Halo, Diri Sendiri, Aku Ingin Ta'aruf!

Konten Media Partner
9 Oktober 2019 9:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan hidupku, ayat suci yang kubaca; pengalaman hidup yang kutempuh; perjalanan membacaku, serta pola pikirku meramu narasi pokok dalam benak.
ADVERTISEMENT
Keaslian diri.
Atau bolehlah kau namai ia otensitas. Atau originalitas.
Martin Heidegger adalah salah satu filsuf yang mendaras betul akan eksistensi manusia. Bagaimana manusia mempersepsi lingkungan eksternal serta menempatkan diri terhadapnya.
Ia mengungkapkan konsep "Manusia Impersonal" atau "Das Man".
-

Tidak Otentik?

Bagi Heidegger, manusia modern telah melupakan pertanyaan tentang makna Ada. Manusia pada awalnya berada dalam kondisi 'lari' dari dirinya sendiri dan terperangkan dalam eksistensi yang anonim dan tidak otentik.
Weleh weleh. 
Apa pula, sih.
Eksistensi manusia, kemudian diisi oleh orang lain. Aku menyimpulkan, manusia impersonal membiarkan dirinya didikte oleh orang lain. Yang dikejar adalah norma-norma atau common sense umum.
Hidup tidak otentik, atau menjadi "Orang" (Das Man), bagi Heidegger berarti hidup dengan cara mengizinkan eksternal memutuskan apa yang terbaik bagi diri sendiri.
Foto: Unsplash.com
Mengapa mayoritas orang demikian? Karena, kalau kata Heidegger, "Ia akan terbebaskan dari perasaan cemas dan tanggung jawab yang membebani pundaknya ketika memilih jalan hidup yang ia yakini."
ADVERTISEMENT
Aku mulai mengerti.
Dari artikel motivasi panjang yang aku baca, memang pribadi-pribadi 1% of the top itu punya 'cara main sendiri'.
Bukan berarti mau menang sendiri, ya. Nope, bukan juga jadi pembenci manusia kebanyakan.
Namun, mereka begitu fokus berkenalan dengan diri dan maunya, untuk kemudian fokus menempa diri.
Dan mereka PASTI merasakan sakitnya menjadi diri sendiri, karena dalam beberapa hal harus melakukan hal-hal yang berbeda dari kebanyakan orang.
Namun mereka adalah orang-orang yang mengolah ketakutan dan keterasingan menjadi kekuatan, bahkan menjadi sarana untuk berbuat sebaik-baiknya pada sesama.
Ini berbeda, lho, dengan orang yang ingin menjadi berbeda hanya karena ingin gegayaan saja. Tapi, orang-orang yang benar-benar mengerti diri kemudian memaksimalkannya, pasti akan tampak berbeda.
ADVERTISEMENT
-

Ta'aruf Diri

Kemarin, diri ini menemukan potongan ayat dari Al-Dzariyat:
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang yakin, dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?"
Tanda-tanda di bumi dan tanda-tanda di diri. Bagiku, ini adalah poin penting dalam menjalani hidup. Tak semua orang mau jernih merenungi fenomena yang terjadi di hadapannya.
Menurutku, lebih sedikit pula pribadi yang peka membaca dirinya, membaca tanda-tanda dirinya, kemudian ya itu tadi - tidak membiarkan dirinya menjadi 'manusia impersonal'.
Dosen Design Thinking-ku ketika berkuliah di MBA ITB, Imam Buchori, pernah bilang jika seniman-seniman atau inventor besar dapat mengolah subjektivitas diri (dalam artian ide-ide diri yang terbersit dalam diri) - menjadi suatu karya.
ADVERTISEMENT
Foto: Unsplash.com
Aku berasumsi, 'subjektivitas' merupakan ilham yang diberikan Ilahi Rabbi.
Aku juga berpendapat, tiap-tiap manusia pasti dibekali otensitas/keunikan/keaslian oleh Sang Pencipta.
Namun, apakah manusia mau mengolah keaslian tersebut? Lantas, maukah manusia bersusahpayah mensinergikan keaslian dirinya sebagai sarana kebermanfaatan? Sebagai sarana untuk semakin mengenal kebesaran-Nya?
Jadi, mari ta'arufi (kenali) diri, sebelum ta'aruf dengan calon/pasangan halalmu. He he he.
[Penulis: Tristia R.]