Amilia Agustin, Penerima SATU Indonesia Awards 2010 Termuda

Konten Media Partner
26 Juni 2019 16:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Amilia Agustin, penerima SATU Indonesia Awards 2010 dalam bidang lingkungan. Sampai saat ini, ia tercatat sebagai penerima penghargaan termuda. (Foto: Temali)
zoom-in-whitePerbesar
Amilia Agustin, penerima SATU Indonesia Awards 2010 dalam bidang lingkungan. Sampai saat ini, ia tercatat sebagai penerima penghargaan termuda. (Foto: Temali)
ADVERTISEMENT
Amilia Agustin masih mengingat momen 9 tahun silam. Kala usianya 14 tahun, dia mendapat undangan ke Jakarta sebagai kandidat Penerima SATU Indonesia Awards 2010. Mulanya Amilia mengira kandidat lain peraih penghargaan itu adalah anak-anak seusianya, namun ternyata dia menjadi kandidat termuda.
ADVERTISEMENT
"Dulu datangnya dengan Mama. Orang-orang menyangka Mama yang jadi kandidat Astra Award. Jadi yang ditanya-tanya oleh kandidat lain tuh Mama," ujar Amilia tentang momen di tahun 2010 itu, saat ditemui temali di Starbucks City Plaza, Jakarta Timur, Minggu (25/5).
Saat itu, menurut Amilia, kandidat lain yang usianya paling dekat dengannya merupakan seorang mahasiswa. Amilia tercatat menjadi kandidat termuda bukan hanya pada ajang SATU Indonesia Awards 2010, melainkan sejak program itu dirintis hingga kini.
Apa yang membuat Astra terkesan dan menjadikan Amilia yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama sebagai kandidat peraih Astra Award?
Ami, panggilan sehari-hari Amilia, menceritakan kisah itu berawal dari keresahan yang kebetulan muncul saat pelajaran olahraga di sekolahnya. Saat itu, guru olahraga meminta seluruh muridnya, termasuk Ami, untuk lari berkeliling kompleks sekolah. Kemudian, di satu titik rute lari, Ami tak sengaja melihat seorang bapak sedang makan di dekat gerobak berisi penuh sampah.
ADVERTISEMENT
“Itu jangan-jangan sampahnya dari sekolah kita, ya,” kata Ami mengulang apa yang ada di pikirkannya saat itu. “Kalau si bapak itu sakit, jangan-jangan kita yang kena dosa juga.”
Ami menceritakan pengalaman yang disaksikannya itu kepada guru biologi sekaligus pembimbingnya di ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR), Ibu Nia. Menurut Ami, saat itu kampanye zerowaste atau upaya minimalisasi produksi sampah belum populer di kalangan anak muda.
"Bu, kira-kira kita bisa melakukan apa ya tentang sampah ini?" ujar Ami.
Bermula dari kepedulian pada tukang sampah, akhirnya Ami terenyuh untuk mengatasi masalah sampah. (Foto: Dokumentasi Temali)
Lalu, Ibu Nia menyarankan Ami dan teman-temannya di ekstrakurikuler KIR untuk mendatangi Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang bergerak di bidang pengomposan dan pemilahan sampah. Sejak itulah Ami dan teman-temannya rutin belajar di YPBB, hingga menginspirasi mereka untuk membuat tempat pemilahan sampah organik dan anorganik.
ADVERTISEMENT
"Pada 2008, kita bikin di tiap kelas kardus-kardus untuk mewadahi sampah organik dan anorganik. Tapi itu pun dihina-dina," tutur Ami mengenang saat dia dan teman-temannya memulai upaya itu.
Guru-guru Ami saat itu pun sempat memprotesnya karena penggunaan kardus sebagai tempat sampah dinilai kurang estetis.
"Akhirnya, kardusnya dibungkus pakai kertas kado. Tapi ternyata masih suka ditendang-tendang sama anak cowok yang suka main bola," kata Ami.
Pengalaman pahit itu membuat Ami dan teman-temannya menyadari bahwa kampanye pemilahan sampah akan sangat berat jika hanya dilakukan segelintir orang. Kemudian Ami punya ide untuk mengampanyekan masalah ini saat Masa Orientasi Sekolah (MOS) di sekolahnya.
"Waktu itu aku belum berani ngomong, jadi pakai wayang-wayangan," ujar Ami yang kala itu baru naik ke kelas 8.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika usai berdiskusi, Ami dan teman-temannya sepakat membentuk subdivisi baru di ekstrakurikuler KIR yang berkegiatan di bidang pengelolaan sampah di sekolah. Subdivisi itu dinamai 'Sekolah Bebas Sampah' atau 'Go to Zerowaste School'. Anggota subdivisi itu perlahan bertambah hingga berjumlah 10 orang. Sejak itu mereka kerap diajak sang pembimbing, Ibu Nia, untuk memperkenalkan programnya di berbagai acara bersama para guru.
Amilia Agustin Foto: Dok. ASTRA
Ami dan teman-temannya mencari cara untuk ‘menyulap’ sampah-sampah yang mereka kumpulkan menjadi barang yang bisa digunakan kembali. Saat itu, menjelang naik ke kelas 9, Ami mengetahui bahwa seorang teman yang tinggal tak jauh dari sekolahnya, berasal dari keluarga kurang mampu. Dari kondisi itu, Ami mencetuskan sebuah ide untuk memberdayakan ibu temannya itu untuk mendaur ulang sampah.
ADVERTISEMENT
"Kenapa kita enggak memberdayakan ibunya saja. Ibunya juga punya teman-teman yang bisa kita berdayakan," ucap Ami tentang momen ketika ide itu menyergah pikirannya.
Mereka mengajak ibu-ibu itu untuk membuat tas dengan bahan dasar sampah bungkus kopi. Ami juga mengajak mereka untuk mengenalkan produk-produk daur ulang itu saat pembagian rapor dengan cara membuka stan.
Demikianlah semua upaya yang dilakukan Ami dan teman-temannya sejak awal telah menggugah Ibu Nia untuk mendaftarkan mereka dalam kompetisi SATU Indonesia Awards 2010 di bidang lingkungan. Ami menyetujuinya, namun dia mengira itu hanya kompetisi antar anak sekolah yang sudah biasa digelar.
“Aku enggak tahu kalau itu punya Astra dan sebesar itu. Ternyata lolos tahap administrasi,” ucap Ami.
ADVERTISEMENT
Ami berhasil terpilih menjadi penerima Astra Satu Indonesia Award di bidang lingkungan, serta mencatatkan namanya sebagai peraih termuda penghargaan tersebut.
Apa yang Dilakukan Ami usai Raih Astra Satu Indonesia Award?
Ami tak ingin menyia-nyiakan sejumlah dana yang didapat dari penghargaan itu. Dia memanfaatkannya dengan membeli mesin jahit untuk digunakan para ibu yang bekerja mendaur ulang sampah.
Kini, Sekolah Bebas Sampah yang Ami rintis bersama teman-temannya sudah berjalan lintas generasi. Sehingga kegiatan pengelolaan sampah di sekolah itu tetap berlangsung meski Ami sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Ami mendirikan komunitas Bandung Bercerita selepas SMA. Komunitas itu punya kegiatan mendidik anak-anak yang biasa bermukim di dekat rel kereta api di Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
"Kita bikin kurikulum di Bandung Bercerita, supaya anak makin pede (percaya diri--red) dengan apa yang dia punya. Kita percaya anak-anak punya kecerdasan yang beda-beda. Teman-teman yang jago nyanyi kita ajak, teman-teman yang jago gambar kita ajak,” ucap Ami.
Menjadi bermanfaat di mana pun ia berada, adalah salah satu prinsip Ami. (Foto: Temali)
Komunitas itu pernah membuat modul ‘101 Creative Teaching’ yang berisi materi cara-cara mengajak anak agar mau belajar. Modul ini, menurut Ami, bahkan diduplikasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk anak-anak penyintas korban bencana. Ami pun sempat diajak BNPB sebagai relawan psikososial ke wilayah bencana letusan Gunung Sinabung pada 2014.
Kegiatan Ami bergelut dengan masalah lingkungan terus berlanjut saat dia berkuliah di Universitas Udayana Bali, yakni dengan membuat bank sampah. Hingga lulus dari Fakultas Ekonomi kampus tersebut, Ami kerap kali bekerja sama dengan Astra untuk memberdayakan desa-desa di Bali.
ADVERTISEMENT
Kemauan untuk selalu bermanfaat bagi lingkungan membuat Ami hanya ingin bekerja di divisi Corporate Social Responsibility (CSR), jika dia memang harus bekerja di kantor. Akhirnya Ami mendaftar di CSR Astra. Meski pernah meraih penghargaan dari perusahaan tersebut, Ami tetap mengikuti seleksi.
"Enggak bisa diterima karena basic aku bukan anak sains. Tapi ternyata Astra menyebar lamaran Ami ke beberapa anak perusahaannya," ucap Ami.
Ami diterima di divisi CSR salah satu anak perusahaan Astra, PAMA, setelah melalui tujuh kali tahap wawancara. Di perusahaan itu pun Ami tetap mengampanyekan masalah lingkungan.
"Jadi kalau main-main ke PAMA, enggak disediakan lagi plastik, enggak ada gula plastik. Belanja di koperasi enggak ada plastik, sampahnya dipilah. Jadi kalau nemu tong sampah di PAMA, itu desainnya bagian timku," jelas Ami.
ADVERTISEMENT
Bagi Ami, menjadi bermanfaat di mana pun dia berada seolah menjadi prinsip tak tertulis dalam hidupnya. Kini, dia masih bercita-cita membangun sekolah di daerah pedalaman.
[Penulis & Editor: Tristia]