Hati-Hati, Pertanyaan 'Kapan Nikah' Bisa Lukai Orang

Konten Media Partner
10 Juli 2019 11:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hati-Hati, Pertanyaan 'Kapan Nikah'  Bisa Lukai Orang
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Ah, kamu, ditanya kapan nikah aja: baper (bawa-bawa perasaan)!"
Budaya basa-basi membuat orang Indonesia terbiasa mengobrol dengan siapapun seakan tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Namun, naasnya kadangkala obrolan dibuka dengan pertanyaan yang berbau privasi atau mungkin sensitif bagi sebagian orang. seperti misalnya “Kapan menikah?”, “Kapan punya anak?”, “Gaji kamu berapa?”, “Kapan lulus kuliah?”, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Tentu itu bukanlah sebuah pertanyaan yang salah, tapi yang menjadi kekeliruan adalah ditanyakan pada orang atau waktu yang tidak tepat. Meskipun kadang dianggap sepele, namun dampaknya bisa besar karena setiap orang memiliki titik kerapuhan (vulnerability) yang berbeda.
Bahkan, seorang pemuda berinisial FN, 28, tega membunuh tetangganya sendiri Iis Aisyah, 32, karena kesal ditanya kapan nikah. Warga Kampung Pasir Jonge Desa Sukawangi Kecamatan Singajaya Kabupaten Garut, itu tega membunuh Iis yang sedang hamil delapan bulan.
“Setiap orang punya yang namanya vulnerability atau kerentanan psikologis (titik lemah) dan masing-masing berbeda satu sama lain,” ujar psikolog Diah Mahmudah, yang sekaligus pemilih biro psikologi Dandiah Centre terhadap fenomena ini kepada Temali.
Bagi Diah, vulnerability ini, terkait dengan ragam tema psikohistoris masing-masing. Ada yang rentan pada kondisi fisik, finansial, status sosial, termasuk di dalamnya ketika ditanya status pernikahan, ditanya kapan menikah, atau ditanya kapan punya anak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dari tipe kepribadian pun ada tipe yang sangat peka pada penilaian orang lain tapi ada juga tipe yang tidak terlalu peka. Begitu orang yang ditanya memiliki tipe kepribadian yang peka dan tema status pernikahan itu merupakan tema vulnerability-nya, maka hal ini akan rentan juga yang bersangkutan mengalami stres.
"Ia akan mengalami stress berat karena hal ini terus menerus ia peroleh dari lingkungan sosialnya, terlebih ia pun tidak memiliki keterampilan self healing therapy (terapi pemulihan emosi)," ujar Diah.
Diah pernah menangani beberapa klien yang mengalami stres seperti ini. Kliennya menyimpan banyak emosi tidak nyaman, mulai dari kekecewaaan pada diri sendiri, saling menyalahkan dengan pasangan, hingga meluapkan kemarahan pada orang-orang sekitar. "Puncaknya ia seringkali melakukan self harm (menyakiti diri sendiri) dengan membentur-benturkan kepala ke tembok setiap mendengar temannya mengabarkan kehamilan,” ujar Diah.
ADVERTISEMENT
Nah, jadi, masih ngeremehin orang terlalu baper gara-gara ditanya kapan nikah? Nggak-nggak lagi, deh.
[Penulis: Izzudin | Editor: Tristia]