Petualangan Berpuasa Seorang Mualaf

Ni Made Tasyarani
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
26 April 2022 16:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ni Made Tasyarani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Foto oleh Robert Forever Ago dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Foto oleh Robert Forever Ago dari Pexels
ADVERTISEMENT
Waktu berlalu meninggalkan sebuah memori bahwa ia telah tinggal cukup lama di Pulau Seribu Pura. Pernah pula melintasi benua dan tinggal di Negari Paman Sam. Kini, ia tinggal di tanah rantau dekat ibu kota. Namun, di mana pun ia berada, ketika Ramadan tiba, ia tidak pernah lupa untuk berpuasa.
ADVERTISEMENT
Setahun berlalu sejak Nindya, seorang perempuan yang bertahun-tahun tinggal di Bali, memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Tahun 2021 merupakan kali pertamanya menjalankan puasa sebagai seorang Muslim. Namun, saat itu ia sudah tinggal di Tangerang Selatan dengan suasana Ramadan yang lebih kental daripada di Bali, provinsi dengan mayoritas penduduk beragama Hindu.
Sebelum resmi memeluk agama Islam, Nindya sudah “melatih” kemampuan berpuasa selama Ramadan di berbagai daerah dalam negeri maupun di luar negeri. Ia mulai belajar puasa sejak kelas 4 SD di Bali. Tidak banyak dari masyarakat Bali yang berpuasa atau merayakan bulan Ramadan, membuat godaan muncul di mana pun dan kapan pun untuk Nindya.
“Awal puasa tuh excited banget, tapi waktu dijalani, berat tengah hari karena bawaannya sudah lapar dan bikin pengen marah-marah. Cuma pas buka tuh, bener-bener alhamdulillah banget bisa minum, makan. Selain itu, jadi Muslim di Bali kan minoritas ya, waktu bulan puasa kita jadi merasa exclusive, walaupun godaannya lebih berat, tapi bangga aja, hehe,” ungkap Nindya. Selama berpuasa di Bali, ia dikuatkan oleh ibu dan tetangganya yang Muslim karena mereka membuatnya tidak merasa sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain di Bali, Nindya juga melanjutkan kebiasaan puasa di bulan Ramadan ketika ia tinggal selama satu tahun di Amerika Serikat. Pada saat itu, tantangan yang ia hadapi semakin berat. Pasalnya, Nindya pergi ke Amerika Serikat sebagai siswa pertukaran pelajar yang membuatnya tidak bisa berpuasa bersama ibunya. Ditambah lagi dengan durasi puasa yang tidak menentu dan lebih panjang saat musim panas. Nindya pun mengaku bahwa saat itu ia kerap tidak menjalankan puasa secara penuh dan hanya mencapai dua per tiganya.
Tahun ini, Nindya menghabiskan bulan Ramadan-nya di Tangerang Selatan. Kini sebagai umat Islam, puasa pun telah menjadi ibadah yang harus ia lakukan setiap bulan Ramadan. “Nah, sekarang kan aku tinggal di lingkungan yang mayoritas Muslim itu rasanya beda lagi. Antusiasnya beda, rasanya seperti aku puasa dan ibadah rame-rame, jadi seru,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, beralih kepercayaan tentunya melalui proses adaptasi, terutama dalam hal ibadah. Untuk Nindya, menjalankan dan membangun kebiasaan ibadah salat lima kali sehari adalah hal yang cukup menantang. Namun, hingga kini Nindya selalu mengingatkan dirinya tentang tujuan baik dari ibadah itu sendiri yang telah membantunya dalam menjadi lebih taat dalam menjalankan ibadah. Adaptasi lainnya yang perlu dilalui oleh Nindya, khususnya di bulan Ramadan, adalah mengetahui waktu salat subuh dan iftar. “Waktu subuh dan iftar kan tiap hari beda dan tiap daerah waktunya juga beda, kadang suka bingung ini waktunya udah bener atau enggak,” ucap Nindya.
Tantangan maupun proses adaptasi tersebut tidak lantas membuat Nindya berhenti merayakan bulan Ramadan dengan taat. Untuknya, Ramadan juga memberikan kesan menyenangkan yang selalu ia tunggu-tunggu, seperti berburu takjil dan suasana ramai para umat Islam lainnya yang merayakan. Selain itu, kegiatan berpuasa yang telah ia jalani bahkan sebelum menjadi seorang Muslim itu merupakan perjalanan menantang yang selalu dibayar dengan rasa syukur setiap harinya.
ADVERTISEMENT