomunisme. Pun dengan pengrusakan simbol-simbol Islam. Haji bukan sekadar ibadah mahdhah, tapi juga mengandung syiar Islam, persatuan dan kebersamaan umat, perjuangan dan nilai-nilai Islam lainnya.
Apapun itu, spekulasi hanya bisa dibantah dengan data. Data pulalah yang bisa membackup kebenaran alasan keputusan menteri agama membatalkan ibadah haji pada tahun ini. Kalau musabab gagal berangkat karena misalokasi dana haji, tidak murni pertimbangan Covid-19, menteri agama dan presiden Joko Widodo tentu harus bertanggungjawab.
Jadi, audit sebaiknya dilakukan saja, agar pemerintah terbebas tudingan miring dan rakyat tidak terbelenggu syak wasangka.
ADVERTISEMENT