Keunikan Pemungutan Pajak Rokok di Indonesia

tedy iswahyudi
Mahasiswa Program Pascasarjana Administrasi Fiskal Universitas Indonesia dan penulis opini lepas, bekerja di Ditjen Pajak.
Konten dari Pengguna
29 Januari 2021 10:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tedy iswahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meskipun Pajak Rokok merupakan pajak daerah, namun dalam pelaksanaannya, pemungutan, penyetoran, dan administrasi Pajak Rokok dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Dibanding dengan jenis pajak daerah lainnya, Pajak Rokok juga memiliki legal karakter yang unik. Meski disebut sebagai pajak atas konsumsi rokok, namun tarif pajaknya dikenakan terhadap nilai Cukai Rokok.
Ilustrasi
Dalam sejarah pengenaan pajak di Indonesia, Pajak Rokok merupakan jenis pajak yang relatif masih baru diterapkan. Hal ini bukan berarti bahwa atas konsumsi rokok atau produk tembakau sebelumnya tidak dikenakan pajak.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, rokok telah lama menjadi objek pengenaan Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dasar regulasi Pajak Rokok adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Meski diatur dalam regulasi setingkat undang-undang, tetapi Pajak Rokok di Indonesia termasuk sebagai pajak daerah (local tax). UU PDRD telah memberikan kewenangan sekaligus diskresi kepada pemerintah daerah untuk memberlakukan Pajak Rokok di wilayahnya. Kewenangan atas Pajak Rokok ini diberikan kepada Pemerintah Provinsi dan berlaku mulai 1 Januari 2014.
Meskipun Pajak Rokok merupakan pajak daerah, namun dalam pelaksanaannya, pemungutan, penyetoran, dan administrasi Pajak Rokok dijalankan oleh Pemerintah Pusat, yaitu Kementerian Keuangan. Hal ini bisa diketahui di ketentuan Pasal 27 ayat (5) UU PDRD yang memberikan mandat kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok ini.
ADVERTISEMENT
Implementasi dari pemberian mandat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PMK Nomor 11/PMK.07/2017. PMK ini berisi petunjuk teknis mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok di lingkup Kementerian Keuangan. Banyak Perda atau Pergub tentang pelaksanaan Pajak Rokok yang mencantumkan PMK tersebut sebagai konsideran di peraturan daerahnya. PMK tersebut mulai berlaku mulai 1 Januari 2014, bersamaan dengan pemberlakuan Pajak Rokok berdasarkan UU PDRD.
Secara konsep, penyelenggaraan administrasi dan pemungutan Pajak Rokok yang dilakukan Pemerintah Pusat ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Davey, sebagaimana dikutip oleh Prakosa dan Kembang (2003) bahwa pajak daerah adalah: a) Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan dari daerah itu sendiri; b) Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah; c) Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan Pemerintah Pusat tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah; atau d) Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat, tetapi hasil pungutannya diberikan kepada Pemerintah Daerah.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan dengan jenis pajak daerah lainnya, Pajak Rokok memiliki legal karakter yang unik. Meski disebut sebagai pajak atas konsumsi rokok, namun tarif pajaknya dikenakan terhadap nilai Cukai Rokok. Dengan kata lain pengenaan pajak atas konsumsi rokok dikenakan secara tak langsung melalui Cukai Rokok.
Pemilihan Cukai Rokok sebagai tax base menurut penulis disebabkan karena pada dasarnya pengenaan Cukai Rokok dan Pajak Rokok memiliki tujuan yang beririsan, yaitu bersifat regulerend. Sama-sama ingin mengatur dan membatasi konsumsi rokok, terutama ditujukan kepada konsumen rokok golongan sosial menengah ke bawah yang merupakan golongan konsumen terbesar.
Para ahli umumnya sepakat bahwa pemungutan pajak daerah tidak boleh menimbulkan efek pajak berganda, yang artinya terhadap objek yang sama dikenai pajak berkali-kali. Jikalau pemerintah ‘terpaksa’ hendak mengenakan pajak daerah atas objek (taxe base) yang sama, secara konsep hal ini masih bisa dibenarkan dengan memberlakukan pungutan tambahan atau opsen. Yang mana hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Brotodiharjo (2003) bahwa dalam hal suatu pungutan pajak oleh daerah akan merupakan suatu pajak ganda, maka daerah hanya dapat memungut tambahan (atau opsen) saja atas pajak yang dipungut oleh negara itu.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mengenakan tarif Pajak Rokok terhadap harga rokok, pemerintah justru memilih tax base Pajak Rokok dari nilai Cukai Rokok. Dengan begitu, Pajak Rokok bukan merupakan pungutan tambahan (opsen) dari Cukai atau PPN rokok, tetapi merupakan jenis pajak tersendiri.
Tampak bahwa pemilihan tax base Pajak Rokok dari nilai Cukai Rokok benar-benar telah dipertimbangkan dengan matang oleh pemerintah. Terbukti bahwa persoalan pajak berganda atas rokok tidak muncul sebagai isu di masyarakat. Selanjutnya, pemilihan Cukai Rokok sebagai tax base telah memungkinkan proses pemungutan Pajak Rokok menjadi sangat efisien. Dimana pemerintah tidak perlu lagi membangun sistem administrasi, teknologi, dan infrastruktur baru yang mahal untuk memastikan hasil pajak masuk ke kas negara.
Pemerintah cukup memberikan “tugas tambahan” kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memungut Pajak Rokok bersamaan dengan saat pengumpulan penerimaan negara dari Cukai Rokok. Dengan demikian, dapat dihindarkan pula timbulnya biaya sosialisasi dan adaptasi yang besar kepada aparat daerah (apabila dipungut oleh Pemerintah Daerah).
ADVERTISEMENT
Secara teknis Pajak Rokok dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh wajib pajak pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok, kemudian disetorkan bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke kas negara. Instansi di bawah Kementerian Keuangan yang terlibat langsung dalam pemungutan dan pengelolaan Pajak Rokok adalah: 1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang bertugas meneliti dan mengawasi untuk memastikan Pajak Rokok dibayar sebagaimana mestinya, serta memproses urusan administrasinya; 2) Direktorat Jenderal Perbendahaan (DJPb), yang bertanggung jawab sebagai pemegang rekening kas negara dan menjalankan sebagian fungsi kuasa Bendahara Umum Negara; dan 3) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang bertugas menetapkan proporsi dan estimasi pendapatan Pajak Rokok masing-masing provinsi, serta memantau dan melaporkan alokasinya.
Justifikasi lain mengapa administrasi dan pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Pemerintah Pusat juga dapat ditinjau dari sisi ekternalitas atas konsumsi rokok. Seperti dimaklumi, konsumsi rokok bisa dilakukan di mana saja sehingga penerima dampak negatifnya bukan hanya di daerah produsen rokok saja. Dampak negatif rokok tidak bisa ditangani oleh masing-masing daerah, karena sifatnya lintas batas. Dengan demikian Pemerintah Pusat harus turun tangan guna memastikan pengelolaan Pajak Rokok yang tepat sasaran, karena Pajak Rokok memang didesain untuk mengatasi eksternalitas negatif rokok.
ADVERTISEMENT
Selain karena alasan di atas, Pajak Rokok dikenakan terhadap objek yang bersifat bergerak (mobile). Oleh karena itu diperlukan mekanisme pemungutan yang terpusat agar lebih efektif dan efisien dalam pengelolaannya, termasuk alokasinya. Seperti diketahui dasar pengenaan Pajak Rokok dihitung dari besarnya Cukai Rokok.
Meski pada dasarnya merupakan pajak atas konsumsi rokok, tarif Pajak Rokok dikenakan secara tidak langsung terhadap nilai Cukai Rokok. Karena Cukai Rokok dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, akan lebih efisien apabila mekanisme pemungutan Pajak Rokok juga dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Hal yang lebih penting adalah bahwa seluruh hasil penerimaan Pajak Rokok dikembalikan ke daerah secara adil.
***