Bersama BRI, Sukses di Rantau Mandiri di Negeri Sendiri.

Tati Tia Surati
Buruh Migran di Hong Kong
Konten dari Pengguna
3 Mei 2018 15:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tati Tia Surati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perkenalkan namaku, Tati Tia Surati. Aku adalah seorang Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang berasal dari Cilacap, Jawa Tengah. Kini sudah hampir Sepuluh tahun lamanya bekerja di Hong Kong. Banyak sekali pengalaman suka maupun duka yang aku alami dan ingin aku bagikan ke teman-teman. Semoga apa yang aku bagikan ini bisa bermanfaat dan bisa memotivasi teman-teman dimanapun kalian berada.
Bagiku, menjadi Buruh Migran di Hong Kong adalah keterpaksaan. Mengapa demikian? jika saja Pemerintah Indonesia menyediakan lapangan pekerjaan dan upah yang layak, tentu aku tidak perlu memilih untuk bekerja jauh-jauh ke Hong Kong meninggalkan keluarga tercinta disaat usiaku masih belia dan jika pendidikan bagi warga negaranya terjamin, mungkin orang tuaku tidak kebingungan dalam membiayai anak-anaknya untuk bersekolah ke jenjang perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Hong Kong menjadi negara pilihan yang aku tuju untuk mengais rezeqi, agar dapat membantu perekonomian keluargaku dan demi masa depan keluargaku agar hidup layak dan sejahtera. Mengapa pilihan itu ke Hong Kong? Alasannya adalah karena aku ingin membuktikan kebenaran dari frasa yang beredar dalam masyarakat Indonesia yaitu frasa "dari Hong Kong" meskipun itu sebenarnya kalimat tanya atau kalimat pernyataan yang kadang digunakan untuk meledek orang lain.
"Lihat tuh, bajunya saja dekil. Sekolah aja jalan kaki, dan Ingusan. Kamu bilang dia cantik dan anak orang kaya, teman saja dia tidak punya? Cantik dilihat dari mana? iya kali cantik dan kaya dilihat dari Hong Kong? Nah, begitulah kira-kira bunyi kalimat yang kerap kali aku dengar sewaktu kecil.
ADVERTISEMENT
Mereka memotivasiku untuk membuktikannya secara nyata, dan keberadaanku saat ini di Hong Kong demi merajut asa. Frasa "dari Hong Kong" meski digunakan untuk meledek, tapi aku jadikan itu sebagai kenyataan dan aku ucapkan banyak terimakasih kepada mereka yang dulu pernah merendahkanku bahwa; anak yang dulunya mereka hina dekil, miskin dan ingusan, kini sudah menjelma menjadi wanita dewasa yang cantik, mandiri dan berpendidikan berkat dari Hong Kong.
Sebelum ke Hong Kong, aku hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama di salah satu sekolah negeri favorite di Patimuan-Cilacap. Lalu, melanjutkan Sekolah Menengah Atas tahun 2010 di Hong Kong melalui Program Paket C dan saat ini masih tercatat sebagai salah satu Mahasiswa Universitas Terbuka Unit Program Pembelajaran Jarak Jauh, Jurusan Ilmu Komunikasi.
ADVERTISEMENT
Masalah bullying sudah menjadi makananku sehari-hari sejak tinggal di Cilacap dan hal serupa juga aku alami ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Bahunia ini. Aku bekerja di Majikan yang memiliki perusahaan ekspor dan impor garmen untuk wilayah Afrika dan tinggal di kawasan Golden Crown, Tsim Sha Tsui. Mereka mengangap aku tidak becus dalam menghandel bisnis mereka, meskipun mereka aslinya tahu pekerjaanku adalah Pekerja Rumah Tangga, bukan visa kerja kantoran.
Seperti kebanyakan BMI pada umumnya, saat pertama kali ke Hong Kong pasti diangap bodoh dan tidak bisa bekerja apalagi penguasaan bahasa penempatan sangat minim sekali sehingga kerap mendapat kekerasan secara verbal dan non verbal. Kebanyakan BMI pemula buta akan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan ketenaggakerjaan di Hong Kong. Mereka juga tidak tahu harus mengadu kemana ketika menghadapi masalah. Rumah kita di Hong Kong yaitu KJRI saja masih banyak Buruh Migran Indonesia yang tidak tahu ada dimana tempatnya dan tidak pernah juga diikutkan dalam acara Exit Program.
ADVERTISEMENT
Di majikan pertama ini seharusnya, aku merawat anak kecil blesteran Amerika-Cina dari keluarga Samucha, tapi nyatanya aku malah dipekerjakan di rumah sekaligus kantor yang hampir setiap hari tidak pernah sepi kedatangan pelanggan dari etnis berkulit hitam. Kalau lagi ramai pelanggan, sikap majikan sangat baik kepadaku, apa saja kebutuhanku sehari-hari dia berikan tanpa aku minta. Akan tetapi bila lagi sepi pelanggan, aku jadi pelampiasan kemarahannya.
Di majikan ini, seluruh hak-hakku di sunat oleh agen. Aku tidak pernah libur, tidak dapat uang penggantinya, tidur cuma empat jam per hari, bahkan makanan pun sering aku beli sendiri. Badanku kurus kering dan kurang cairan jadi gampang sakit dan akhirnya aku pulang setelah masa potongan selesai, tujuh bulan alias kerja bakti. Aku pulang dengan tangan kosong, tanpa bawa hasil. Ibarat kata berangkat jadi monyet pulang pun masih jadi monyet, sedih.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan di rumah, setelah masa penyembuhan selesai, aku bertekad untuk kembali ke Hong Kong lagi. Tekadku kala itu sangat kuat tertanam dalam alam bawah sadarku, bahwa aku harus berhasil. Apapun masalahnya aku harus bisa menjaga diriku sendiri dan bisa menabung demi membangun rumah untuk orang tuaku agar tidak selalu dihina oleh tetangga karena rumahku yang terbuat dari kayu sudah tua dan keropos.
Aku menunggu job order dan visa turun di Penampungan Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang berlokasi di Kali Malang, Jakarta. Disana selama tiga bulan, dikurung dan digembleng bahasa. Tinggal di PJTKI itu bagaikan tinggal di dalam penjara karena terisolasi dari dunia luar. Di PJTKI itu makan cuma dikasih dua kali sehari dan itu saja dengan lauk ala kadarnya. Bisa saja hari-hari menu makananya sayur taoge, sayur terong, sayur bening dan makan telor paling satu minggu satu kali, cuma satu butir per orang, itu pun kalau kebagian. Padahal BMI harus bayar potongan 7 bulan dan perbulan dipotong HKS 3000, sejumlah 21.000 dollar, kalau di rupiahkan sekarang setara dengan 35 juta, tapi tidak mendapat fasilitas yang layak.
ADVERTISEMENT
Mindset yang sudah aku tanamkan sebelum keberangkatan akhirnya berbuah manis. Aku mendapat majikan yang baik, jaga nenek dan kakek. Mereka sayang kepadaku, dan hampir setiap bulan aku jarang keluar duit untuk membeli keperluan pribadi, uang selalu aku kirimkan rutin setiap bulan ke rekening BRI milik Ibuku. Hak-hak aku sebagai pekerja juga aku dapatkan tanpa ada halangan. Aku libur setiap minggu dan mulailah aku keluar untuk mengenal dunia Hong Kong yang terkenal dengan hinggar binggar dunia malam nan glamour ini.
Aku mulai mencari informasi tempat belajar yang gratis dan aku bertemu dengan sahabat-sahabat yang baik. Saking hausnya akan ilmu, sampai-sampai hampir saja aku akan dikristenisasikan oleh seseorang yang mengajariku les gitar. Aku beruntung karena Alloh masih melindungiku untuk tidak berbelok dari akidah islam yang telah orang tuaku tanamkan sejak kecil. Sejak sering mendapat ajakan dari guru gitarku untuk pindah agama, akhirnya aku putuskan untuk menjauhinya.
ADVERTISEMENT
Aku tidak bisa dan tidak mau berpindah agama, karena aku nyaman dengan agamaku dan aku juga menyayangi keluargaku, tidak mungkin aku mengecewakan mereka dan Alhamdulilah sahabat sekaligus guru gitarku itu akhirnya menghormati keputusanku dan tidak memaksaku lagi untuk sejalan dengan agamanya dan hubungan kita pun masih sangat erat tanpa mempermasalahkan agama apa yang kita anut saat kumpul bersama. Kami tetap bersatu dan berbagi walau dalam perbedaan.
Setelah tidak lagi belajar gitar, aku mengikuti program Paket C atau sekolah kesetaraan SMA. Disinilah awal mula aku mulai mengenal pasangan suami istri yaitu Ustaz Ghofur dan Ustazah Melani. Ustaz Ghofur adalah Ustaz muda yang menjabat sebagai General Manager Dompet Dhuafa pada saat itu. Dari mereka berdualah, aku belajar ilmu managemen POAC (Planing, Organising, Actuating dan Controling) dan beliau berdualah mengajakku untuk bergabung menjadi salah satu Relawan Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK) sesuai bakat dan minatku di kepenulisan dan Alhamdulilah aku termasuk salah satu freelance dari DDHK News dan menjadi pengurus sebuah organisasi serikat Buruh yaitu Union Migran Indonesia di Hong Kong (Unimig Hk) bagian Divisi Media dan koselingan.
ADVERTISEMENT
Hampir dua tahun lamanya aku digembleng ilmu jurnalistik oleh Trainer dan Penyiar Radio, sekaligus wartawan asal Bandung yaitu Romel Tea (Dulu Pemred, DDHK News dan Dewan Pembina Majalah CahayaQu). Kang Romel inilah orang yang paling sabar dalam mengajari dan membimbingku dalam menulis karena aku seorang pemula yang banyak tanya. Beliau yang mengenalkanku bagaimana menulis di media online dan media cetak seperi majalah dan koran. Sedangkan saat di Unimig Hong Kong, aku belajar menjadi konselor yang baik dari para senior yang sudah paham betul seluk beluk permasalah yang di hadapi BMI di Hong Kong.
Alasanku untuk bergabung dengan UNIMIG Hong Kong adalah karena secara pribadi pernah mengalami penindasan dan bolak balik ganti majikan baik break atau terminit contrak, sehingga aku tidak mau jika teman-teman BMI di Hong Kong bernasib sama seperti diriku. Jadi aku belajar mengenai aturan perburuhan kepada teman-teman yang sudah terlebih dulu berjuang digaris masa seperti Sringatin, Eni Lesari, Fendy Ponorogo, Fafa Gonet, dan belajar dari teman teman Lembaga Pelayanan Advokasi Migran DDHK (LPAM).
ADVERTISEMENT
Cita-citaku sejak kecil memang ingin menjadi pengacara atau menjadi seorang Hakim Agung, namun karena di Hong Kong ini Universitas Terbuka hanya membuka tiga bidang disiplin ilmu yaitu Administrasi Niaga, Sastra Inggris dan Komunikasi, maka aku memilih mengambil jurusan ilmu komunikasi karena sesuai dengan hobby yang sedang aku geluti saat itu. Ketika sudah menjadi mahsiswa, aku pribadi banyak mengalami kesulitan karena beberapa kali cuti kuliah akibat dari permainan peraturan lembaga pokjar (Kelompok Belajar) , bahkan sempat hampir gagal ujian semester pada tahun 2015. Ayahandaku meninggal dunia karena kepikiran oleh masalahku akibatnya beliau tidak bisa konsentrasi saat bekerja mencari rumput untuk pakan kambing ketika di Ladang.
Walaupun sibuk belajar kesana dan kemari, aku tidak pernah mengalami kesulitan dalam keuangan yang berarti karena aku pribadi orangnya irit dan seluruh keuangan aku percayakan ke orang tua untuk mengaturnya. Ibuku biasanya akan menggunakan uang tabunganku yang ada di rekening BRI miliknya itu untuk membeli aset sebagai investasi jangka panjang seperti sawah, tanah pekarangan, kebun dan membangun rumah serta membiayai biaya pengobatan kakak dan menyekolahkan kedua adik kandungku.
ADVERTISEMENT
Pernah juga ada tetangga yang hendak menjual kebun sengon dan harganya lumayan murah, tapi tabungan Simpedes milik Ibu sudah habis karena di depositokan jangka panjang. Akhirnya karena tidak ada uang cash orang tuaku berinisiatif untuk meminjam dana KUR BRI (Kredit Usaha Rakyat) dengan bunga yang sangat rendah, dan jaminan surat tanah atau surat izin usaha milik adikku, sehingga bisa membeli kebon sengon tersebut.
Bukan hanya keluargaku saja yang menikmati fasilitas dari BRI, tapi aku sendiri secara pribadi merupakan anak binaan dari Bank BRI dan BRI Remittance di Hong Kong. Aku bergabung di Teras Usaha Micro BRI angkatan ke-4 dan Alhamdulilah banyak ilmu yang aku dapatkan, selain dari ilmu wirausaha, ada juga bagaimana menjadi Event Organiser yang handal dan juga pendalaman ilmu keagamaan sebagai pondasi dalam hidup yang diberikan oleh para mentor dari BRI seperti; Chief Representative Bank BRI yaitu Robby Sastraatmadja bersama Istrinya, Noy Robby dan Gigieh Prakarsa, selaku Direktur BRI Remittance dan narasumber lainnya.
ADVERTISEMENT
Atas saran dari Chief Representative Bank BRI, Robby Sastraatmadja, aku membuat akun Bank BRI atas nama pribadi dengan berbagai pertimbangan untuk safety diri ketika kembali ke tanah air, agar uang tetap utuh, bisa buat membuka usaha dan tidak terpakai untuk urusan remeh temeh, sehingga tidak perlu kembali ke Hong Kong lagi menjadi Buruh Migran jika sudah mandiri. Selama ini aku juga tidak pernah sungkan-sungkan meminta bantuan ke Direktur BRI Remittance, yaitu Gigieh untuk membantuku mengecek transferan yang masuk atau hanya sekdar untuk melihat saldo tabunganku secara online.
Meskipun sekarang tidak aktif setiap minggu bergabung dengan kegiatan BRI, karena masih banyak kesibukan lain, aku tetap masih mendapat ilmu yang mereka ajarkan melalui online, WhatsApp grup. Terima kasih BRI dan terima kasih juga kepada KJRI Hong Kong untuk terus berupaya memberika pelayanan yang terbaik bagi Warga Negara Indonesia di Hong Kong. Semoga tidak ada diskriminasi yang dialami oleh BMI Hong Kong. (Tati Tia Surati/Surati Mushadi)
ADVERTISEMENT