Lihat Aksi KDRT? Laporkan!

Konten Media Partner
23 April 2019 21:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu kasus yang sering terjadi di Indonesia. Sayang, banyak pihak menilai penanganannya kurang maksimal. Hal ini juga dipersulit stigma dalam masyarakat yang menilai KDRT merupakan masalah internal rumah tangga seseorang, sehingga tabu diperbincangkan.
ADVERTISEMENT
Banyak kasus di mana seseorang menyaksikan aksi KDRT di depan matanya, atau mendengar kasusnya, tapi tidak melakukan apa-apa. Semua karena alasan, "Tidak mau ikut campur." Padahal dampak KDRT sangat besar, baik secara fisik maupun psikis korban. Kasus terparah, bisa sampai merenggut nyawa.
Sri Maslihah, Psikolog Klinis menyatakan bahwa kita harus tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitar kita. "Kita merasa (itu) bukan urusan kita, dan (kita) tidak boleh masuk ke sana, itu karena belum ada sosialisasi UU KDRT yang memperbolehkan kita untuk melaporkannya," tutur Sri, Kamis (18/4).
Lebih jauh lagi berdasarkan Undang-Undang tersebut, saksi mata wajib melapor pada pihak berwajib. Namun tidak banyak masyarakat yang mengetahui hal itu.
"Bayangkan ketika kita tahu tetangga kita mengalami KDRT lebih dini, mungkin (kita) bisa mencegah KDRT yang berujung hingga kematian," kata Sri lagi.
ADVERTISEMENT
Lantas, kepada siapa kita harus melaporkan aksi KDRT?
"Di setiap Polres itu kan, ada unit perlindungan perempuan dan anak. Nah, secara hukum kita bisa lapor ke polres terdekat, atau lembaga-lembaga tiap kota seperti P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)," lanjutnya.
Memang, menurut Sri, dalam Undang-Undang tidak ada kewajiban bahwa pelapor mesti melulu berstatus korban. Orang-orang sekitar yang menyaksikan atau menyadari aksi KDRT pada korban pun wajib melapor. Hal ini untuk mengimbangi stigma bahwa KDRT terjadi akibat kesalahan pihak istri. Masyarakat cenderung memandang negatif istri yang melaporkan aksi kekerasan oleh suaminya sendiri.
"Mungkin hal ini belum semua orang paham, tentang sejauh mana kewenangan suami untuk mendidik istri. Nah, seringkali ketika istri melaporkan suami, sang suami berkelit ia sedang mendidik istrinya. Tapi pertanyaannya, suami seperti apa yang tega mendidik tapi menimbulkan trauma?" tukas Dosen Universitas Pendidikan Indonesia tersebut.
ADVERTISEMENT
Sri menyimpulkan, stigma macam itu tidak tepat. Pasalnya, pendidikan yang sebenarnya seharusnya tidak menimbulkan trauma, apalagi sampai melibatkan kekerasan fisik. "Jadi saya pikir anggapan masyarakat seperti itu tidak bisa kita benarkan," katanya.
[Penulis : Izzudin|Editor : Nadhira]