Tren Self-Healing Kaum Muda Perlahan Bangkitkan Eksistensi Museum

Ni Made Tasyarani
Mahasiswi Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
8 April 2022 13:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ni Made Tasyarani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Onik, salah satu bagian dari generasi milenial yang pada suatu waktu melakukan self-healing versinya di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Onik, salah satu bagian dari generasi milenial yang pada suatu waktu melakukan self-healing versinya di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suasana di Kota Bandung kala itu sejuk, dengan matahari sedikit menyembul di balik awan. Beruntunglah saat itu yang merupakan hari Minggu, cuaca tidak memperburuk kemacetan di kawasan Cimenyan, Bandung. Motor berdesakan, menyalip lincah melalui celah-celah yang ada, sedangkan mobil mengantre dan jalannya tersendat-sendat.
ADVERTISEMENT
Di tengah-tengah kemacetan itu, Onik, seorang perempuan berusia 26 tahun berencana menghabiskan hari Minggunya dengan self-healing, sebuah ungkapan populer oleh kaum muda yang ingin rehat sejenak dengan melakukan kegiatan yang sekiranya bisa “menyembuhkan” mereka. Onik berangkat dengan mobil. Ia menunggu dengan sabar dan tidak membiarkan kemacetan siang itu mengganggu mood-nya.
Untuk Onik, self-healing di hari Minggu itu ia lakukan dengan mengunjungi sebuah museum seni di Bandung yang bernama Selasar Sunaryo Art Space (SSAS). Seperti namanya, SSAS menyediakan berbagai ruang seni, mulai dari art gallery, spot outdoor bernama Stone Garden, tempat diskusi di Bale Hadap, amphitheater, hingga tempat ngopi di Kopi Selasar.
Bagaimanapun, pergi ke museum untuk Onik yang bekerja sebagai seorang designer juga bisa membantu pekerjaannya, terutama dalam mencari ide. Jadi, pergi ke museum juga merupakan hal yang bermanfaat baginya. Jika diibaratkan, seperti sedang belajar sambil bermain bagi seorang siswa.
ADVERTISEMENT
SSAS hari Minggu itu kedatangan cukup banyak pengunjung, bahkan hampir semuanya dari kalangan gen z dan milenial. Ada yang datang bergerombolan bersama teman-teman satu geng, ada pula yang melakukan museum date alias pergi kencan ke museum.
“Yang menarik dari museum, pertama karya-karyanya selalu ada nilai dan keunikan tersendiri dari karya seni dan konsep yang dipamerkan. Bisa memberi inspirasi dan ide-ide baru dalam membuat project. Kedua, suasana di museum biasanya tenang dan terkonsep. Jadi bisa menikmati karya yang dipamerkan. Lalu estetika yang selalu ada makna tersendiri dari detail-detail keindahan pada karya seni. Ada kesenangan tersendiri saat mengetahui maknanya,” ungkap Onik ketika ditanya apa yang membuatnya begitu tertarik mengunjungi museum, terutama museum seni.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, ketenangan dan kesenangan itulah yang telah mampu menyembuhkan atau menjadi healing dari berbagai macam kesibukan yang telah ia lewati.
Tren self-healing di kalangan anak muda ini telah membuat berbagai tempat wisata semakin eksis, salah satunya museum. Padahal, sebelumnya kaum milenial pernah menjadi sasaran utama untuk menjadi pengunjung museum karena minatnya yang terbilang rendah.
Di tahun 2014, Starbucks pernah mengampanyekan “Ayo ke Museum” yang menargetkan anak muda usia 20-30 tahun. Upaya mendorong minat milenial dalam mengunjungi museum pun dilanjutkan oleh pemerintah. Pada tahun 2018, dilakukan koordinasi antar kementerian untuk mengembangkan museum agar sesuai perkembangan zaman dan teknologi. Kini, pergi ke museum perlahan menjadi tren yang diikuti anak muda dengan dibantu oleh keinginan mereka untuk self-healing, museum date, atau menyebarkan foto di museum yang estetik ke media sosial masing-masing.
ADVERTISEMENT
Generasi milenial maupun gen z yang notabene tech savvy itu memang suka hal-hal berbau inovasi, teknologi, dan instastory. Maka dari itu, menargetkan mereka untuk menjadi pengunjung memang menuntut kebaruan atau keunikan. Di SSAS sendiri, unsur keunikan salah satunya terletak di art gallery yang menyediakan sebuah ruang dengan cermin di empat sisi, memberikan kesan bayangan diri yang tak terbatas ketika kita memasukinya. Kita pun akan disambut oleh sebuah lukisan berukuran besar dengan unsur khas pada hampir setiap lukisan yang ada di SSAS, yaitu sidik jari. Satu mata besar tergambar di tengah-tengah sebuah sidik jari, menatap tajam ke arah pengunjung, bahkan untuk yang melihatnya dari luar ruangan. Benar-benar spot yang kalau kata anak muda, “instagramable”.
ADVERTISEMENT
Onik merupakan salah satu dari beberapa pengunjung yang tertarik dengan spot tersebut. Perlu mengantre dahulu sebelum bisa berfoto di dalam ruangan yang hanya boleh dimasuki oleh satu orang itu. Begitu tiba gilirannya, Onik pun mengambil foto dari berbagai sisi sampai puas. Foto-foto tersebut kemudian akan ia unggah ke instastory dengan menandai lokasi SSAS.
Sekarang bayangkan, jika setiap pengunjung gen z atau milenial melakukan hal yang sama seperti Onik, seberapa besar eksposur yang didapatkan oleh SSAS? Kaum muda kerap membagikan ke mana dan apa yang mereka lakukan ketika self-healing. Onik sendiri, mengaku bahwa ia menemukan informasi tentang SSAS ketika mencari “museum estetik Bandung” di TikTok. “Sebelum pergi ke Bandung, saya sempat scrolling TikTok untuk mencari-cari rekomendasi museum yang ada di sini,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ke depannya, museum-museum lainnya pun memiliki potensi yang sama jika terus dikembangkan dari berbagai aspek. Tidak hanya museum seni, museum bersejarah pun jika dikemas dengan cara yang baru, menarik secara tampilan, atau memanfaatkan teknologi dalam menyampaikan edukasinya, maka akan bisa menarik para gen z maupun milenial. Pada akhirnya, tren self-healing ini akan membuat kaum muda memiliki keinginan yang besar dalam mengeksplor tempat-tempat wisata, asalkan unik dan estetik.