Konten dari Pengguna

Multibahasa di Episentrum Eropa

Tatang Muttaqin
Fellow di Groningen Research Centre for Southeast Asia and ASEAN, Plt. Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
3 Mei 2020 19:45 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tatang Muttaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karpet bunga seluas 1800 Meter persegi terlihat di Grand Place Brussel, Belgia (16/8/2018). Foto: REUTERS/Yves Herman
zoom-in-whitePerbesar
Karpet bunga seluas 1800 Meter persegi terlihat di Grand Place Brussel, Belgia (16/8/2018). Foto: REUTERS/Yves Herman
ADVERTISEMENT
Negeri yang saat ini juga sedang dilanda Covid-19 dengan tingkat kematian yang cukup tinggi di Eropa menurut pantauan Johns Hopkins University, yaitu sebanyak 62 pasien per 100.000 penduduk merupakan perjalanan pertama keluarga ke luar Belanda. Dengan jumlah penduduk yang hanya sekira 11,3 juta (laman Kedubes RI di Brussel) tentu menjadi pertanda perlunya kesungguhan ekstra pemerintah dan warga negeri multikultural ini.
ADVERTISEMENT
Di samping dekat, kunjungan ke Belgia tak lepas dari fakta bahwa Kota Brussel (Belanda) atau Bruxelles (Perancis) merupakan kantor pusat Uni Eropa dan di sana ada Taman Mininya Eropa, Mini Europe. Salju tebal menghiasi ketibaan kami sekeluarga di Kota Brusel sehingga nama jalan nampak tak jelas di sore menjelang gelap musim dingin. Saya dan si cikal berbagi tugas mencari apartemen tempat menginap, sekalipun bolak-balik saya tak menemukan nama jalan yang ditunjukkan peta google. Untungnya pencarian si cikal berhasil atas budi baik, anak muda muslim Belgia keturunan Afrika Utara. Nampaknya jilbab menjadi penanda sang anak muda untuk secara khusus mencarikan pada setiap titik yang tak mudah dikenali plang jalannya, alhamdulillah.
Sejak dalam perjalanan memasuki daerah Antwerpen, wajah Belgia bukan hanya multikultural tetapi juga multibahasa. Suasana multibahasa makin nampak menjelang ketibaan di station Brussel Midi, di samping bahasa Prancis sebagai bahasa mayoritas, Bahasa Belanda sebagai bahasa kedua terbesar, juga Bahasa Jerman, serta Bahasa Arab. Dari sisi budaya juga tak sulit menemukan orang-orang berpakaian seperti rahib Yahudi, di samping tentu sangat banyak perempuan berjilbab.
Sebagaimana di Negara Eropa Utara lainnya, sekalipun agama Islam di Belgia merupakan agama minoritas namun menjadi agama terbesar kedua setelah Katolik Roman, sekitar 4-6,5 persen dari total penduduk. Negara dengan luas 30.528 km², atau lebih kecil dari Provinsi Jawa Tengah ini memiliki pendapatan per kapita sebesar US$ 46.683 data (Bank Dunia, 2019. Perekonomian Kerajaan Belgia ditopang terutama tiga sektor terbesar: jasa, manufaktur, dan administrasi publik.
ADVERTISEMENT
Brussel merupakan Ibukota Kerajaan Belgia sekaligus kantor pusat Uni Eropa sehingga menjadi kota penting dunia. Dengan luas wilayah 161,38 km² atau lebih kecil dari luas Kota Bandung, Jantung Eropa ini ditinggali oleh sekitar 2 juta penduduk atau lebih sedikit dari penduduk Cianjur. Menurut World Population Review, Katolik Roman merupakan agama yang paling banyak dianut penduduk kota Brussel, mencapai 40 persen, disusul penganut agama Islam sekitar 23 persen dan tak sedikit yang Atheis. Potret tersebut semakin memperkuat realitas keragaman penduduk kota Brussel.
Hal yang paling menarik adalah keragaman bahasa yang digunakan di Belgia, dan apalagi kota Metropolitan seperti Brussel. Sejak tahun 1962, dibuat semacam garis batas bahasa antara wilayah utara yang berbahasa Belanda dan wilayah selatan yang berbahasa Prancis yang diikuti dengan perubahan Undang-Undang Bahasa, terutama dalam urusan pemerintahan. Uniknya perbatasan perbedaan bahasa ini dibangun secara demokratis antara komunitas utama di Belgia, Flandria dan Walloon. Merujuk UU Bahasa, area bahasa dibagi menjadi: wilayah Belgia yang berbahasa Belanda, wilayah Belgia yang berbahasa Prancis, wilayah Belgia yang berbahasa Jerman, dan wilayah bilingual, yaitu di Brussel.
ADVERTISEMENT
Masalah bahasa ini cukup pelik, bersyukurlah kita yang multietnis dan multiagama dipersatukan dalam satu bahasa nasional, bahasa Indonesia. Nah, di Belgia, penggunaan bahasa resmi ini cukup pelik dan komplek. Menurut Barbour dan Carmichael [2002], kebijakan bahasa di Belgia dalam pemerintahan dibagi menjadi empat: 1) monolinguistik yang memiliki kekuasaan penuh bahasa Belanda di wilayah Flandria dan bahasa Prancis di wilayah Walloon; 2) bilingualisme Brussel yang didukung infrastruktur linguistik dalam bahasa Belanda dan Prancis; 3) monolinguistik dengan fasilitas khusus untuk kelompok minoritas di daerah perbatasan bahasa untuk melindungi kelompok minoritas berbahasa Belanda, Prancis dan Jerman; dan 4) monolinguistik tanpa fasilitas khusus untuk kelompok minoritas, yaitu untuk penutur bahasa Jerman dengan layanan administrasi berbahasa Prancis, seperti di provinsi Luxemburg (bukan negara Luxemburg).
ADVERTISEMENT
Kebijakan Bahasa tersebut merefleksikan peta ekonomi dan kekuasaan, di mana pengaruh Prancis sangat besar dalam pertumbuhan kota Brussel ternyata berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Dengan adanya perubahan kebijakan di atas, penerapan dua bahasa resmi di Brussel menawarkan ruang untuk kontak bahasa. Namun demikian, tingkat dan penguasaan bahasa Belanda dan Prancis tidak seimbang sekalipun penduduk Brussel rata-rata menguasai lebih dari satu bahasa.
Kebutuhan penguasaan bahasa juga sangat terkait ekonomi dan kekuasaan sehingga penutur bahasa Belanda umumnya memiliki kemampuan bahasa aktif dan pasif dalam bahasa Prancis, tetapi hanya sedikit penutur bahasa Prancis yang lancar berbahasa Belanda, baik secara aktif maupun pasif. Hal akan nampak terasa saat kita berada di ruang publik seperti: hotel, restoran, kafe, dan bar.
Selanjutnya, bahasa juga menunjukkan identitas yang sangat penting dalam masyarakatnya. Bahasa juga merupakan identitas budaya yang diajarkan kepada anak-anak penuturnya. Dengan demikian, penutur yang menggunakan bahasa tertentu menunjukkan identitasnya. Keunggulan Prancis lewat bahasa Prancis akan terlihat karena semua orang berusaha berbahasa Prancis karena jika seseorang tidak mengerti satu kata pun dalam bahasa Prancis, itu adalah sebuah bencana karena akan sulit berinteraksi dan sulit menikmati akses ekonomi.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, kesenjangan ekonomi antara Wallonia yang lebih makmur dari Flandria semakin diperkecil namun dominasi bahasa Prancis tetap tak terkalahkan karena ada juga pandangan positif tentang bahasa Prancis sebagai bahasa kaum ningrat (aristokrat) di Eropa, sementara bahasa Belanda sebagai bahasa kaum bawah (proletariat).
Munculnya bahasa Inggris yang semakin mendunia juga mulai menggeser tingkat penggunaan bahasa di kota Brussel yang sebelumnya didominasi Prancis dan Belanda, kini bergeser menjadi bahasa Prancis yang disusul bahasa Inggris dan bahasa Belanda sebagai bahasa terbesar ketiga. Seiring dengan melimpahnya imigran dari jajahan Belgia di Afrika dan juga imigran Timur Tengah, bahasa Arab menjadi bahasa keempat dengan penutur terbanyak.
Keragaman penguasaan bahasa berdampak pada semakin tidak mudahnya menekan kesenjangan ekonomi antara penduduk, terutama kelompok minoritas. Kelompok penutur berbahasa Arab jika tidak cukup fasih bahasa Prancis atau Inggris maka akan semakin sulit dalam berkompetisi untuk dapat menikmati kesempatan dan pekerjaan. Sementara keluarga dan lingkungan sendiri masih ingin mempertahankan identitas dan bahasanya sehingga semakin kompleks bagi usaha untuk menekan kesenjangan akibat keragaman bahasa. Tiap negara punya keunikan dan tantangan, di sanalah semua harus saling belajar. [***]
ADVERTISEMENT
Penulis merupakan anggota James Coleman Associations, menyelesaikan PhD di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda dan Executive Education di Harvard University, Amerika Serikat.